Follow Instagram Nung, ya
@Enungg20
Gadis itu memang bukan gadis dengan paras yang begitu cantik dan manis. Tapi, ia memiliki sebuah wajah yang sejuk bila dipandang. Mempunyai tatapan penuh binar yang begitu tulus dari kedua bola matanya.
Ia adalah satu-satunya seorang gadis yang bisa, dan berani berbicara tanpa adanya rasa takut—meski awalnya tampak malu-malu. Ah ... malu-malu? Apakah memang seperti itu?
Mungkin, Caca hanya adik kelasnya yang tidak mencolok seantero sekolah. Ia juga bukan orang yang ingin begitu panjat sosial di depan umum. Justru, gadis itu lebih suka memiliki lingkungan hidup yang membuatnya aman, nyaman, dan tenang—meskipun tidak memiliki banyak teman.
Dihitung dari berapa sering mereka bertemu, Afkar diam-diam mengamati Caca. Memperhatikan dari jauh bagaimana cara gadis itu menikmati masa sekolahnya. Tidak sadar jika bagian kosong yang ada di dalam sana perlahan mengukir namanya.
Ya ... nama Arsya Fidiya.
Tapi, apakah benar bagian itu mulai terisi?
Ia merasa terusik. Jujur, itu membuatnya tidak tenang. Tidak tahu harus bagaimana, dan bingung apa yang sedang ia rasakan.
Tepat setelah rintik hujan jatuh satu per satu, Afkar memasuki mobil Teddy yang akan mengantarnya pulang. Kendaraan roda empat itu perlahan keluar dari area sekolah dan menyusuri jalanan ibu kota.
Rintik itu kemudian berubah menjadi hujan yang begitu deras, disertai awan kian menggelap. Suara dari radio mengisi kekosongan dalam mobil.
"Tadi diobatin sama siapa?" tanya Teddy.
Afkar menoleh sejenak. "Anak PMR," sahutnya.
"Kalian kayak udah kenal gitu sebelumnya. Ya, nggak, sih? Maaf-maaf aja kalau gue sok tahu." Teddy terkekeh kemudian.
"Emang kenal."
Teddy menoleh sejenak pada kakak kelasnya itu dengan tatapan terkejut. Pasalnya, sudah tahulah kalau Afkar itu sifatnya begitu. Galak, judes, tampangnya saja sudah membuat para kaum hawa mundur alon-alon—meskipun sebenarnya tampan. Jadi, wajar saja jika ia terkejut mendengar Afkar kenal dengan anak PMR yang disebutkan tadi.
"Salut gue," lontar Teddy.
"Sama gue?" Afkar bertanya dengan percaya diri.
Teddy tertawa. "Dikit, sih, kalau sama lo. Tapi, lebih salut lagi sama anak PMR itu karena bisa kenal sama lo, terus ngobatin luka lo tanpa takut. Coba kalau cewek lain? Lihat muka lo aja udah ngibrit!" paparnya.
Afkar mendengkus, lalu menatap lututnya yang terbalut perban. Samar-samar obat merah merembes keluar. Ia memilih diam tanpa membalas lagi. Malas sekali rasanya jika banyak bicara. Bibirnya benar-benar terasa malas gerak.
Jarak yang mereka tempuh belum terlalu jauh dari sekolah, mungkin baru sekitar 1 KM. Di tempat mobil melaju, Afkar bisa melihat seorang gadis sedang memakai jas hujan di depan mini market.
Meskipun jaraknya cukup jauh, tapi Afkar bisa melihat dengan jelas jika gadis itu adalah Caca, apalagi jas hujan yang sedang dipakai, itu sudah jelas miliknya yang tadi ia berikan pada gadis itu.
Melewati mini market begitu saja, diam-diam Afkar menarik senyum tipis tanpa sadar. Ia tenang. Setidaknya Caca tidak akan basah kuyup karena kehujanan.
><
Keesokan paginya, tanah masih basah karena hujan kemarin sore yang terus berlanjut sampai tengah malam. Menyisakan bau tanah basah, Caca menghirup aromanya dalam-dalam. Begitu menenangkan.
Turun dari sepeda dan melepas helm, Caca menaruhnya di keranjang. Ia juga mengambil paper bag bergambar kartun beruang madu berwarna kuning yang berisi kotak makan dan jas hujan milik Afkar. Dirinya sudah berjanji akan mengembalikan kedua barang itu hari ini.
Deru mesin motor yang berhenti di samping sepedanya membuat Caca urung untuk melangkahkan kaki. Gadis itu hanya diam dan menunggu siapa yang mengendarai motor tersebut.
Ketika helm itu terlepas dari kepala si pengendara, Caca bernapas lega. Ternyata, orangnya adalah Afkar. Ia tersenyum senang karena tidak perlu repot-repot untuk mendatangi kelas lelaki itu, karena jelas akan menjadi bahan omongan anak-anak lagi.
Afkar menoleh dan mendapati Caca tengah tersenyum padanya. Ia mengernyit, keheranan. "Apa?" tanyanya dengan nada ketus.
Caca langsung melenyapkan senyum. Masih pagi, tapi memang salah dirinya sendiri yang tersenyum pada objek yang memang tidak layak disapa dengan sebuah senyuman di pagi hari yang cerah ini. Diam-diam ia kembali mengomeli Afkar dalam hati.
"Ini." Caca mengulurkan paper bag itu ke arah Afkar. "Kotak makan sama jas hujannya. Terus, kotak makannya aku isi pakai nasi goreng."
Ketika Afkar turun dari motor, barulah ia mengambil alih paper bag itu dari tangan Caca dari bagian bawah karena gadis itu memegang tali atasnya. Ia kemudian mengangguk singkat.
"Makasih ya, Kak. Kalau gitu aku duluan." Caca berpamitan. Tapi, Afkar justru bertanya sesuatu yang membuatnya urung untuk pergi.
"Yang masak siapa?"
"Masak apa?" Caca tidak paham.
"Nasi goreng." Afkar menjawab singkat.
Caca mengangguk mengerti. "Oh ... yang masak aku, sih, Kak. Kenapa?"
Afkar menatap mata gadis itu sejenak. "Takut keracunan," katanya, lalu segera pergi dengan wajah datar.
Di tempatnya, Caca sudah membulatkan kedua mata tidak percaya. Satu pukulan mendarat di jok sepeda sebagai pelampiasan rasa kesalnya.
Ini namanya bukan pagi hari yang cerah, tapi pagi hari yang menjengkelkan!
><
Saat jam istirahat tiba, Caca berjalan menuju kantin bersama Gigi, Dika, Raihan, dan Haikal. Untuk kali ini, Haikal sedang berpuasa membuat kerusuhan pada Gigi. Hingga mereka bisa pergi ke kantin bersama dengan tenang.
Caca menggandeng tangan Gigi layaknya seorang kakak. Di belakang mereka ada ketiga laki-laki yang siap berjaga jika ada sesuatu yang berani-beraninya datang menyerang.
Menempati salah satu meja kosong di kantin, Raihan dan Haikal melipir ke etalase para penjual makanan dan minuman. Membiarkan Caca, Gigi, dan Dika duduk anteng di meja menunggu makanan datang. Enak sekali hidupnya.
Sementara Gigi dan Dika mengobrol, Caca memainkan ponselnya. Membuka aplikasi hijau dan langsung mendapatkan sebuah pesan dari Nana, juga Mas Nino. Ia mengernyit, tumben sekali adik-kakak itu kompak memberi pesan.
Pertama kali yang ia buka adalah pesan dari Nina. Pas sekali, sahabatnya itu sedang online. Telepon langsung masuk dari Nina, membuat Caca semakin bingung, padahal ia belum selesai membaca pesan dari Nina.
"Halo, Na, kenapa?"
" .... "
Caca langsung membulatkan kedua matanya, lalu berteriak tanpa sadar. "Apa? Cincin buat lamaran besok hilang?!"
Membuat Gigi dan Dika langsung menoleh karena terkejut. Beberapa orang juga menatap Caca karena terusik karena teriakannya.
Gadis itu tidak sadar, jika empat orang laki-laki yang baru saja menempati meja di seberangnya terdiam. Salah satu di antara, meloloskan dengkusan. Entah karena apa.
><
Allahuakbar, ceritanya makin ... GAK JELAS😭
Jangan lupa vote dan comment! Sepi banget, hihihi(tawa psikopat)
Aku gak yakin bisa ending di part 30 pas, gais, kayaknya lebih. Mungkin 30 ke atas, doain aja niat ya hihihi
Yuk, sapa dulu yuk Caca dan Afkar nya.
Indramayu, 16 Januari 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
The Best Part (END)
Teen FictionAda satu bagian yang kosong sebelumnya. Bagian itu tidak pernah diusik oleh siapapun. Tapi, setelah seseorang itu hadir, bagian itu terusik, lalu terisi dengan baik. Bagian itu adalah bagian yang kini menjadi bagian terbaik dalam hidupnya. Seharusny...