•20| Mendeportasi (b)

21 22 4
                                    

Nean melirik gadis mungil itu dengan ekor mata secara diam-diam. Dirinya takut membuat Acacia risih, jadilah lelaki itu harus melakukan ini. Mood yang memburuk perlu diredam atau diperbaiki dengan makanan-makanan manis seperti permen atau cokelat.

"Kau mungkin akan membutuhkan ini, Nona." Acacia reflek menatap laki-laki itu sewaktu Nean menyodorkan sebatang cokelat padanya. Dipenuhi tanda tanya, tanpa banyak bicara pun gadis itu menerimanya begitu saja.

"Kandungan cokelat hitam mampu merangsang produksi endorphin di otak, bahan kimia yang menciptakan rasa senang. Selain itu ada kandungan serotonin, dan juga anti-depresan di cokelat dapat meningkatkan mood." Penjelasan lengkap Nean membuat Acacia mengulum bibir, mati-matian menahan senyuman geli. Nean sudah pintar mempelajari sesuatu.

"Nona tertawa? Apakah penjelasanku salah?" Acacia segera menggelengkan kepala. Argh, betapa lucunya makhluk setengah vampir yang lagi merangkul lehernya sekarang.

"Katanya rasa manis itu berasal dari gula yang ditambahkan pada olahan cokelat, tapi menurutku Nona manis alami apa adanya tanpa perlu bahan tambahan apa pun." Seketika wajah Acacia memanas mendengar ujaran Nean yang bahkan lebih manis kalau dibandingkan dengan cokelat yang sudah meleleh di dalam mulutnya saat ini.

Nean ikut tersenyum lega ketika gadis itu kembali memperlihatkan senyum dan tawa merdunya setelah terkunci lama dengan wajah bermuram durja. Hatinya pilu melihat kerapuhan sang majikan yang biasanya memamerkan air muka sangar, padahal Acacia, kan, terbilang susah mengontrol ekspresi.

"Kurasa perasaanku sudah membaik berkatmu." Acacia langsung terkekeh, jemarinya menyentuh pucuk rambut halus Nean, kemudian membelainya lembut tanpa merasa ragu. Laki-laki itu ikut senang ketika pancaran cerah muncul. Syukurlah, setidaknya Nona tak akan terlalu terbebani saat balik ke rumah yang persis seperti neraka dunia.

Bagaimana Nean mengetahuinya? Ya, semuanya menjadi mudah saat Acacia memutuskan membuka diri, lantas menceritakan masa lalu kelam yang terdengar pahit dan malang. Ah, Nean merasa kurang bagus membawanya pergi ke tempat yang memicu trauma yang akan memberi pukulan langsung pada mental Acacia.

"Kau sungguh tak akan masalah jika harus menginjakkan kaki di rumah malapetaka itu, Nona?" Acacia beralih mengedarkan atensi, sepasang irisnya yang kekuningan limau pucat itu sempat  berpendar gundah, tetapi tidak lama membentuk bulan sabit karena gadis mungil itu mengulas senyuman tanda baik-baik saja.

"Ya, seperti katamu aku pasti tak akan mengalami masalah, kan? Karena aku adalah gadis yang cukup tangguh dan tak boleh berlagak seperti pengecut!"

Kadang ucapan dapat kontras dengan ekspresi seseorang, itulah yang Nean perhatikan dari kondisi Acacia yang memprihatinkan hari ini. Kantung mata yang timbul akibat kurang tidur semalam, kemudian sorot mata yang terlihat kuyu itu tak akan pernah bisa membohonginya, dan senyuman tipis yang lebih dipaksakan. "Aku khawatir karena penampilanmu sedikit kacau."

"Sekacau itukah?" Acacia memindai secara menyeluruh orang-orang yang berseliweran di sekitar bus. Berselang beberapa menit, transportasi umum yang merupakan salah satu yang kini digunakan di daratan berhenti sesuai rutenya. Mendapati anggukan Nean, gadis itu bergegas meraih tangannya dan setengah berlari menuruni anak tangga—setelah membayar melalui kondektur bus.

"Sebaiknya persiapkan dirimu dengan cepat karena aku kurang tahu seperti apa reaksi mereka saat aku membawa mainan baru ke rumahnya." Mengukir senyum menawan yang tersirat lebih dari satu makna, Nean mengerti satu hal bahwa mungkin perjalanan kedua orang itu akan sama-sama lebih pelik daripada sebelum-sebelumnya.

***

"Kukira kau sudah melupakan tempat tinggal yang semestinya, Anak Cacat."

Carissa sudah menantinya di ambang pintu masuk rumah. Mungkin setelah dihubungi oleh Riana, wanita berkulit keriput itu menyiapkan keperluannya hanya dalam waktu sekejap demi bisa menyambut kedatangan Acacia yang berdiri mematung bersama Neandro.

"Ndhi, sambutlah dia." Gandhi yang merasa terpanggil melangkah maju menghadap dirinya dan Nean. Acacia memperkirakan bagaimana selama ini mereka menjalani keseharian usai ditinggal pergi oleh gadis mungil itu.
Setibanya ke sini, ternyata perubahan signifikan yang diharapkan nol besar alias tidak ada sama sekali. Semuanya nampak damai dan makmur. Namun, tidak mungkin orang tua angkat itu juga demikian.

Meski seiring waktu berjalan umur akan terus bertambah. Namun otak yang mereka pakai tidak berevolusi. Mengapa? Umur tidak menentukan seberapa dewasanya seseorang, tetapi eksplorasilah yang mendewasakan pikiran dalam pengembaraan hidup.

"Rupanya kau sekarang terlihat sehat-sehat saja." Acacia mendengkus kesal karena mendengar sarkasme Gandhi yang melempar tatapan penuh benci. Nean beringsut mundur, memberikan ruang agar gadis itu leluasa berbicara pada orang tua yang sudah lama tidak berjumpa.

"Tentu saja, syukurlah Ayah dan Ibu terlihat tidak sakit tanpaku." Acacia tak mau kalah, seulas lengkungan di bibir bukan benar-benar senyuman, tetapi berarti mengibarkan bendera perang atas perseteruan. Ah, persetan dengan adab menghormati mereka— orang yang lebih tua karena baginya amat sulit menghormati dua manusia yang memperlakukan manusia sama halnya dengan binatang.

"Apakah kau telah hidup dengan baik di sana?" Carissa menukikkan kedua alis, hatinya berbunga-bunga melihat si suami yang segera mencekik leher Acacia dan mengangkat tinggi-tinggi hingga wajah pucat tersebut membiru karena kehabisan pasokan oksigen.

Para tetangga di dekat rumah mereka yang menyaksikan semua peristiwa itu hanya memalingkan wajah, pura-pura tidak melihat, memilih untuk tidak akan ikut campur permasalahan keluarga yang tengah terjadi tepat di depan mata.

"Lihatlah betapa lemah anak yang kita adopsi, tak ada bedanya dengan anak kecil yang dulu hobi merengek minta ditemani soalnya takut gelap, padahal dunianya memang sudah monokrom!" Gandhi dan Carissa tertawa seolah tidak berdosa ketika berhasil membuat anak angkatnya tak berdaya di genggaman, kendati mereka belum menyadari eksistensi Nean yang menonton di balik tembok rumah dengan mata melotot syok.

"Ohok!" Acacia batuk, memuntahkan darah yang mengalir dari mulutnya. Sekeliling mendadak berkunar-kunar dan pandangannya mengabur. Akan tetapi, terus memberontak agar tetap bisa mempertahankan kesadaran.

Gandhi memberi bogeman mentah ke titik vitalnya; bagian perut sehingga Acacia jadi tersungkur ke permukaan tanah. Denyutan nyeri membuatnya mengerang kesakitan. "Kau matilah!"

"Apakah aku perlu memotong kakimu agar kau tidak punya cara melarikan diri lagi?" Acacia diam seribu bahasa. Gandhi sontak melirik sekilas dengan senyuman yang merekah. Meminta pendapat Carissa secara langsung di hadapan korban kekerasan.

"Jangan dulu, aku tidak sudi merawat jika fisiknya bertambah cacat, cukup dengan kelainan yang diderita untuk kali ini, tapi jika dia sulit diatur entah bagaimana nanti." Gandhi melepas cengkeraman tangannya pada leher gadis itu, kemudian beranjak berdiri dengan wajah flat. Membiarkan Aca meraup udara segar sembari terisak memilukan.

"Sebentar!"

Langkah Carissa dan Gandhi terhenti habis mendengar Acacia menyengau.

*****
Jumlah kata story': 1008

Hai, bagaimana kabarmu siang ini?

Mila numpang lewat buat umumin kalo Mila mau izin gak update buat sementara waktu krn harus fokus sama ujian. See you, guys :D

Akromatopsia; Acacia's World (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang