Part 20 - Berunding

73 14 12
                                    

"Budak Sunda mah, susah."- Icung yang capek.
.
.
.

Setelah kegenitannya Enyak ke Laki-laki yang berparas emejing, akhirnya mereka mempersilahkan laki-laki tersebut buat duduk. Barengan sama Jaemin yang baru gabung.

"Wett, bule dari mana nih?"

"Gak usah norak, Jaem."

Jaemin gak denger. "Nice to meet you, sir."

Jaehyun--laki-laki tersebut tersenyum mengangguk. "Mas, aja."

"Mas?"

"Mas Jae, saya biasa dipanggi seperti itu."

"Busett dah, kirain bule asli."

"Kata Chenle, Mas nya dari Malang?" tanya Mark.

Jaehyun mengangguk. "Itu asal kelahiran saya. Mungkin Chenle gak tau kalo saya sekarang tinggal di New York."

"ANJENG, NEW YORK!" Haechan syok.

"Gak usah norak, Bang." Mampus, diledek balik sama Jisung.

Renjun berdehem, kemudian ikut duduk disamping Mark. "Mas tau, kalo Mas Jae kesini buat ngajarin kita main musik?"

Jaehyun mengangguk. "Papahnya Chenle sudah menjelaskan semuanya pada, Saya."

Haechan bergerak canggung. "Formal teuin, euy."

"Lo nya yang terlalu informal." sahut Jeno.

"Maaf kalo kalian merasa canggung, Saya sudah lama tinggal di New York soalnya, jadi sedikit susah untuk bicara dalam Bahasa Indonesia. Tapi mungkin Bahasa Jawa saya masih lancar." Jelas Jaehyun.

"Oh, bisa Bahasa Jawa?!" tanya Jaemin.

Jaehyun mengangguk tersenyum.

"Pie kabare?"

"Yeuu, si anying. Nanya kabar tuh, diawal-awal!"

"Kumaha aing be, aihsia. Teu usah ribut-ribut."

"Budak Sunda mah, susah." Gumam Jisung. Kelamaan bergaul sama mereka mungkin bakalan bikin Jisung sedikit bisa ber-bahasa lebih dari satu.

Jaemin sama Haechan yang sering kebiasaan pake bahasa sunda, Mark yang kadang-kadang suka pake bahasa inggris, Jeno dengan diam seribu bahasa, Renjun dengan bahasa Hewannya, dan terakhir Chenle dengan bahasanya aliennya yang gak pernah Jisung mengerti.

"Ada ap-Lho, Mas Jae udah sampe?"

"Dari tadi keless!" sahut Renjun.

"Lo kelamaan boker, sih." Sahut Haechan.

Chenle mendesis. Kemudian menghampiri Jaehyun dan menjabat tangannya. "Cepet banget nyampenya, naik penerbangan apa?"

"Penerbangan buroq." Celetuk Haechan.

Chenle kayaknya denger suara, guk-guk.

"Saya merasa senang sekali bisa dipercaya untuk melatih kalian. Ya, walaupun kemampuan saya tidak seberapa." Ujar Jaehyun.

Chenle tertawa formal--yang mengundang keheranan bagi Mark dkk. Biasanya kan, kalo Chenle ketawa, toa masjid depan komplek kalah sama suaranya Chenle. Tapi kali ini ketawanya alig banget, alim euy.

"Mas Jae terlalu merendah."

"Tidak, memang seperti itu kenyataanya."

"Kalian ngomongin apa sih?" heran Haechan.

Ya, gimana ya. Selama ini Chenle gak pernah nunjukin sikap formalnya sama mereka-mereka, Chenle cuma biasa formal di depan klien-klien kantor aja. Jadi mereka keheranan sama sikap formalnya Chenle.

"Jadi, bisa kita omongin rencananya sekarang?" tanya Chenle, yang diangguki oleh Jaehyun.

"ANJIR!" Haechan kicep. "Ini teh kita mau miting yang biasa aing liat di film-film itu?"

Renjun menggeplak punggung Haechan. "Dibilang gak usah norak!"

"Ya, maap. Aing syok."

Kemudian mereka mulai menduduki sofa dengan berhadapan satu sama lain. Chenle sama Mark dibiarkan duduk disamping Jaehyun, karena kalo dibiarin deket-deketan sama Jaemin apalagi Haechan, diskusinya gak bakalan kelar-kelar satu windu.

Mark berdehem, memulai diskusi dadakannya mereka. "Kita udah nentuin beberapa orang buat pegang alat apa sih, Mas. Tapi karena Mas ada disini, gimana kalo Mas Jae liat dulu kemampuan mereka, terus baru nentuin alat apa yang mereka pegang."

Jaehyun mengangguk. "Itu hak kalian, saya hanya mengikuti."

"SSSTTT!" Jeda Haechan. "Mas Jae nya, beneran gak bisa ngomong santai aja, Mas? Berasa lagi meeting beneran ini."

Jaehyun menggaruk tengkuknya. "Saya belum terbiasa."

"Di Malang, Mas Jae sering pake bahasa Jawa ya?" tanya Chenle.

"Iya, tapi itu sudah lama. Saya sebenarnya tinggal di New York."

Chenle melotot. "LHO, KATA PAPAH ADA DIMALANG."

"Ya, memang. Saya sering mampir ke Malang untuk berkunjung. Setelahnya, Saya kembali ke New York."

"Yaudah, lanjutin aja Mas Jae. Gak papa, ngomong senyamannya aja. Haechan emang anaknya kayak gitu, banyak mau nya."

"Aing meneh."

Jaehyun mengangguk. "Kalo masalah megang alat apa, itu terserah kalian. Kalaupun kalian tidak bisa memainkannya, gampang, kita hanya perlu berlatih."

"Baiklah, lalu apa rencana kita selanjutnya kedepan?" Celetuk Jaemin. Kelewat formal, dan kelewat santai. Gak nyadar aja orang disampingnya udah melotot jijik.

"AIHSIA KERASUKAN SETAN NAON?!"

"Kelewat formal, anjir!" Jeno ngakak.

"Gak usah ngadi-ngadi lah, Bang." Jisung capek. Gobloknya kebangetan.

Jaehyun tersenyum. "Saya rasa, jika kalian sudah menguasai hal-hal dasarnya, itu akan memudahkan kita kedepannya. Kita hanya perlu membuatnya lebih bagus."

"Masih ada satu orang lagi sih, Mas."

"Siapa?"

"Cewek. Dan perihal nge-band ini sebenernya hukuman buat Jeno, Haechan, dan Seha. Kita cuma membantu." Jelas Mark.

Jaehyun mengangguk paham. "Ah, jadi begitu. Saya suka solidaritas kalian."

"Ya, sebenernya mah, kepaksa, Mas." Celetuk Renjun. Julid emang.

"Bagaimana kalau kita undang Seha juga? Akan lebih bagus kalau dia ikut diskusi bareng Kita."

Haechan langsung ngerogoh HP-nya. Buat apa? Ya, buat nelfon Seha! "Lebih bagus kalo kita gerak cepat!" Cengirnya.

"Yeuu, Sapi!"

Dering pertama.

"Gak bakal di angkat." Sahut Jeno.

"Diem siah."

Dering kedua.

"Gocap-gocap, yok!" Tambah Renjun.

"Cocot siah."

Dering ketig-

"Halo."

"ASTAGA, KEAJAIBAN DUNIA!!"

...

To be continued.
.
.
.
.

Tentang Mereka | 7 DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang