The Best Part. 31

896 127 11
                                    

Cincin yang melingkar pada jari tengah Caca sudah tak tampak. Pagi ini, ketika Afkar berdiam diri di depan koridor kelas, ia melihat Caca melewati lapangan dan berjalan mendekatinya, lalu berhenti tepat di hadapannya.

Sebuah kotak makan berwarna biru langit disodorkan. Caca menggaruk kepala karena grogi dengan sebelah tangannya yang bebas. Beberapa murid yang sedang lewat menatapnya sekilas.

"Apa?" tanya Afkar.

"B-buat Kak Afkar, sih," kata Caca. "Nasi goreng."

Afkar menerimanya. "Fungsi dan tujuan?" tanyanya mengintimidasi.

Caca mengernyit. Fungsi dan tujuan? Apa harus dijelaskan? Apa Afkar memang seribet itu jika berhadapan dengan orang-orang, termasuk dirinya?

Gadis di hadapan Afkar itu terdiam, tampak berpikir. Dari arah kanan, ada seorang siswa yang melajukan skateboard kencang tanpa memperhatikan keadaan sekitar. Afkar yang melihat itu langsung menarik tangan Caca agar menepi dan berdiri di dekat dinding, tanpa sadar.

Syut ....

Siswa tadi melesat, melewati mereka. Afkar berteriak, "Jangan main skateboard di koridor, bodoh!"

Caca refleks menarik tangannya. Ia berdiri di dekat dinding dan mundur dua langkah. Jantungnya berpacu cepat karena gerakan Afkar dan juga teriakkan lelaki itu.

"Lo juga, jangan berdiri di tengah jalan gitu!" omel Afkar pada Caca yang masih menenangkan jantungnya.

Caca mendongak. "A-aku ng-nggak tahu, K-Kak."

Afkar mendengkus, lalu ia menatap tangan kiri gadis itu yang bergetar. "Tangan lo kenapa? Tremor?"

Caca memandangi tangannya yang bergetar. Ia kemudian memegangnya dengan sebelah tangan, lalu membalas, "Ta-di Kakak tarik tangan aku."

"Hah?" Afkar membeo. Jangan-jangan penyakit percaya diri Caca kambuh?

Namun, ketika mengingatnya, Afkar langsung berdeham. "Maaf," ucapnya tulus. "Daripada lo ketabrak dan luka-luka nantinya, jadi refleks tarik tangan lo."

Itu memang sebuah alasan yang valid. Tapi tetap saja, dalam lubuk hatinya Caca lebih baik ketabrak dan luka-luka daripada harus disentuh oleh orang yang bukan muhrimnya.

"Aku lebih baik ketabrak dan luka-luka daripada harus ditarik kayak tadi sama Kakak," ujar Caca.

Afkar memandangi gadis itu dengan kerutan di alis. "Gue udah nolong lo, dan itu balasannya?"

Gadis itu membalas tatapan Afkar. "Tapi, Kakak udah sentuh aku! Dan itu nggak boleh!"

"Gue nolongin lo, Arsya, nolongin!" kata Afkar tajam.

"Tetep aja! Itu bukan hal yang harus dibenarkan! Kakak, kan, bisa bilang ke aku kalau ada yang mau lewat."

Afkar mendengkus. Gadis di dekatnya ini memang keras kepala jika diberi tahu. Apa susahnya mengerti, kalau yang ia lakukan itu tujuannya baik?

"Karena nggak keburu kalau gue ngasih tahu lo dulu, Arsya." Afkar masih berusaha untuk sabar.

"Cuma Kakak yang berani sentuh aku gitu! Lancang namanya!"

"SEKALI LAGI, GUE NOLONGIN LO! NO-LO-NGIN!" Afkar menyentak Caca. Emosinya benar-benar meledak karena gadis itu. Ia kemudian meletakkan kotak makan di lantai, di dekat kaki Caca. "Ambil. Gue nggak butuh itu!"

Orang-orang yang ada di sana terdiam sambil menatap Caca kasihan. Inilah waktu di mana sebuah kejadian yang sudah lama tidak pernah terjadi, kini hadir. Kejadian di mana Afkar marah sampai membentak orang itu. Kali ini, orangnya adalah Caca.

The Best Part (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang