Menjelang sore, matahari masih cukup menyengat di kulit. Meski keringat sudah bercucuran di sekujur tubuhnya, itu tidak membuat Afkar ada niatan untuk mengelapnya. Karena percuma, ia sedang bermain futsal. Keringat akan terus membanjiri tubuhnya selama ia bermain dengan bola.
Di bulan November ini, Afkar memang sudah pensiun dari jabatannya sebagai ketua ekskul futsal sekolah, tapi bukan berarti hal itu membuatnya berhenti untuk bermain futsal dengan anak-anak futsal di ekskul tersebut.
Selain untuk menyalurkan hobby, lelaki berusia 18 tahun itu memang menjadikan futsal sebagai olahraga tetapnya.
Satu botol air mineral menggelinding mengenai ujung sepatunya. Afkar menunduk dan mengambil botol itu. Menoleh ketika di sampingnya ada seseorang yang duduk di sana. Seseorang itu adalah orang yang menjadi penerus jabatan Afkar. Ia adalah Teddy. Anak kelas sebelas IPA yang memiliki skill hebat dalam bermain futsal.
Teddy dipilih juga bukan karena itu. Tapi, karena lelaki itu lebih bisa berpikir dewasa dari yang lain. Juga, tidak mudah terbawa emosi. Pembawaannya yang tenang, mampu membuat Afkar dan pelatih menetapkan Teddy sebagai ketua tim futsal sekolah yang baru.
"Thanks, Ted."
Teddy mengangguk dan menahan tubuhnya dengan kedua tangan yang ada di sampingnya. "Kak, keputusan lo dan coach yang menjadikan gue sebagai ketua ekskul tim futsal ini, apa udah tepat? Kok, gue jadi merasa ... nggak yakin sama diri gue sendiri(?)" Ia membuka suaranya.
Tanpa menoleh karena sibuk membuka botol air, Afkar bertanya, "Kenapa?" Lalu, diteguknya air itu.
"Gak paham juga, sih, gue. Kayak ... apa, ya? Gue cuma takut gak bisa mimpin mereka semua dan memajukan tim kita, Kak," ujar Teddy memberi tahu Afkar. Tatapannya masih mengarah ke depan sana.
Menutup botol kembali setelah selesai minum, Afkar menolehkan kepalanya. "Kalau lo gak yakin sama diri lo sendiri, apa kabar sama mereka?" Ia menunjuk anak-anak tim futsal, dari kelas 10 dan 11 yang sedang berkumpul di tengah lapangan. Asyik bercanda.
Teddy hanya melemaskan kedua bahunya. Tidak tahu harus menanggapi apa lagi. Lalu, yang ia rasakan adalah sebuah tepukan di pundaknya. Afkar-lah yang melakukan itu.
"Gue tahu apa yang lo rasain, Ted, karena gue juga pernah ada di posisi lo. Tapi, gue selalu menanamkan keyakinan dan kepercayaan diri gue ke diri gue sendiri. Gue memotivasi diri sendiri supaya gue terus melangkah ke depan. Nggak peduli rintangan dan halangan apa yang akan terjadi nanti. Karena gue percaya, kedua hal itu akan ada, itu sebabnya gue hanya perlu yakin sama diri gue sendiri kalau gue bisa melaluinya.
"Itu juga berlaku buat lo, Ted. Gue dan coach percaya sama lo kalau lo pasti bisa. Jadi, karena adanya kesempatan ini, tolong jangan kecewakan kami."
Mendengar penuturan dari Afkar, Teddy sedikit merasa lega. Pantas saja Afkar dipilih sebagai ketua ekskul, ternyata kedewasaannya memang tidak diragukan lagi. Ya, setidaknya terlepas dari sisi judes dan galaknya.
"Kalau ada sesuatu yang terjadi, gue boleh, kan, Kak, cerita ke elo?"
"Bebas, Ted, asal sesuai porsi." Afkar bangkit berdiri. "Gue duluan," lanjutnya. Kemudian pergi dari sana setelah pamit pada anak-anak yang lain.
><
"Gue jajan kerak telor, cuy!" seru Raka ketika datang membawa satu kantung plastik ukuran sedang di tangannya. Lelaki itu mengangkat tinggi-tinggi plastiknya sambil tersenyum cerah. Jangan lupakan juga kalau wajahnya begitu bersinar malam hari ini.
Alih-alih rebahan di rumah masing-masing, seperti biasanya Afkar cs berkumpul di malam hari. Kali ini rumah Ganda sebagai markas, itu asal permintaan dari Misbah yang jarak rumahnya dengan Ganda tidak terlalu jauh. Hanya berbeda blok saja. Masih satu perumahan.
Afkar yang duduk di atas karpet bulu dengan tubuh yang menyandar pada sofa di belakangnya itu menoleh dengan wajah datar. Apalagi ketika di belakang Raka ada Misbah yang mengikutinya, ia langsung mendengus samar.
"Gue bawa sepeda, dong!" kata Misbah memberi tahu setelah duduk di sofa yang Afkar sandar itu.
"Lo mau bawa becak, odong-odong, kapal laut, bahkan jet pribadi juga, bodo amattt!" sahut Raka mengambil duduk di samping Afkar dan langsung membuka plastik. Membongkar isinya, kerak telor.
"Weh, Ka, lo beli kerak telor di mana?" tanya Misbah.
"Nenek moyang gue, Mis."
Ganda langsung terkekeh. "Si Sinting," gumamnya. Lelaki itu duduk di sofa yang lain. Tidak sama dengan ketiga temannya.
Misbah dengan enak hati menoyor kepala Raka. "Gila. Nenek moyang lo udah gak ada di dunia, Rak Piring!" ucapnya dengan kesal.
Raka menatap Misbah dengan alis yang menekuk. "Bego dipelihara, sih. Ya, jelas aja di penjual yang jual kerak telor dong, Misbah, ganteng, pinter, anak soleh," jelasnya, lalu mengalihkan tatapan.
"Gue bukan anak soleh! Anaknya Bapak Wirawan, nih!" Misbah memprotes.
Afkar menampar kaki Misbah. "Kayak Tarzan lo, berisik!"
Raka tertawa dengan mulut yang penuh dengan kerak telor. Ganda tertawa juga karena Misbah disebut Tarzan oleh Afkar. Itu menghasilkan Misbah yang melemaskan kedua bahunya.
"Gak papa, nanti dapet pasangan yang cantik, hidup di hutan dengan tenang, tanpa hujatan dari kalian," sahut Misbah dengan asal.
"Sana lo di hutan. Nanti anaknya temenan sama monyet. Cocok, sekawan."
"Siap dicoret dari KK, dong?" tanya Ganda.
Misbah menatapnya. "Siap kalau udah dikasih warisan. Kalau belum ya, nanti dulu, deh."
"Cari duit sendirilah," ucap Afkar. Tangannya mencomot sedikit kerak telor milik Raka, di mana temannya itu tadi menawarinya.
Misbah membuat gerakan seolah ia memukul kepala Afkar. "Besok-besok kalau nggak kesiangan."
"Gampang itu, Mis, entar gue alarm biar lo gak kesiangan nyari uang." Raka yang menyaut.
Melihat Afkar yang memakan kerak telor bersama Raka, Misbah tidak terima. Ia turun dan duduk di tengah-tengah, antara Afkar dan Raka. Padahal di sana sudah sempit, memang dasarnya Misbah selalu saja rusuh. Tubuh kedua temannya bahkan oleng ke samping.
"Bagi, dong, Ka! Pelit amat lo beli kerak telor gak nawarin gue. Basa-basi kek biar kelihatan sopan sedikit sama temen," ucap Misbah, sudah seperti ibu-ibu yang mengomel.
"Lo minta-mintanya gak sopan banget, sih, Mis?!"
"Minta-minta? Heh! Gue bukan pengemis, Rak Piring!"
Sebelum keributan terjadi, Afkar sudah menyuruh mereka untuk tidak melanjutkan keributan itu. "Diem, deh. Lagian, kalian udah kayak kerak wajan, gak usah rebutan kerak telor. Makin berkerak nanti muka kalian," paparnya, di mana langsung mendapatkan dengusan dari Raka dan Misbah, namun gelak tawa dari Ganda.
><
Gak tau mood aja nulis part Afkar cs, xixixi
Jangan lupa tinggalkan jejak, ya
Sehat selalu semuanya
Indramayu, 12 November 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
The Best Part (END)
Teen FictionAda satu bagian yang kosong sebelumnya. Bagian itu tidak pernah diusik oleh siapapun. Tapi, setelah seseorang itu hadir, bagian itu terusik, lalu terisi dengan baik. Bagian itu adalah bagian yang kini menjadi bagian terbaik dalam hidupnya. Seharusny...