Umma menghadang kepergian Afkar yang saat ini sudah duduk di atas motor, bahkan sudah menyalakan mesinnya. Anaknya itu sedang memakai helm, ia dengan segera berjalan ke arah Afkar sambil menenteng paper bag di tangannya.
Afkar menekuk alis ketika Umma datang menghampirinya. Ummanya itu terlihat sangat terburu-buru, seperti takut tertinggal sesuatu. Dengan kepala yang sudah terpasang helm, ia pandangi ummanya dengan terheran-heran.
"Untung Abang belum pergi." Umma mengembuskan napas leganya sambil tersenyum cerah. Ia kemudian mengangkat sebelah tangannya. Menunjukkan paper bag pada Afkar.
"Kenapa, Ma?"
"Umma titip ini buat Caca, ya. Nanti misalkan kamu mau ke kelas, jangan lupa kasih ini dulu buat Caca. Bilang aja titipan, gitu."
Afkar menatap paper bag itu sejenak, lalu menghela napas. Umma yang melihat anaknya seperti itu langsung merasa tidak suka. "Kamu keberatan, Bang?"
Afkar sontak menggeleng. "Enggak, Umma. Ya udah, nanti aku kasih ke Arsya," katanya menuruti permintaan ummanya.
Umma tersenyum sambil menyerahkan paper bag itu. Ia kemudian menepuk-nepuk pundak anak laki-lakinya itu dengan senang. "Makasih, ya, Bang. Sampaikan salam buat Caca."
"Iya, Umma, nanti disampaikan ke Arsya-nya."
"Caca, bukan Arsya." Umma mengingatkan.
Afkar berusaha untuk sabar. "Nama aslinya Arsya, bukan Caca," ujarnya.
Umma mengangguk saja, lalu menyuruh Afkar untuk segera pergi. Bukan karena takut Afkar terlambat, tapi karena ia tidak sabar apa yang ia berikan untuk Caca itu sampai di tangan gadis itu.
Afkar menurut saja. Ia kemudian bergegas pamit. Mengendarai kendaraan roda dua itu dengan kecepatan sedang. Selama di perjalanan, ia sempat memandangi paper bag itu sejenak.
Entah perasaan aneh apa yang tiba-tiba saja muncul dalam dirinya, laki-laki itu kemudian bertanya pada angin lalu. "Takdir atau kebetulan, Arsya?" Yang entah jawabannya itu apa.
><
"Halo?"
"Iya, halo ... Kak Afkar?"
Caca memilin bibirnya sendiri. Suara seseorang yang ada di seberang sana adalah Afkar, kakak kelasnya. Terbukti dari nama kontak di ponselnya itu, terpampang dengan jelas kalau lelaki itu meneleponnya di jam tujuh kurang lima belas menit sekarang ini.
Ia juga sebenarnya bingung, untuk apa Afkar meneleponnya?
"Iya, ini gue."
"Emmm ... ada apa, ya, Kak?"
"Lo di mana?"
"Di dalam kelas, Kak."
"Ke luar dulu, gue di depan, sekarang."
Tut.
Panggilan diputus sepihak. Caca pandangi layar ponselnya dengan jantung yang bertalu. "Ini orang kenapa suka banget bikin deg-degan, sih?" monolognya dengan bingung.
Kemudian Caca beranjak dari duduk. Ia langkahkan kakinya keluar kelas. Di dalam kelas cukup ramai karena bel akan berbunyi kurang lebih lima belas menit lagi. Tiba-tiba saja perasaannya menjadi gugup ketika menyadari jika Afkar ada di depan kelasnya.
Caca menengok ke arah kanan, ia menemukan Afkar di ujung koridor. Berdiri di pembatas balkon dengan tangan sebelah tangan yang dimasukkan ke dalam saku hoodie. Sementara sebelah tangannya yang lain menenteng paper bag.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Best Part (END)
Teen FictionAda satu bagian yang kosong sebelumnya. Bagian itu tidak pernah diusik oleh siapapun. Tapi, setelah seseorang itu hadir, bagian itu terusik, lalu terisi dengan baik. Bagian itu adalah bagian yang kini menjadi bagian terbaik dalam hidupnya. Seharusny...