Bab 7 | Back Hug

406 62 5
                                    

Setelah kejadian terakhir kali kemarin, sampai saat ini aku masih mendiami Kak Brian. Aku benar-benar enggan mengajaknya berbicara, apalagi bertemu dengannya. Sempat aku mengira kalau laki-laki itu akan ngotot mengajakku berbaikan, tapi ternyata dia malah terlihat santai-santai saja. Parahnya sekarang dia juga tak pernah kelihatan di manapun.

Laki-laki itu menghilang seakan ditelan bumi. Aku tak bisa menemukan keberadaannya ketika melewati sekret UKM Musik. Tidak juga ketika berada di kantin, masjid, parkiran sepeda, hingga perpustakaan. Hal inilah yang menjadikanku sering marah-marah tak jelas pada akhir-akhir ini.

Sampai-sampai kemarahanku itu telah memakan korban banyak. Contohnya seperti kemarin ketika giliran kelompokku presentasi. Lalu secara tiba-tiba laptopku tidak mau menyala. Alhasil aku terus mendumel dan menyalahkan benda itu. Padahal aku sendiri yang lupa men-carger-nya sebelum berangkat kuliah.

Aku juga pernah tengah malam tiba-tiba mengomel di grup kelas karena banyak dari temanku yang ternyata telat mengumpulkan tugas. Padahal tugas tersebut masih bisa dikumpulkan besok pagi karena dosen kami memberikan batas waktu setelah jam istirahat makan siang.

Begitupun juga dengan saat ini. Sekarang korbannya sudah beda lagi. Rara memintaku untuk menjelaskan tentang tugas yang baru saja diberikan Bu Endah, dosen Statistika Dasar.

"Makanya kalo dosen ngomong itu didengerin! Jangan main hp mulu!"omelku dengan nada ketus karena sudah berapa kali aku menjelaskan, tapi Rara tak kunjung paham.

"Lo kenapa sih, Neng? Gue liat dari kemarin bawaannya ngegas mulu," balas Rara tak kalah jengkelnya.

"Gak papa."

Namun, sepertinya dia kurang puas dengan jawabanku. "Yeeee.. gue yang kenapa-napa! Masak cuman nanya gitu doang malah digas?! Gue tau ya, kalo lo aneh banget akhir-akhir ini! Apalagi kemarin gue sempet perhatiin lo lagi mukul-mukul panci mie cuman karena jatoh kesenggol tangan lo sendiri."

Sekarang gantian Rara yang mengomel padaku. Bahkan omelannya lebih panjang lagi. Aku tak berani mengelaknya, sebagai gantinya aku hanya diam seraya menghindari tatapan matanya.

"Hei!" panggil gadis itu seraya menyenggol lenganku. "Pasti lo belum baikan ya sama Kak Brian? Awet bener kalian kalo lagi marahan. Udah hampir satu abad, woy!"

"Lebay lo, ah! Orang baru masih satu minggu doang."

"Baru? Emang mau seberapa lama?!"

"Udah, ah! Sana-sana! Ganggu banget sih," usirku sembari mendorong-dorong pundaknya. Namun, hal itu ternyata sia-sia karena tempat duduk kami memang bersebelahan.

"Lo gak ada niatan mau baikan apa?"

"Gak tau," jawabku singkat. Lalu segera saja kukemasi barang-barangku karena hari ini aku tidak ada kelas lagi. Jadi, lebih baik aku pulang saja.

"Yaelah. Orang baru pacaran mah, uwu-uwuan. Ini malah diem-dieman."

"Terus gue musti gimana, Naura Ratna Wibowo?" ucapku gemas.

"Ya, samperin kek! Atau apa gitu!"

"Dih, ogah! Dia yang salah aja gak punya itikad baik mau nyamperin gue duluan, kok malah gue yang musti datang ke dia?"

Jika kalian berpikir kalau aku ini adalah anak yang jaim, benar tepat sekali! Tak jarang aku sering perang batin ketika dihadapkan dengan situasi serba salah seperti ini. Sebenarnya sejak kemarin aku berniat mengakhiri perang dingin kami. Namun, di sisi lain aku juga selalu gengsi kalau harus memulai duluan.

"Paling tidak nih ya, lo minta penjelasan dari dia, biar semuanya bisa cepat clear!"

Sejenak keheningan tercipta di antara kami. Saat ini aku sedang mempertimbangkan kembali saran dari sahabatku ini. Bahkan aku terpaksa menghentika kegiatanku.

Space | Youngk DAY6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang