3

1.2K 120 17
                                    

Putri Doyoung berjalan bersama Raja Jaehyun di kebun bunga Istana Acacia. Langit cerah menambah keindahan kebun bunga kemudian kicauan burung menjadi latar suara yang berkolaborasi dengan gemerisik tanaman yang begitu indah. Bunga-bunga menampilkan kecantikannya namun Raja Jaehyun tidak merasa puas. Entah sudah berapa lama mereka menikmati keindahan kebun tapi tujuannya justru tak jua terpenuhi. Terakhir kali ia mendengar suara sang putri adalah di pertemuan pertama mereka ketika sang putri akhirnya menampakkan diri di hadapannya dan memperkenalkan diri.

"Putri, apakah saya mengganggu pagi Anda yang cerah?" tanya sang raja.

Putri Doyoung yang berada di sisi kiri raja hanya menoleh ke kanan sedikit tanpa menatap matanya. "Tidak, Paduka."

Raja Jaehyun sedikit memicingkan matanya. Bukankah tidak sopan? Ia pikir sang putri akan meminta maaf atas keterdiamannya sekalipun hanya basa-basi.

"Saya pikir, bunga-bunga di sini memang begitu indah hingga kita terpana bahkan tidak bisa berkata-kata," pancingnya namun lagi-lagi sang putri hanya tersenyum sebagai balasan.

Raja Jaehyun menghentikan langkahnya. Ia menghadap sang putri.

"Saya penasaran, bagaimanakah sejarah kebun bunga ini, Putri?" tanyanya. "Berkenankah Anda menjelaskannya pada saya?"

"Tentu, Paduka," jawabnya dengan tenang. "Kebun bunga ini bernama Flonierra, diambil dari nama ratu keempat kami, Ratu Nierra. Ratu Nierra adalah ratu yang begitu mencintai alam. Ratu Nierra kemudian menghendaki pembuatan kebun ini sebagai peringatan kelahiran putrinya, Putri Ambarossa."

Sebuah pertanyaan menjadi pertanyaan yang hanya di kepala, tidak sampai keluar dari bibir sang raja. Jika begitu, mengapa tidak mengambil nama sang putri.

"Saya yakin kecantikan putri-putri Kerajaan Acacia seindah bunga."

Sejujurnya, Putri Doyoung tidak sepenuhnya sependapat.

"Terima kasih, Paduka."

...

Mata Chenle memandang jauh ke depan, terlihat kosong, seakan raganya tak berada di sana. Setelah beberapa hari yang lalu ia mengetahui di mana ia ditempatkan, semangatnya untuk bisa kabur semakin terkikis.

Bukannya Chenle tidak mencoba untuk kabur, ia sudah mencoba, tetapi ia selalu gagal karena setiap ia mencoba kabur, orang gila itu semakin memperketat penjagaannya. Di manakah ia sekarang? Ia bahkan tidak tahu. Yang Chenle tahu, ia ditempatkan di sebuah kamar yang berada di menara yang menjulang tinggi. Chenle melihat ke bawah, tidak ada peluangnya untuk kabur, kecuali ia ingin mati. Tebing, di bawah sana hanya ada ombak yang menabrak tebing.

Mati? Tidak. Chenle hanya akan mati jika ia melihat seluruh keluarganya, seluruh rakyat Grey mati. Ia akan mati jika mereka mati. Ia harus hidup. Ia dapat kembali pada keluarganya. Entah apa yang dilakukan orang gila itu, tapi Chenle yakin saudara-saudarinya masih hidup.

Lamunan itu cukup untuk menulikan telinga Chenle ketika Pangeran Jisung mendekat. Ia tersentak ketika tiba-tiba tangan itu sudah melingkari pinggangnya dari belakang. Menyadari itu, dengan gesit ia membelah tautan tangan di pinggangnya, berbalik, dan melangkah mundur.

"Ada apa? Masih belum terbiasa dengan sentuhanku, hm?"

"Diam!" Mendadak, rasa kotor itu menjalari tubuhnya lagi. "Menjijikkan," gumamnya.

Pangeran Jisung terkekeh. "Pagi yang cerah. Tidak seharusnya kau membuat suasana menjadi buruk."

Pangeran melangkah mendekat, Chenle melangkah mundur.

Empat KerajaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang