"Ndhi, kau sudah mencuci piring-piring bekas makan malam?" Seorang wanita paruh baya berteriak-teriak memastikan sang suami melakukan pekerjaan dengan baik atau justru tidak, sedangkan pria yang dimaksud tengah berbaring malas di sofa ruang tamu sembari menonton televisi.
Carissa yang merasa lagi diabaikan menjadi keki. Segeralah, wanita itu menyelesaikan pekerjaan menata makanan beserta lauk pauk ala kadar dan menghampiri Gandhi yang tidur dengan mata terpejam erat. Wajahnya yang telah mempunyai kerutan sebab mendekati penuaan. "Cuih, andai saja anak itu tidak kabur. Mungkin nanti aku akan menyuruhnya menceboki dan membersihkan pipisku."
Carissa semakin lama hampir tidak dapat menyeimbangkan diri, bahkan kedua kaki beliau tidaklah sekuat saat masih muda dulu. Sekarang Carissa hanyalah wanita tua yang berstamina rendah dan jadi mudah sakit.
"Oh, astaga! Mengapa anak itu sangat keterlaluan membuat orang tua asuhnya yang telah merawat sejak kecil terlantar begitu saja, huh?" sungut Carissa yang masih tak terima karena ditinggalkan Acacia untuk menjaga rumah ini hanya berdua dengan sang suami yang malas-malasan.
Sebetulnya secara tidak langsung, dia mengakui bahwa Carissa dan Gandhi membutuhkan Acacia agar mengurus mereka dan seisi rumah. Akan tetapi, memang dasarnya lain mulut, lain di hati. Wanita itu tak pernah berkata jujur sesuai perasaan sesungguhnya.
Carissa membenci Acacia. Seandainya gadis berumur delapan belas tahunan itu adalah barang, mungkin dari awal dirinya akan menjualnya ke keluarga yang kaya raya dengan harga mahal, tetapi tidak dilakukan sampai detik ini. Mengapa? Entahlah, Carissa tak tahu-menahu soal kasih sayang yang seharusnya diberikan ke anak angkat yang diasuhnya.
"Ris, nanti sajalah aku cuci. Aku lagi lelah habis bekerja." Carissa menatap tajam Gandhi yang meracau dalam keadaan setengah sadar. Lelah? Enak saja, justru dirinyalah yang lebih lelah sebab melakukan pekerjaan rumah sendirian dalam benda jam! Berbeda dengan suaminya yang bekerja sambil duduk!
"Ya, terserah kaulah. Yang pasti aku tak akan membiarkanmu tidur pulas, padahal belum membantuku bersih-bersih sedikit pun." Gandhi tak peduli saat mendengar istrinya mengoceh panjang kali lebar, pria itu memilih tenggelam dalam bunga tidur yang indah, bermain dengan bidadari.
Carissa sadar sepenuhnya bahwa dulu dirinya menyiksa Acacia dengan amat kejam dan tanpa belas kasihan hingga hampir membunuhnya. Carissa tahu kalau wanita itu dan Gandhi belum dapat menjadi orang tua asuh yang baik ke anaknya sampai akhirnya sudah beranjak dewasa.
"Harusnya dia sudah mati tertusuk jarum yang diberikan racun keras." Carissa berucap seraya memandangi benda lancip yang digenggamnya saat ini, jarum yang dioleskan racun yang mematikan—mestinya sekarang anak itu sudah tak berdaya menunggu ajal.
"Tapi mengapa dia masih bisa hidup?" Carissa bertanya-tanya saat setahun yang lalu memergoki Acacia berjalan-jalan sendirian di pertokoan, padahal wanita itu sungguh-sungguh berharap setelah Acacia terluka akibat tertusuk jarum besar yang mengandung racun membuatnya mengembuskan napas terakhir ketika tengah beraksi kabur.
Menyugar rambutnya yang kian tipis dan mulai muncul uban, Carissa tetap menyusun rencana pertemuan kedua yang menyenangkan bersama putri angkatnya. Wanita itu terkekeh kecil, memikirkan bagaimana Acacia akan selamat dari rencana kali ini yang terlenggek apik di otaknya. Tunggulah pembalasan dari Ibu, ya, Nak.
Carissa menyeringai menatap sesosok makhluk berukuran raksasa dengan aura menyeramkan, berperawakan tinggi, bertaring panjang, dan kedua bola matanya yang merah menyala mampu membuat siapapun tak bisa berkutik. "Kau sudah siap, kan?"
Makhluk yang merupakan iblis jahat peliharaannya itu mengangguk patuh pada perintah Carissa. "Tentu saja."
Suara yang sama yang pernah Acacia dengar saat berada di rumah Kenanga dengan nada penuh ancaman, dingin, dan tak berperasaan mengusik Acacia hingga gadis itu kurang nyaman saat tinggal di sana. Memang tujuan utama adalah membuatnya tidak betah.
"Aku harap kau tidak gagal lagi dalam rencanaku kali ini. Karena jika tidak, maka akan kukembalikan ke tempat awalmu." Iblis yang Carissa pelihara adalah kaki tangan dari raja Kerajaan Kegelapan yang tak lain, Raja Lucifer.
"Ya, saya bisa menjamin bahwa saya tidak akan pernah mengecewakan Anda lagi, Nyonya Carissa." Wanita paruh baya itu membuang wajah, mengusir makhluk hina itu sejauh mungkin. Merasa agak tidak tahan karena bau busuk yang tercium ke olfaktorinya. Menyengat sekali.
Sejujurnya dahulu Carissa tak pernah berpikir untuk memanggil makhluk bernama iblis, yang terkenal terkutuk dan kotor. Namun, dipikir-pikir lagi sepertinya ada untungnya mengajak kerja sama antara manusia dan iblis. Terlebih seorang kaki tangan terdekat raja iblis dari Kerajaan Kegelapan.
"Toh, aku tak merasa dirugikan di sini karena hasilnya cukup menjanjikan untukku." Carissa manggut-manggut gembira. Sembari memutar-mutar gelang yang terdapat kunci-kunci rumah menggantung, wanita modis itu melirik sekilas Gandhi yang tidur dengan keadaan mengorok keras.
Gandhi-nya nampak miris, pikirnya sebentar, kemudian berjalan dengan mendendangkan pelan lirik lagu yang tak terlalu jelas. Carissa melunak dan berbalik menatap sang suami, lantas menyelimuti menggunakan selimut.
Mau bagaimanapun tabiat Gandhi, orang ini tetaplah suami yang sah di mata hukum dan negara. Carissa tak bisa membantah fakta soal itu, jadilah dirinya masih berusaha menghormati Gandhi yang selalu pulang dini hari karena lembur bekerja—menafkahi wanita itu sampai sekarang. "Maaf kalau aku sering menyulitkanmu."
Carissa membelai surai cemani milik sang suami dengan lembut. "Semoga aku bisa mendapatkan anak cacat itu kembali biar hidup kita tak susah lagi seperti ini. Grr, gara-gara dia kabur."
Lihatlah bagaimana kabar Acacia yang hidup nyaman menumpang di rumah kerabat aslinya, pasti bahagia tanpa mendengar bentakan Carissa seperti masa-masa dulu, memakan makanan dan minuman yang lezat, tetapi menelantarkan dirinya serta Gandhi di rumah yang tidak begitu terawat. "Aku tak bisa berlama-lama membiarkannya. Acacia, tunggulah iblis kirimanku selamat sampai di tempatmu tinggal."
Acacia akan langsung Carissa seret paksa kemari, gadis mungil itu mesti bersimpuh mengemis maaf darinya dan Gandhi, lalu melayani mereka berdua sampai akhir hayat. Intinya tidak boleh salah satu dari ketiganya yang boleh hidup berkecukupan, apa lagi mengharapkan kehidupan yang nyaman.
Carissa terkekeh mengerikan. Tentu barang siapapun dari mereka yang diperbolehkan lepas dari belenggu kehidupan menyedihkan ini. Wanita itu tak bisa melihatnya, Acacia wajib menerima ganjaran setimpal dengan perbuatan tak terpuji terhadap kedua orang tua angkatnya. Hukuman apa yang pantas diberikan padanya?
"Hukuman cambuk?" Sepertinya hal itu sudah terlalu biasa."
Carissa meneleng dengan raut muka bingung. Gamang menentukan jenis sanksi yang cocok diberikan pada anak pembangkang seperti Acacia. Hukuman gantung di loteng rumah?
Oh, sebuah ide brilian menghampiri.
Sepertinya Carissa sudah menetapkan hukuman yang tepat ketika berhasil memboyong Acacia nanti.*****
Jumlah kata story': 1016Siapa yang nungguin ceritanya?
Coba ceritain perasaan kalian pas baca sudut pandang Carissa, deh!
KAMU SEDANG MEMBACA
Akromatopsia; Acacia's World (TAMAT)
Misterio / Suspenso[TERSEDIA VERSI CETAK DI PENERBIT DIANDRA] "Segala jenis nafsu jahat itu terkadang bisa membunuh diri sendiri secara perlahan." Satu hal yang menggambarkan hidup seorang Acacia Calosa yang mengalami kelainan nadir: monokrom. Kata orang, hidupnya ya...