•22| Sosok Bengis (b)

22 21 4
                                    

"Tolong!" Acacia mengedarkan mata dengan mata yang nampak sayu. Apa dirinya kembali ke masa-masa kelam yang dipenuhi duri-duri penderitaan sebelum mengungsi ke rumah kakak sepupunya?

"Argh, sakit," rintih Acacia lirih kala mendapat lemparan pot bunga yang melayang tepat ke atas kepala, serpih demi serpihan yang berceceran dari bagian pot yang pecah menghantam dinding sampai retak. Gadis mungil tersebut meringis ketakutan. Detak jantungnya berpacu dengan cepat.

"Dasar tak tahu diuntung, apakah urat malumu sudah putus?" teriak Carissa menggelegar dengan wajah yang tak terdefinisikan bagaimana marahnya wanita itu yang kini berdiri di loteng bersama Gandhi. Bahkan derap kaki yang menaiki tangga kayu pun amat terdengar mengerikan di telinganya.

Acacia yang hendak angkat bicara langsung menjerit keras saat tubuh ringkihnya dibaringkan pada lantai yang dingin, alih-alih dapat bangkit dari posisinya, dadanya sudah lebih dahulu diinjak-injak sekuat tenaga oleh Carissa. "Pertama, kau harus tahu bahwa membenci putri cacat sepertimu tidak perlu alasan yang rasional dan hal itu mutlak!"

"Kedua!" Jeda, Carissa menatap penuh rasa berang anak yang pernah dirinya rawat sepenuh hati. Gadis itu tergugu-gugu karena sukar bernapas dengan linangan air mata, "aku tidak pernah mengharapkan anak yang tak pantas untuk hidup tentram dengan kondisi yang indra perasanya tidak utuh!"

"Dan ketiga!" Carissa tersenyum licik dengan melirik Gandhi yang ancang-ancang ikut menginjak leher si gadis yang sudah tidak berdaya, "kau pun tidak pantas untuk mencicipi hidup normal. Kau harus hidup dan mati sebagai penjahat bermulut rampus!"

Gadis itu berusaha bangkit sebelum Carissa semakin kesetanan menyiksa dan menganiaya dirinya. "Nean? Apa yang ingin dia perbuat dengan duduk di situ?"

Acacia terkejut dan menggumamkan kalimat penuh tanda tanya. Ah, sadar karena ini adalah masa sebelum gadis itu melarikan diri dari rumah ini. Dia sempat bertemu dengan Neandro yang waktu itu kenal saja belum. "Nean!"

Tubuhnya yang terasa remuk terseret karena berusaha untuk merangkak ke arah balkon di loteng, Acacia sungguh merindukan rambut perak khas yang jika dibelai akan selembut kain sutra, tetapi sayang seribu sayang-usaha yang di kerahkan terhalang wanita yang tersulut sampai ke ubun-ubun melihat anak yang diadopsi sedang berusaha kabur. "Mau ke mana kau?"

"Ah, lepaskan kakiku. Kumohon, Bu!" Acacia memberontak karena Carissa mencengkeram pergelangan kakinya hingga kuku-kuku tajamnya menancap ke dalam kulit. Gadis itu semakin tidak bisa berkutik karena ada Gandhi yang juga ikut menahannya.

"Nean, bantulah aku. Keluarkan saja kekuatanmu!" pinta Acacia menatap nanar kepada sosok Nean yang balik menatapnya dengan pandangan mata yang kosong, seakan tidak ada tujuan hidup. Sebenarnya apa yang menimpa lelaki itu dulu sampai menjadi mayat hidup yang berjalan?

Acacia tak mengerti pada situasi yang tengah terjadi. Bingung, sedih, marah, dan semuanya bercampur menyatu ke dalam perasaannya sekarang, tetapi yang pasti gadis itu harus menggapai sosok yang berdiri tepat di depannya. Karena entahlah, Acacia merasa Nean akan pergi ke tempat yang tidak dapat dijangkau kalau tidak bergerak cepat.

"Acacia ...." Dia seketika tertegun. Kali pertama Nean memanggil tanpa ada embel-embel Nona. Nean menatapnya dengan sorot matanya yang kelihatan teduh. Entah kenapa sekarang, gadis mungil itu jadi kepikiran secarik surat berisikan ancaman dari Marley dan Brigid, di mana ada bangkai burung kesayangan tergeletak tak bernyawa.

"Kau ingin teror mengerikan yang kau rasakan berhenti?" Apa Acacia sedang berada di alam mimpi? Kalau ini benar maka pantas saja dirinya merasa aneh karena tiba-tiba kembali ke masa lalu!

"Betul, aku ingin hidup damai," jawab Acacia tanpa ragu. Apakah sudah ada cara yang tepat menghentikan semua teror yang datang berturut-turut?

"Kalau begitu, lepaslah aku agar bisa dibawa 'pulang' mereka ke tempatku yang seharusnya. Apa kau bersedia melakukan itu?" Acacia terkejut tak menyangka. Melepaskan Nean? Apa maksudnya?

"Sejujurnya tak semestinya kau yang manusia biasa terlibat dalam hal ini. Andai kau paham. Ini demi kebaikan kita berdua bersama."

Kepingan memori yang tertinggal di alam mimpi membuat Acacia sontak terkesiap. Tempat seharusnya? Nean memiliki rumah? Dia sengaja bohong di belakang Acacia?

"Hai, apa kau merindukan sentuhan menyenangkan jari ampai?" Gandhi sudah berbunga-bunga, mengira akan ada suara rintihan merdu yang keluar dari mulut anak adopsinya. Sepintas, sebuah debaran menyenangkan saat membayangkan adegan yang sudah sangat lama tidak pria tua itu dengar.

"Acacia, pilihlah. Kau mau aku pecut dengan ritme pelan atau cepat? Kasar atau lembut iringan temponya?" Pria paruh baya dengan senyuman horor itu berjalan menghampiri keduanya dengan memainkan tali cambuknya.

"Oh, omong-omong sejak kau kemari. Kau tidak lagi memanggil ayah seperti dulu. Aku boleh memintamu sekarang agar hatiku merasa tidak nyeri, hm?" Acacia memalingkan wajah, enggan melakukan titah beliau.

Nean yang sudah menentukan bagian titik serang yang tepat, taringnya yang tajam berancang-ancang menancap di bagian yang sembabat. Raungan demi raungan terdengar merobek gendang telinganya.

Dengan mudah, Neandro menghabisi Gandhi sehingga terkapar bersimbah darah, tetapi sengaja dibiarkan hidup karena itu permintaan Acacia. Lelaki itu menyeka darah yang berlumuran di sekitar mulut, membalikkan badan ke arah gadisnya, menuntut sambutan hangat berupa sebuah pelukan.

"Hei, apa aku melakukannya dengan baik, Nona?" Acacia terdiam membisu untuk merenungi sejenak tentang arti mimpi yang dirinya alami. Nean yang merasa cemas tergesa-gesa mendekat, mengecek keadaannya langsung.

"Kau tidak apa-apa?" Acacia memijat pangkal hidung. Sebenarnya tak mau ambil pusing, tetapi berhubung Nean yang juga punya peran penting dalam hidupnya membuat gadis itu terpaksa berpikir ulang.

Karena hal ini berpengaruh besar dan menyebabkan keyakinan Acacia ikut terombang-ambing, perasaanya pun perlahan goyah. Gadis itu menghela napas berat. Dengan wajah sembab, Acacia langsung bertanya lirih, "kau masih menyembunyikan rahasia lain yang belum kuketahui? Jujurlah, aku tidak akan marah padamu, Nean."

Neandro yang mendengar itu sedikit tersentak karena untuk pertama kali Acacia terlihat mencurigainya entah karena apa. Namun, dirinya berhasil menetralkan keterkejutannya sambil memasang wajah seakan tidak tahu apa pun. "Nona sedang kurang sehat. Jangan banyak menambahkan beban pikiran macam-macam."

Acacia semakin kelesa untuk sekadar menatap wajah Neandro alias sudah patah arang, karena tahu membujuk laki-laki bersurai perak itu sekali lagi hanya akan menyia-nyiakan banyak waktu yang berharga.

Gadis itu beranjak sambil terhuyung-huyung, tangannya melekat ke sekat untuk menjaga keseimbangan tubuh yang sudah lunglai. "Lebih baik kau pulanglah ke tempat asalmu. Dunia manusia tak cocok denganmu yang merupakan vampir!"

Neandro memandang tajam ke arah Acacia yang mendongak tidak gentar. Tetap berpegang kuat pada pendirian untuk mencoba memercayai maksud mimpi yang sekarang masih samar-samar, meski hatinya menolak keras jika harus dipisahkan dengan cara menyakitkan.

"Tuhan pasti akan menentang vampir bersatu dengan manusia sepertiku."

*****
Jumlah kata story: 1046

Guys, mari berusaha bertahan sampe end! Cukup dulu aku pernah ditipu sm oknum gak bertanggung jawab :(

Akromatopsia; Acacia's World (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang