Nyengir kalian jomblo!🤣
Cincin yang melingkar di jari tengah Caca terus menghantui Afkar sampai besok malamnya. Di kepala muncul beberapa pertanyaan yang tak diketahui jawabannya. Ingin bertanya pun, pada siapa? Afkar tidak bisa menemukan jalan keluar apa pun.
Apakah cincin itu adalah cincin pertunangan yang tempo hari Afkar dengar saat di kantin?
Tapi, kalau cincin pertunangan, kenapa dipakai di jari tengah? Mengapa tidak di jari manis?
Lalu, kenapa di usianya yang masih muda, Caca bertunangan? Dengan siapa?
Afkar berdecak karena baru sadar jika ia tengah memikirkan suatu hal yang sebenarnya tak harus dipikirkan sampai kesal begini. Kenapa pula ia harus repot-repot terusik dengan cincin itu? Mau Caca sudah bertunangan atau belum, bukan urusannya juga, 'kan?
Malam ini seperti biasa rumah Afkar dijadikan tempat 'tumpangan makan dan tidur' oleh ketiga temannya. Ada Raka dan Misbah yang asyik bermain PS, lalu ada Ganda yang tengah berkutat dengan layar laptop miliknya sendiri yang dibawa dari rumah. Kebetulan Wi-Fi rumah Afkar tidak pernah lelet. Koneksinya patut diacungi empat jempol.
Mendengar decakan dari Afkar, Ganda menoleh sekilas pada temannya itu yang menyandarkan tubuh di kepala ranjang, sedangkan dirinya di meja belajar Afkar yang memang dekat dengan tempat tidur.
"Kenapa, Kar?" tanya Ganda, lalu mengambil flashdisk dalam tas dan menyambungkannya ke laptop.
Afkar menggeleng cepat. "Nggak papa."
"Cewek bener, dah," kata Ganda.
"Ya, emang nggak papa, terus gimana lagi?"
"Kampret lo, Raka! Mati aja lo!" pekik Misbah. Ganda sampai mengatupkan bibirnya kembali, padahal ia ingin membalas ucapan Afkar.
"Lo ngomong kasar lagi gue usir, ya?" Afkar mengancam Misbah, lalu duduk dengan tegak. Mendengkus malas, setelahnya, saat Misbah masih saja beradu mulut dengan Raka.
"Ada masalah apaan?" Ganda bertanya sekali lagi. Jika tidak dijawab, ia akan memakai cara Misbah dan Raka agar Afkar mau bercerita. Sekeras apa pun Afkar menutupi, wajahnya tidak bohong jika lelaki itu sedang memikirkan sesuatu.
Melihat Ganda yang sudah menutup laptop dan memasukkannya ke dalam tas, lalu duduk menghadapnya, Afkar berdeham sejenak. "Ada yang ngusik," ujarnya.
"Ngusik lo? Yang bener?" Ganda mengernyit. Cukup aneh jika Afkar ada yang mengusik. Sejauh ini, meskipun Afkar famous, tidak ada yang berani macam-macam dengan temannya itu.
Afkar mengangguk. "Ngusik pikiran," katanya.
"Tukang kredit kali. Yarnen, ya?" celetuk Raka tiba-tiba. Matanya masih fokus pada layar di depannya.
"Yarnen apaan?" Ganda bertanya.
Kali ini Misbah yang menjawab, "Ya elah, yarnen doang nggak tahu. Yarnen, tuh, bayar panen."
Ganda menahan umpatannya yang sudah di ujung lidah. Afkar memutar bola matanya malas. Kosa kata baru sudah tercipta dari Raka dan Misbah. Entah dari mana mereka mendapatkan kosa kata seperti itu.
"Si Afkar pikirannya keusik karena punya hutang sama tukang kredit, tuh." Raka bersuara kembali.
"Raka bacot banget," ucap Misbah. Langsung mendapatkan toyoran dari Raka. Misbah sungguh tak tahu diri.
"Afkar penerus utama dari perusahaan almarhum abahnya, jadi nggak mungkin punya hutang di tukang kredit. Lagian, kredit apaan? Beli barang-barang aja selalu cash," tutur Misbah. "Kalau punya hutang ke tukang kredit itu baru emaknya Raka, valid, gue pernah lihat Raka ditagih uang kreditan sama Mas-mas yarnenan."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Best Part (END)
Teen FictionAda satu bagian yang kosong sebelumnya. Bagian itu tidak pernah diusik oleh siapapun. Tapi, setelah seseorang itu hadir, bagian itu terusik, lalu terisi dengan baik. Bagian itu adalah bagian yang kini menjadi bagian terbaik dalam hidupnya. Seharusny...