Irfan menoleh, lalu tersenyum sambil mengangkat sebelah tangannya yang memegang sebuah bingkisan. Tidak sadar jika bingkisan itu berhasil membuat Caca terdiam di tempatnya.
"Ca, ini gue-"
Caca menyela, "Apa kamu orangnya?"
Irfan mengernyit. "Orang apa, sih, Ca?"
"Apa kamu orang yang selama ini bersembunyi di balik barang-barang, makanan dan minuman yang selalu ada di loker aku?"
Laki-laki yang tadi tersenyum itu, langsung melunturkan senyumannya. Ia bergeming. Menatap Caca yang menatapnya dengan tatapan berbeda. Ada pancaran kekesalan yang tersirat di sana, dan ia menyadari itu.
"Jawab!" bentak Caca. Berhasil membuat Irfan meneguk ludahnya. Orang-orang di sekitar mereka menatap penuh tanda tanya.
Melihat Irfan yang diam saja, Caca menggelengkan kepala cepat. Ia menghentakkan kaki dengan mata yang mulai berkaca. "Irfan, jawab! Jawab kalau itu bukan kelakuan kamu!"
Jika memang benar Irfan adalah orang di baliknya, kenapa laki-laki itu bisa melakukannya tanpa rasa bersalah? Kenapa bisa, Irfan bersembunyi seperti itu?
Caca lebih suka berteman dengan siapa pun, tapi tidak seperti ini ujungnya. Jika pertemanan itu hanya memunculkan sebuah perasaan, maka sejak awal ia tidak akan mau menerima kehadirannya.
Namun, bisakah manusia tahu takdir seperti apa yang akan Tuhan beri?
Apa bisa manusia memilih perasaan itu hadir kapan dan untuk siapanya?
Lalu, apa mungkin, manusia menyalahkan Tuhan, hanya karena takdir yang tidak sesuai dengan harapan?
Caca tahu jika semua itu adalah takdir Tuhan. Hanya saja, ia benci ketika orang yang sudah dianggap menjadi temannya, justru seperti itu. Seharusnya, jika Irfan memang memiliki perasaan itu untuknya, kenapa tidak bilang sejak awal-awal perasaan itu muncul?
"Ca, gue ...."
"Aku benci sama manusia bertopeng. Aku emang bodoh. Iya, aku emang nggak sepintar perempuan lain yang langsung bisa nangkap gerak-gerik orang yang lagi suka sama seseorang. Aku juga nggak sadar kalau selama ini aku dibodohi sama temen sendiri," sela Caca. Ia tidak menyadari jika orang-orang di sekitarnya sedang memperhatikannya dengan Irfan, bahkan Gigi dan HRD pun menatap dari ambang pintu kelas.
Irfan maju selangkah, membuat Caca mundur. Gadis itu menggelengkan kepala. "Apa karena Mas Nino dan Mbak Kayla mau menikah, jadi kamu berpikir kalau ada kesempatan besar buat kamu bisa melakukan itu sama aku, Fan?"
"Ca, gue bisa jelasin semuanya, tapi nggak sekarang," ucap Irfan.
"Karena kamu pengecut!" Caca berteriak.
Di tempatnya, Gigi ingin mendekat, namun dicegah oleh Dika dan Raihan, sedangkan Haikal sudah melotot. Melarangnya untuk mendekati Caca.
"Caca nggak pernah semarah itu. Gue khawatir sama dia, apalagi dilihat orang-orang gini," kata Gigi.
"Bukan urusan lo atau kita, Gi. Resiko kalau dilihat banyak orang." Dika membalas. Gigi langsung diam.
"Gue bukan pengecut," ucap Irfan mantap. "Karena gue punya alasan yang kuat, kenapa gue nggak omongin semuanya secara langsung."
"Aku nggak suka cara kamu, Fan." Caca mulai melunak. Ia mengusap kasar air matanya yang keluar. Satu hal yang ia benci juga, ketika sisi cengengnya tidak bisa diajak kerjasama seperti sekarang.
"Ca." Irfan menghela napas. "Gue lakuin itu semua karena sebagai bentuk pengungkapan rasa suka gue ke lo. Perasaan yang gue nggak tahu kapan hadirnya itu nggak bisa gue atasi dengan gampang. Ngelihat lo tiap hari, tiap kita bareng di kegiatan ekskul, cukup ngebuat gue ngerasin perasaan yang nggak pernah gue rasain sebelumnya," ujarnya menjelaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Best Part (END)
Teen FictionAda satu bagian yang kosong sebelumnya. Bagian itu tidak pernah diusik oleh siapapun. Tapi, setelah seseorang itu hadir, bagian itu terusik, lalu terisi dengan baik. Bagian itu adalah bagian yang kini menjadi bagian terbaik dalam hidupnya. Seharusny...