Bab 14 | Rumah Ona

228 40 2
                                    

Libur semester telah dimulai, kini aku berencana pulang ke Sidoarjo. Rara sudah pulang ke Surabaya sejak kemarin sore setelah UAS selesai. Aku yang biasanya pulang bersama dengannya, tapi sekarang harus rela pulang sendirian.

Awalnya kupikir, aku akan naik bis seperti biasa. Namun, ternyata Kak Brian bersedia mengantarku pulang. Sebenarnya ini bukan atas permintaanku sendiri. Melainkan lelaki itu yang memang dari dulu ngotot ingin tahu letak rumahku yang ada di Sidoarjo. Jadi tanpa perlu pikir panjang lagi aku pun menyetujuinya. Lagipula mumpung gratis.

Selain itu alasam Kak Brian ngotot ingin ikut karena dia sedang sendirian di rumah. Kedua orang tuanya sedang ada acara workshop di Blitar. Jadi rumahnya sepi seperti biasa.

Katanya, orang tuanya itu selalu sibuk di luar rumah. Jadi, keadaan rumah selalu terasa sepi. Ramainya cuman ketika weekend atau tidak ketika malam hari, karena pada saat itu mamanya baru pulang.

Walaupun begitu Kak Brian tetap merasa enjoy-enjoy saja. Dia hampir tak pernah mempermasalahkan soal orang tuanya selalu sibuk bekerja ketimbang menghabiskan waktu bersamanya. Lelaki itu berpikir kalau mereka sibuk bekerja juga demi dirinya.

Aku baru tahu akhir-akhir ini kalau Kak Brian itu adalah anak tunggal. Makanya tak heran jika dia sering bilang padaku kalau sedang kesepian di rumah. Ketika dia tak mendapati orang tuanya ada di rumah, dia pasti akan main keluar. Entah itu ke studio musik milik Bang Jevan atau membuntutiku.

Saat ini aku sedang menunggu kedatangannya. Tadi dia sempat bilang kalau sedang dalam perjalanan menuju ke sini, tapi hingga saat ini lelaki itu malah tak kunjung sampai.

Ke mana saja anak ini? Jangan-jangan dia ngelindur, lalu balik tidur lagi. Anak itu 'kan pelor abis. Baru saja aku membantin, orang yang kubicarakan akhirnya telepon juga.

"By, enaknya Malang strudel atau parsel buah?"

Tanpa mengucap salam terlebih dahulu, tiba-tiba dia langsung menodongku dengan sebuah pertanyaan.

"Heh! Salam dulu kek," tegurku yang kemudian dibalas dengan tawa kecilnya.

"Assalamualaikum, Ukhti."

"Wa'alaikumsalam, Akhi."

"By, aku serius. Jawab yang jujur ya!"

"Iya, apaan?"

"Pilih Malang strudel atau parsel buah?"

"Kenapa harus milih kalau bisa dapetin dua-duanya?" candaku. Namun, nyatanya malah tanggapi serius oleh dia.

"Oke, paham. Tunggu ya! Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam," balasku. Seketika itu aku tersadar kalau ternyata dia mengikuti saran nyelenehku.

"Heh! Ian, aku bercand–" lanjutku panik.

Tut.. tut.. tut..

Namun, sayang sekali aku telat menjelaskannya. Dia lebih dulu menutup sambungan telepon kami. Hingga akhirnya menyisakanku yang masih bengong karena kebodohan yang baru saja aku ciptakan.

"Astaghfirulah. Aku 'kan cuma bercanda. Kok diseriusin, sih?!" gerutuku sebal.

Aku
IAN |
YANG TADI ITU AKU CUMAN | BERCANDA
😭😭 |

Ian 🦊
| Iya aku tau kok
| Tunggu bentar ya

Aku
Beneran kamu gak beli apa-apa? |
🥺🥺 |

Ian 🦊
| Yaaah..
| Telat, By
| Udah aku bayar

Aku
Heh! |
😭😭😭 |

Space | Youngk DAY6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang