The Best Part. 21

1.1K 160 18
                                    

"Hari ini Mas Nino mau beli cincin, Ca," ucap Nino, kakak laki-laki Nina, yang sedang mengemudi.

Caca menoleh dengan terkejut. "Yang bener, Mas?" tanyanya tidak percaya.

Nino menganggukkan kepalanya, lalu tersenyum. "Nanti Nina juga ikut, makanya aku jemput kamu dulu, baru habis itu ke sekolah Nina."

Caca terdiam beberapa saat. Ia mengalihkan tatapan ke arah luar jendela. "Tadi, pas awal-awal Mas Nino gak ada bilang kalau mau beli cincin, cuma bilang mau ajak jalan-jalan," ucapnya.

Saat Nino menjemput Caca ke sekolahan gadis itu, ia tidak bilang jika akan membawanya untuk membeli cincin. Sudah pasti jika ia bilang, Caca tidak akan mau, justru akan menyuruhnya pergi dengan Nina saja.

Kalau hanya berdua, apalagi itu dengan Nina, pasti tidak akan seru. Nanti, bukannya membeli cincin, malah beli pernak-pernik yang menurut Nina lucu, dan dibeli semua. Bisa habis isi dompetnya nanti.

Nino melirik Caca sekilas. Gadis itu menatap ke arah luar jendela. Memperhatikan bangunan-bangunan kota yang tampak menjulang. "Kamu marah, Ca?"

"Enggak, Mas. Kalau marah, nanti takut diturunin di tengah jalan."

Nino tertawa renyah. Ia membelokkan setir ke kiri, ke arah sekolah Nina. "Jangan marah, Ca. Lagian, kan, nanti ada Nina. Mas bawa kamu karena mau tanya pendapat kamu soal cincin yang bakal dibeli. Begitu maksudnya." Nino menjelaskan demikian. Mobilnya kini melaju pelan karena sudah dekat dengan sekolah Nina.

Caca menggeleng. "Aku gak marah, Mas, beneran. Ya, aneh aja gitu Mas Nino beli cincin?"

"Kan, mau lamar anak gadis orang, jadi harus punya cincin, dong."

Caca sontak membulatkan kedua matanya. Gadis itu menoleh dengan terkejut. "Lamar? Mas Nino mau nikah?!"

Nino tersenyum penuh banyak arti, hingga Caca tidak bisa menangkap salah satu arti yang tersirat di dalamnya. Ini misterius untuk Caca. Dengan siapa dan kapan Nino akan melamar seseorang? Lalu, menikah? Caca kehabisan kata-kata.

><

"Mas, makan dulu lah, laper ini adiknya! Tega banget, deh!" Nina menggerutu dengan tangan yang memegang kantung belanjaan. Di sebelahnya ada Caca yang memutar bola matanya malas.

Mas Nino yang berjalan di samping Nina itu menoleh sejenak. "Iya, ini, kan, mau makan, Nina Sayang," balasnya, lalu mengambil alih kantung belanjaan dari tangan adiknya itu.

Nina tersenyum cerah. "Gitu, dong, dibawain belanjaan aku. Dari tadi, kek!"

Caca langsung menggelengkan kepala mendengar ocehan Nina. "Makanya, Na, kalau belanja itu jangan banyak-banyak. Keberatan jadi malas bawa sendiri, kan?"

"Tuh, dengerin!" Nino ikut menimpali.

Mereka saat ini sedang berada di mal. Sudah sejam yang lalu mereka mengelilingi mal itu. Dari toko perhiasan, yang memang tujuan awal mereka ke sana, sampai ke toko baju, aksesoris, dan yang terakhir toko buku.

Nina memborong baju dan beberapa aksesoris yang menurutnya lucu. Caca hanya membeli krayon baru, serta novel. Nino sudah membeli cincin yang tepat untuk calon istrinya, dibantu oleh Caca dan Nina. Saat ini waktunya mereka untuk mengisi perut karena hari sudah semakin sore.

Mereka memasuki restoran cepat saji. Nino mengantre untuk memesan makanan, sedangkan Caca dan Nina menempati meja yang akan mereka tempati.

"Aku masih penasaran gimana calon istri Mas Nino, Na," ucap Caca. Ia pandangi punggung Nino yang cukup jauh dari hadapannya.

Nina mengeluarkan ponsel dari tas, lalu menjawab, "Cantik, Ca, baik juga. Aku udah tahu siapa calon kakak iparku." Dengan mata yang menatap Caca.

Caca menoleh pada Nina. "Aku udah penasaran dari semenjak kita di mobil, tapi Mas Nino sama sekali gak mau kasih tahu. Aneh gak, sih, Na? Curang banget, tahu!"

The Best Part (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang