Bab 22 | Permintaan

165 33 0
                                    

Selama aku kuliah tiga semester di kampus ini, banyak hal berat yang telah aku lalui. Namun bagiku, semester ini adalah hal yang paling terberat yang pernah aku rasakan. Kalian mau tahu itu apa?

Tugas presentasi kelompok. Memang terdengar simpel bagi kalian, tetapi tak sesimpel itu bagiku. Mengingat ini adalah presentasi untuk mata kuliah yang dipegang oleh Bu Wardah.

Kebetulan minggu ini adalah giliran kelompokku melakukan presentasi. Untungnya aku satu kelompok dengan Rara. Jadi aku tak perlu khawatir, karena dia merupakan tipe mahasiswa yang ahli berdebat dalam forum diskusi.

Hanya saja aku sedikit khawatir kalau Bu Wardah kembali berulah. Beliau ini tak jauh berbeda dengan anaknya. Mereka itu sama-sama tak bisa ditebak dengan mudah isi otaknya. Bisa saja hal-hal yang sifatnya spontan dapat muncul kapan saja.

Untungnya selama aku mengikuti kelas beliau hingga saat ini hal tersebut terjadi tidak sesering mungkin. Ingat tidak sering, bukan berarti tidak pernah. Seperti sekarang, saat ini persentasi kelompokku sedang berlangsung.

Nampak normal saat Bu Wardah meneruskan jawabanku atas pertanyaan yang audience ajukan. Namun di balik itu, ada hal yang tak dapat kuduga. Khususnya ketika beliau terus menyelipkan kalimat candaan dengan mengaitkan segala hal dengan putranya. Hingga beberapa kali kelas dibuat gaduh oleh ulahnya.

Aku pikir saat presentasi kelompokku berakhir. Maka saat itu pula cobaanku juga berakhir. Nyatanya dugaanku salah besar.

Bu Wardah kembali berulah lagi. Hal itu terjadi ketika aku menghampiri beliau bermaksud mengambil kembali makalahku yang sepertinya harus direvisi di beberapa bagian.

"Permisi, Bu. Saya boleh mengambil makalah saya yang tadi?" kataku saat menghadap beliau langsung. Bu Wardah nampak sedang sibuk membereskan barang-barangnya, akhirnya menoleh padaku.

"Oh ya silahkan, Na. Ada beberapa yang sudah saya tandai dan perlu kamu revisi lagi. Minggu depan tolong dijilid ulang, lalu kumpulkan ke saya lagi ya," terangnya sambil menyerahkan sebuah jilidan makalah padaku.

Segera kuterima makalah tersebut dari tangannya. "Iya baik, Bu. Terima kasih."

Aku hendak kembali ke tempat dudukku. Namun, tiba-tiba beliau mencegahku.

"Sebentar, Na."

"Ya, ada apa, Bu?"

"Saya dari kemarin udah nunggu kamu buat main ke rumah, tapi kok malah gak dateng-dateng. Apa Ian gak bilang sesuatu sama kamu?"

Ucapan beliau sukses membuatku tersentak kaget. Aku terus bertanya-tanya, memangnya ada perlu apa beliau sampai menungguku untuk datang ke rumahnya? Seingatku aku tak pernah membuat janji apapun dengan beliau.

Aku sedikit mengerutkan kening menatapnya bingung. "Maaf, Bu. Tapi Kak Brian gak bilang apa-apa ke saya. Kalau saya boleh tahu, ada perlu apa ya?"

"Oh, gitu," balas beliau manggut-manggut. "Gak ada apa-apa sih, cuman saya pengen kamu main ke rumah gitu. Soalnya dulu, pas Ian sakit saya sibuk rapat di kampus. Jadi, belum sempat ketemu dan ngobrol banyak sama kamu."

Setelah mendengar penjelasan dari beliau, aku bingung harus memberikan jawaban apa. Bukannya aku ingin menolak undangan tersebut, tapi aku masih belum siap. Aku takut nanti kalau papanya Kak Brian tak menyambutku dengan baik.

Menurut pengalaman kedua kakakku, mereka sudah berkali-kali gagal menuju hubungan yang serius dengan pasangannya. Semua itu hanya gara-gara respon kurang baik yang diberikan oleh salah satu pihak orang tua. Makanya aku sering merasa takut, karena tidak menutup kemungkinan hal tersebut juga bisa terjadi padaku.

Apa lagi kemarin aku sempat dibuat kaget karena status mamanya Kak Brian adalah Bu Dekan di fakultasku. Aku berani jamin kalau papanya lelaki itu pasti memegang posisi yang lebih penting dari Bu Wardah. Mungkin bisa saja suaminya adalah salah satu dari jajaran pemilik yayasan kampusku.

Space | Youngk DAY6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang