Caca mengayuh pedal sepeda, diikuti oleh keempat temannya. Seperti biasa, ada Gigi, Dika, Raihan dan Haikal. Kali ini mereka akan berkunjung ke rumah ayah dan ibu Caca. Yang tak lain adalah tempat pemakaman umum. Rumah terakhir manusia di muka bumi.
Setelah pulang sekolah, ketika melihat cuaca tidak panas siang menjelang sore ini, Caca mengajak mereka untuk datang ke pemakaman. Menepati janjinya waktu itu.
Raihan heboh, diikuti Haikal, sedangkan Dika dan Gigi santai saja.
"Eh, Ca, perlu beli bunga yang banyak nggak, sih, buat ayah sama ibu lo? First impression mereka ketemu kita harus baik, lho. Kalau dari awal kita auranya negatif, ntar mereka nggak seneng lo temenan sama kita. Ya, nggak, sih?"
Dika geleng-geleng kepala. Raihan memang seperti itu, lalu Haikal menyusul.
"Iya, juga. Gimana, nih, Ca?"
Caca tertawa. Mengibaskan tangannya di udara. "Aduh, kalian santai aja, nggak papa. Nanti di pintu masuk TPUnya ada yang jual air sama bunga gitu, kok. Jangan berlebihan juga, nanti ayah sama ibu nggak suka. Kata Mbak Esha, gitu," paparnya.
Kemudian, di sinilah mereka berada. Setelah parkir, mereka mengikuti langkah Caca yang menjadi penunjuk jalan. Mereka juga sudah membeli bunga serta air. Raihan yang membawanya.
Ketika sudah sampai di samping makam ayah dan ibunya, Caca menarik senyum. "Ayah sama ibu ada di sini," ucapnya menoleh ke belakang, memberi tahu teman-temannya.
Mereka terdiam sambil memandangi dua nisan itu. Sudut hati mereka berdenyut saat melihat tanggal kematian orang tua Caca. Jika dihitung itu sudah belasan tahun silam, bahkan Caca pun belum lahir.
Caca mengusap nisan itu berganti. "Ayah, Ibu, Caca bawa temen-temen ke sini. Kalau biasanya cuma ada Gigi, sekarang nambah tiga orang, makin banyak. Mereka semua temen Caca, yang selalu ada kalau di sekolah bareng Caca. Katanya, mereka mau tahu dan kenal sama Ayah dan Ibu," ucapnya. Membuat Gigi langsung berjongkok di samping Caca, sedangkan ketiga laki-laki itu di sampingnya yang lain.
Gigi mengambil air dari tangan Raihan, lalu mulai membersihkan makam. "Di sini ada Gigi, Dika, Raihan sama Haikal, Om, Tante. Mereka baik semua sama Caca. Jadi, Om dan Tante jangan khawatir, Caca aman sama kami," ujarnya.
Caca menabur bunga pada makam ayahnya yang sudah dibersihkan dan disiram air, kemudian beralih pada makam ibunya sambil menahan sesak. Setelah selesai, ia melipat kedua tangan di atas lutut. Membenamkan wajahnya di sana.
Dika, Raihan dan Haikal memandangi Caca tanpa kata. Mereka bisa merasakan apa yang Caca rasakan. Mereka juga tahu bagaimana sesaknya rasa kehilangan dan rindu. Dan mereka mengerti, sekuat-kuatnya Caca mengelak jika gadis itu baik-baik saja, maka itu hanyalah sebuah kebohongan kecil. Karena bagaimanapun, hatinya berteriak ingin bertemu dengan orang tuanya.
Gigi mengusap bahu Caca. Memberi kekuatan agar Caca dapat tenang. Saat melihat dan mendengar Caca menangis, hatinya ikut berdenyut. Ia juga sama merasakan sesaknya. Pada akhirnya, dirinya juga akan ikut meneteskan air mata.
Dika berdeham, lalu membuka suara. "Salam kenal, Om dan Tante. Saya Dika. Kalau yang ini Raihan ..." Dika menunjuk Raihan yang duduk diapit olehnya dan Haikal. "... kalau yang ini Haikal. Kami semua teman Caca. Kami juga janji, bakal jadi teman yang baik buat Caca dan nggak akan buat Caca nangis."
"Bikin Caca bahagia itu sederhana lho, Om, Tante. Dikasih krayon aja seneng bukan main," ucap Raihan.
Haikal hampir melotot. "Apaan dah lo!"
Caca mendongak, lalu mengusap air matanya. "Bener, sih, itu," katanya.
Haikal memutar bola matanya malas. "Yeee!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Best Part (END)
Teen FictionAda satu bagian yang kosong sebelumnya. Bagian itu tidak pernah diusik oleh siapapun. Tapi, setelah seseorang itu hadir, bagian itu terusik, lalu terisi dengan baik. Bagian itu adalah bagian yang kini menjadi bagian terbaik dalam hidupnya. Seharusny...