Part 14 :

64 10 0
                                    

"Naira. Uncle berangkat kerja dulu ya,"ucap Dimas berpamitan pada Naira yang diam dalam gendongan ku. Semangat sekali dia pagi ini sampai tepuk tangan bahagia. "Sini cium sayang dulu,"ucap Dimas mengecup singkat kening Naira.

"Aku berangkat dulu Ay,"ucapku Dimas mengecup kepala ku lama. "Nggak lama-lama juga itu,"ucap seseorang membuat ku segera menjauh. "Ehh Kak Saga,"ucapku. "Ganggu ya. Bentar cuma mau kasih kan titipan Aida,"ucap Saga menyerahkan sebuah paper bag.

"Kak Aida sayang kah,"tanya Dimas menaik turunkan alisnya membuat wajahnya bersemu merah. "Permisi,"ucap Saga berlalu. 'Adik dan adik ipar kurang asem,'batin Saga kesal. "Kamu titip apa Ay,"tanya Dimas. "Ohh ini nah,"ucapku memberikan paper bag berisi buku buku sejarah dan perkembangan dunia.

"Masya Allah ini buku buat tabok maling klenger. Buat apa kamu baca buku sebanyak ini,"tanya Dimas. "Hobi,"ucapku tersenyum manis. "Heeh sudahlah. Oiya nanti nggak usah masak. Biar aku belikan makan di luar,"ucapku. "Okey. Ntar kalo lapar kayak mana,"tanyaku.

"Semalam aku sudah buat salad buah. Nah makan itu aja. Kalo masih lapar pesan aja,"ucap Dimas. "Okey hati-hati ya,"ucapku melambaikan tangan seiring dengan motor yang mulai menjauh. "Ayu. Hah Yu anak siapa itu,"tanya Sandrina entah datang dari mana.

"Kapan lu bunting nya? Ini bayi anak manusia bener kok. Kamu culik anak ya,"ucap Sandrina ngawur. "Sembarang aja kamu. Anaknya sepupu Kak Dimas,"ucapku. "Oalah kirain. Btw aku mau numpang bentar ya. Mau ke kampus tapi belum ada yang datang,"ucap Sandrina ku ajak masuk.

"Bentar ya Nai. Kamu duduk sama Aunty Sandrina dulu ya,"ucapku menaruhnya di pangkuan Sandrina. "Haloo debay,"sapa Sandrina sumringah. Ku ambil beberapa makanan dan minuman di nampan ku berikan pada tamu tak terduga satu itu.

"Jadi kamu mulai buka hati buat Pak Dimas Ay,"tanya Sandrina. "Ngga tau San. Kamu tau sendiri gimana akhirnya. Nggak mau buat kecewa lebih tepatnya San,"ucapku. "Bukan kecewa tapi kamu takut buat maju. Ayo Ay bangkit. Hidup cuma sekali maka hidup dengan bermakna,"ucap Sandrina.

"Iya San tau. Tapi namanya pertemuan ada perpisahan. Aku nggak mau pedih begitu ketemu perpisahan. Itu sudah kayak bom waktu San,"ucapku. "Iya tau tapi ada kalanya juga takdir berkata lain. Sudahlah terima aja Pak Dimas,"ucap Sandrina. "Insya Allah San.

Kak Dimas itu memang bukan lulusan pesantren. Iya aku tau tapi bukan berarti dia nggak bisa jadi imam yang baik. Iya sih aku suka kelahi tapi aku juga nggak tau kayak mana kelanjutan nya,"ucapku tersenyum manis penuh makna.

---

Sembari menunggu Dimas pulang ku tatap bingkai foto pernikahan di dinding. Manis sekali rasanya mengingat momen itu. Apalagi saat Dimas mengucap ijab di hadapan Dirga. Menyerahkan putri bungsu nya yang masih nakal-nakal nya pada orang lain.

Genap seminggu semenjak Sandrina datang, dan selama itu inilah pekerjaan yang ku suka. Memandang foto dan menangis tanpa alasan. Aneh tapi aku cuma bayangkan aja gimana jadinya kalo memang semua senyum di renggut paksa oleh waktu.

Ku seka air mata yang luruh mengingat setiap momen itu. Aku bukan lagi milik keluarga ku. Mata ku bergeser pada foto berikutnya. Baju pink bhayangkari melekat anggun dengan Dimas menyentuh pundak ku. Lagi-lagi air mata tak bisa ku tahan. Entah mengapa rasanya semua ini terlalu manis untuk merasakan duka.

"Ay,"ucap Dimas menepuk pundak ku membuat ku cepat-cepat menghapus air mata. "Kenapa?,"tanya Dimas merangkul ku. "Nggak papa. Kamu baru pulang sana mandi,"ucapku. "Nggak jawab dulu. Ada masalah?,"tanya Dimas hanya ku balas dengan gelengan namun mata ku tak bisa diam.

Terus-terusan mengeluarkan air mata. "Kamu sakit lagi,"tanya Dimas kembali ku gelengkan. "Kayaknya kamu ini suka sekali nangis ya Ay,"ucap Dimas merangkul ku masuk ke dalam rumah. Naira sedari tadi hanya bersemu cantik melihat ku dan Dimas.

Kanistha Lokatara ~ CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang