The Best Part. 25

812 135 15
                                    

Akhir-akhir ini Jakarta selalu diguyur hujan. Deras. Jalanan pun tidak terlihat karena hujan yang deras, ditambah langit yang begitu gelap. Hujan juga datang tiba-tiba. Membuat para pengendara roda dua menepi dan meneduh di mini market karena tidak membawa jas hujan.

Ramalan cuaca dari salah satu stasiun televisi tidak sesuai dengan kenyataan. Meski begitu, orang-orang masih saja percaya dengan ramalannya.

Sudah seminggu berlalu, loker Caca masih saja diisi dengan barang atau makanan dan minuman yang tak pernah absen. Membuat gadis itu mau tak mau harus mengambilnya setiap hari. Jika tidak diambil, maka sang pemberinya tidak akan mengambil kembali barang itu.

Caca pernah menempelkan sebuah note di atas barang yang seseorang itu taruh di lokernya. Hanya saja, hal seperti itu tidak mempan. Ujungnya akan dibalas, aku ikhlas kok, lagian nggak mau macam-macam sama kamu, aku bakal muncul kalau aku udah siap. Caca pusing setelah membaca itu.

Caca juga bingung, apa tujuan dia mengirim barang-barang itu padanya? Dan, yang membuat Caca takut adalah orang itu pernah menulis sebuah kalimat yang membuatnya merinding.

Aku ada di sekitar kamu. Jangan sadar kalau itu aku, sebelum aku siap untuk mengakui semuanya.

Itu artinya, orang itu satu sekolah dengannya, 'kan? Tapi, siapa dia?

Masih dalam hitungan jari laki-laki yang berteman baik dengannya. Ada Dika, Haikal, Raihan, Kak Afkar—tunggu. Apa Afkar bisa disebut sebagai teman baiknya? Ah, tidak. Bukan dia.

Di antara Dika, Haikal dan Raihan, tidak mungkin menjadi tersangka karena itu mustahil. Caca merasa jika mereka memang berteman dengannya selayaknya teman pada umumnya, bahkan mereka bertiga lah yang selalu melindunginya—termasuk Gigi.

Oke, mari kita sebut laki-laki yang mengenalnya saja dulu, kecuali HRD (Haikal, Raihan, Dika).

Irfan, Afkar, Raka, Misbah dan Ganda.

Tapi, di antara mereka juga, Caca tidak merasa kalau salah satu dari mereka adalah dalangnya, mengingat kalau dirinya begitu tak pantas disukai oleh lelaki mana pun.

Menyandarkan tubuh ke dinding, Caca melamun. Menatap lurus ke arah sana dengan sebuah barang yang ada di kedua tangannya. Barang yang orang itu berikan, lagi.

Jam pulang sekolah sudah berlalu tiga jam yang lalu. Saat ini hujan tengah turun deras. Caca yang usai ekskul itu terjebak di sekolah bersama yang lain, yang memang belum pulang.

Krayon keluaran terbaru yang masih disegel membuat Caca tak habis pikir. Kenapa harus krayon? Kenapa harus barang yang ia suka? Kan, jadi susah untuk menolak. Emmm, bukan gitu maksudnya.

"Ca!"

Caca mengerjap, lalu menoleh ke kiri. Ia mendapati Irfan duduk di bangku yang sama dengannya, tapi di ujung, tetap menjaga jarak.

"Kok ngelamun, sih?" tanya Irfan.

Caca menegakkan tubuh, kemudian terkekeh. "Lagi nikmatin udara waktu hujan aja."

Tatapan Irfan kemudian jatuh pada krayon yang dipegang Caca. "Beli krayon baru, Ca?" Ia tahu jika Caca suka mewarnai.

Caca ikut memandangi krayon itu. Kepalanya menggeleng. "Nggak. Dikasih sama orang," jawabnya.

Irfan mengangguk paham. "Baik banget itu orang ngasih kamu krayon. Itu keluaran terbaru, Ca."

Lalu, Caca beralih menatap Irfan. Ia mengernyit. "Kok kamu bisa tahu kalau ini keluaran terbaru?"

"Sepupu aku suka gambar sama mewarnai juga, jadi kemarin aku antar dia beli krayon itu."

Jawaban yang memuaskan untuk Caca.

"Oh iya, Mbak Kayla apa kabar?" tanya Caca sambil memasukkan krayon itu ke dalam tasnya.

"Alhamdulillah, sehat. Kamu kemarin ditanyain, kapan main ke rumah sama Nina," kata Irfan.

Irfan adalah adik Kayla—calon istri Nino—yang memanggil Caca waktu itu. Keadaan Irfan saat itu sedang tidak baik. Kakinya terkilir saat bermain futsal. Itu sebabnya jalannya tertatih seminggu yang lalu.

"Nanti, deh, kalau ada waktu luang pasti aku main ke sana sama Nina." Caca menatap kaki Irfan. "Kaki kamu udah sembuh, 'kan?"

Irfan menggerakkan kakinya. "Udah, alhamdulillah. Lagi pula udah biasa kekilir gitu, Ca."

"Jangan disepelekan. Orang tua kamu pasti khawatir. Harus bisa jaga diri sendiri, Fan."

Irfan tertawa, padahal tidak ada yang lucu. "Ibu ngomel sehari semalam waktu itu," ujarnya.

Caca tersenyum. Ada gurat sedih di bola matanya. "Pasti seru."

"Hah?"

"Iya, pasti seru diomelin ibu, dijaga sama ayah."

"Apa sih, Ca?"

Caca menatap Irfan. Lelaki itu tumbuh dalam ruang lingkup keluarga yang harmonis. Mendapatkan kebahagiaan dalam porsi yang pas, dan kehidupan yang tak pernah mendapatkan rasa sesak karena rindu untuk kedua orang tuanya selalu tersampaikan. Tidak seperti dirinya. Sangat kontras.

"Yang ngomel tiap aku kenapa-napa, pasti Mbak Esha, dan yang selalu berusaha untuk lindungi aku itu Mas Akbar. Mereka mewakili peran orang tua aku yang udah nggak ada."

Jika tahu kehidupan Caca yang tak pernah mendapatkan kasih sayang orang tua secara langsung sejak dulu mereka kenal, maka sekarang Irfan tak akan pernah menyesal kalau ia sudah menjatuhkan hatinya pada gadis itu.

***

Pagi ini cuaca cerah. Tidak tahu kalau beberapa jam kemudian. Hujan bisa saja turun sewaktu-waktu, tak terduga.

Hari ini Caca diantar oleh Akbar karena ban sepedanya bocor, sekalian mengantar Azhar juga. Tadinya Caca menolak, ingin naik angkutan umum, tapi langsung dicegah oleh orang rumah.

Saat lampu merah dekat dengan sekolah Caca menyala, Akbar bertanya, "Sekolah kamu gimana, Ca?"

Caca yang sedari tadi duduk di bangku sebelah Akbar dan memandangi cincin yang tersemat di jari tengah tangan kirinya itu menoleh. "Baik-baik aja, Mas, alhamdulillah nggak ada masalah."

"Syukur, deh, kalau gitu." Akbar melihat lampu merah sekilas, takut sudah berubah menjadi hijau. "Ada keperluan sekolah atau apa gitu yang lagi kamu butuhin?"

Kali ini Caca menggeleng. "Nggak ada, Mas. Lagian, kalau ada pasti bilang kok. Kan waktu itu udah dikasih tahu sama Mbak Esha, Mas Akbar, Kakek Fadil juga," tuturnya.

"Iya juga. Takut aja kalau-kalau kamu masih ngerasa sungkan sama Mas, kayak Mbakmu dulu."

"Ya, kalau Mas Akbar berlebihan, pasti aku juga sungkan. Asalkan dalam takaran yang pas, aku pasti bisa ngimbangin."

Lampu berubah menjadi hijau. Akbar kembali menjalankan mobil, memutar setir ke arah kiri, ke jalan menuju sekolah Caca. Ia sempat melirik cincin di jari adik iparnya itu. Cincin yang Esha berikan tadi malam. Cincin yang bersejarah dan baru kali ini bisa Esha berikan pada adiknya.

"Jaga baik-baik ya cincinnya. Mbakmu sayang banget sama cincin itu, apalagi sama yang ngasih," ucap Akbar.

Caca mengangguk patuh. "Kenapa baru sekarang aku dikasih cincin ini?" tanyanya.

"Karena kamu udah tujuh belas tahun." Akbar kemudian tertawa saat mengingat sesuatu. "Kamu lupa ya hari ini ulang tahun?"

Caca mengernyit. "Hah? Aku ulang tahun? Ketujuh belas?!"

Akbar menggeleng dengan sisa tawa yang keluar. Adik iparnya ini memang kadang seperti itu. Lupa akan hal sederhana, padahal penting.

***

Yeay, update!

Alhamdulillah, Caca ulang tahun nih. Tanggalnya masih dirahasiakan ya.

Gimana part ini? Makin ke sini makin sepi, aku jadi gak semangat nulis🥺

Afkar simpen dulu gak nongol ya, lagi ngungsi di rumahku🤣

Indramayu, 12 Februari 2021

The Best Part (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang