Bab 21 | Godaan

201 38 2
                                    

Kelas Bu Wardah pagi ini telah usai. Sebagian dari teman sekelasku sudah ada yang pulang, karena hari ini hanya terdapat satu mata kuliah saja. Aku pun akhirnya memutuskan ikut menemani Rara sarapan di kantin.

Saat ini aku terlihat seperti orang yang sedang memikul beban berat. Aku masih tak bisa membayangkan bagaimana nasibku nantinya. Selama satu semester ke depan aku harus terjebak dalam situasi seperti ini.

Nampaknya aku harus menyiapkan mental mulai dari sekarang. Khususnya kalau tiba-tiba Bu Wardah menyinggung statusku sebagai pacar anaknya.

Andai saja Kak Brian tak bercerita pada beliau tentang diriku. Pasti nasibku mungkin tidak akan seperti ini. Namun sepertinya itu sangat mustahil, karena lelaki itu terlihat seperti tipikal anak yang dekat dengan mamanya.

"Hei, Oneng! Semangat dikit napa sih?! Lo kayak prajurit cupu yang mau diutus ke medan perang aja," kata Rara setelah kembali dengan sepiring nasi pecel di tangannya.

Sontak aku langsung menegakkan kepalaku. Kini kutatap wajahnya dengan sengit. Enteng sekali dia bicara seperti itu! Apa dia gak bisa bersimpati sedikit padaku?

"Gue mana bisa semangat kalau kayak gini caranya, Ra. Kenapa sih Ian cepu banget ke mamanya? Pakai acara nitip salam lagi," ucapku sebal.

Rara mengelengkan kepala melihat kelakuanku. "Ya, lo kenapa gak dipikirin dulu sebelum pacaran sama si gembul. Ini tuh salah satu resikonya, Neng," katanya seraya melahap makanannya.

"Lo juga kenapa gak cerita ke gue sebelumnya? Tadi pas gue paksa malah pake kode-kodean gak jelas. Gue 'kan gak paham," jelasku membela diri.

Meskipun kalau Rara memberitahuku tadi, tetap saja itu hitungannya juga telat sih. Secara sejak awal aku memang menerima Kak Brian dulu sama sekali tak memikirkan background lelaki itu.

"Ya gue pikir lo udah tahu, Neng."

"Gue belum tahu, Ra," jawabku pasrah. Iya, hanya itu yang bisa kulakukan sekarang.

"Hei para gadis, tapi yang cantik hanya pacarku seorang, kok lesu gitu?"

Tiba-tiba ada suara lain yang menginterupsi pembicaraan kami. Ternyata orang tersebut adalah si biang kerok dari kegaduhan tadi pagi. Si oknum yang "sok" nitip salam lewat mamanya. Siapa lagi kalau bukan Brian Adam Alvaro pelakunya.

"Nih, tanya aja ke pacar lo!" jawab Rara sambil menunjukku. Sedangkan diriku hanya menatap lelaki tersebut dengan ekspresi datar.

Kak Brian langsung menoleh padaku, wajahnya nampak bingung. Segera dia menarik kursi di sampingku, lalu duduk menyerong menghadapku.

"Ada apa, By?" tanya lelaki itu. Namun, sedetik kemudian dia baru menyadari ekspresi wajahku. "Eh, bentar! Loh kok wajahmu melempem gitu?"

Sejenak aku membuang napas dengan kasar. "Ini semua gara-gara kamu!"

"Kok aku sih?! Emang aku salah apa?"

"Banyak!" balasku secepat mungkin.

Kak Brian langsung tersentak setelah mendengar nada bicaraku yang tiba-tiba meninggi.

"Kenapa sih?! Kamu kok cepu banget ke Bu Wardah sampai bilang mau nitip salam segala."

"Oh, mama udah nyampein ke kamu ya?" ujarnya enteng.

"Santai banget kalau ngomong! Iya, Bu Wardah tadi bilang kalau putranya nitip salam buat aku. Katanya, kalau calon mantunya cantik," omelku cepat dengan sengaja menekan nada saat aku menyebutkan kata "putranya".

"Lah emang cantik 'kan?!" balas lelaki itu enteng. Lama-lama aku menjadi geram melihat kelakuannya. Namun, aku hanya bisa menghembuskan napas lelah.

Kembali dia melanjutkan kalimatnya, "Cantik banget ini. Sampai-sampai aku gak bisa jauh darinya."

Space | Youngk DAY6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang