Karena sudah dua hari meminjam buku di perpustakaan, hari ini Caca akan mengembalikannya lagi. Beberapa hari terakhir ia mengindari keramaian. Selalu ke tempat sepi, perpustakaan atau diam di kelas saat istirahat, misalnya.
Jelas saja itu semua ada alasannya. Semata-mata bukan karena malas gerak. Tapi, takut saja kalau ia akan bertemu dengan seseorang yang ia hindari, lagi.
Caca bukannya sombong ketika Afkar mendm di Instagram. Hanya saja ia merasa kalau dirinya tidak yakin jika lelaki itu yang mengiriminya ucapan terima kasih. Bisa saja itu temannya, kan?
Hm, Caca ingat nama dua teman Afkar yang ia titipkan gelang Afkar waktu itu. Misbah dan Raka(?) Ah, iya benar. Siapa tahu salah satu dari mereka yang membajak akun Instagram Afkar, kan? Itulah alasan kenapa dirinya memilih tidak membalas dm itu.
Nanti, kalau zonk, bagaimana?
Tiba di perpustakaan, seperti biasanya Caca mengisi data pengunjung di buku. Di depan meja penjaga perpustakaan, Caca menyerahkan bukunya.
"Bu, ini mau ngembaliin buku."
"Buku apa?"
"Fisika."
"Oh, yaudah, kembalikan lagi di tempatnya, ya."
Caca melipir ke jajaran rak tinggi itu lagi. Ia mendesah kesal saat mendongakan kepalanya. "Ini mah sama aja kayak kemarin, nggak bisa naruh sendiri dong," ucapnya. Lantas mengedarkan tatapannya ke sekitar.
"Pakai kursi plastik bisa kali, ya? Aku, kan, kecil badannya, pasti nggak akan pecah itu kursi plastik kalau aku naikin."
Kemudian, dengan masih membawa buku fisika itu, ia mengambil kursi plastik yang ada di barisan meja-meja tempat murid untuk membaca bukunya. Setelah mengambilnya, Caca mengarahkan kursi itu agar lurus dengan letak buku paket yg ada di jajaran rak paling atas.
"Bismillah."
Gadis itu kemudian menaiki kursi dengan berpegangan pada rak. Ia tersenyum cerah karena wajahnya sudah sejajar dengan buku-buku itu. Kemudian menaruh buku yang ia pinjam tadi ke tempat semula.
"Hei, ngapain?"
"Astaghfirullah!"
Caca menunduk. Matanya membulat kala melihat siapa yang menegurnya. Nyaris terjatuh karena terkejut, ia berpegangan pada rak buku. "Ke-kenapa, Kak Af-Kar?"
"Lo, ngapain naik kursi gini? Jatuh tahu rasa," kata Afkar.
Ya, ia adalah Afkar.
Caca mencebikan bibirnya. Tuh, kan, galak sama judesnya gak berubah. Pasti dm kemarin itu dibajak, pasti! serunya dalam hati.
"Heh, pentol korek, malah ngelamun!"
Caca mengerjapkan matanya. "Apa? Pentol korek?" beonya tidak suka. Ia langsung lompat turun dari kursi. Membuat Afkar menundurkan tubuhnya.
"Enak aja nyebut aku pentol korek! Kalau aku pentol korek, terus kakak apa? Tiang listrik? Iya?"
Waw, kemajuan. Caca sepertinya sudah melenyapkan sisi takutnya jika berhadapan dengan Afkar. Tidak sepenuhnya hilang sih, masih ada sedikit. Lebih dominan ke rasa kesal dan sebal pada lelaki itu.
Afkar menaikan satu alisnya. Memasang wajah menyebalkan. "Iya, lo pentol korek. Udah kecil, kurus, pendek pula! Mendingan juga gue, tiang listrik. Tinggi!" balasnya tidak mau kalah.
Caca mendelik sebal. "Omongannya dijaga! Laki-laki itu mulutnya harus lebih lembut daripada perempuan, jangan gitu banget dong!" dumelnya dengan kesal. Kemudian menarik kursi plastik untuk ia taruh kembali ke tempat semula.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Best Part (END)
Teen FictionAda satu bagian yang kosong sebelumnya. Bagian itu tidak pernah diusik oleh siapapun. Tapi, setelah seseorang itu hadir, bagian itu terusik, lalu terisi dengan baik. Bagian itu adalah bagian yang kini menjadi bagian terbaik dalam hidupnya. Seharusny...