A Story

484 43 1
                                    

"Cinta memberi aku sebuah rasa, tapi kamu memberi aku sebuah makna bahwa cinta bukan hanya sebuah rasa. Dia segalanya. Yang mempertemukan aku dan dirimu."
-d
[ Cloudyheart_ ]

___________

Aku menatap langit yang menyuguhkan lukisan Tuhan yang luar biasa indah. Matahari masih terlihat enggan keluar dari timur. Ini masih pagi. Sambil berjalan, aku menggenggam tangan tua yang menjuntai di samping tubuhku. Tangan lelakiku. Dia menatapku dengan senyuman yang selama ini ku anggap sebagai sumber energiku, senyumannya tidak berubah, walaupun sudah terlihat guratan keriput di samping matanya akibat termakan usia. Aku membalas senyumannya, lalu semakin mempererat genggaman tangan kami.

"Apa kau sudah lelah?"

"Belum, apa kau sudah meragukan kekuatan ku? berjalan seperti ini tidak ada apa-apanya bagiku." aku tertawa kecil mendengar jawabannya.

"Benarkah? Lalu mengapa jalanmu mulai melamban? Jangan memaksakan diri yah." aku mencoba mengingatkannya.

"Tidak, tidak. aku benar-benar masih kuat. Bahkan jika kau mengajakku membuat anak lagi sekarang aku masih kuat." kali ini aku membulatkan mata mendengar jawaban konyolnya.

"Ayah!"

"Ingat sebentar lagi kau akan menjadi seorang kakek. Jaga ucapanmu yah."

Ia tertawa.

"Iya, aku hampir lupa bun. Maafkan kakekmu yang kurang ajar ini cucuku sayang." Ia memejamkan mata sambil menaruh tangan kanannya di dada. Aku tertawa melihat tingkahnya. Dia benar-benar belum berubah. Masih kekanak-kanakan.

"Jadi, apa Embun sudah melakukan USG untuk melihat jenis kelamin cucu kita?" Ia menanyakan tentang anak pertama kami yang saat ini sedang mengandung.

"Aku juga tidak tau yah. Dia belum memberi kabar. Sehabis ini aku akan menghubunginya." Ia hanya mengangguk.

"Awan bagaimana? apa dia sudah mengurus kepindahannya?" Aku tertegun. Usia benar-benar sudah memakan ingatan suamiku ini.

"Dia sudah selesai dari seminggu yang lalu yah. Dia juga sudah mulai bekerja di Rumah Sakit lagi. Bukankah 3 hari yang lalu dia baru saja ke rumah."

Ia menoleh ke arahku.

"Oh iya. hahaha aku rasa aku sudah mulai pikun." Aku tersenyum sambil menyingkirkan daun yang jatuh di bahunya.

"Wajar saja yah. sebentar lagi kita akan menjadi kakek dan nenek. Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat."

"Iya bun, rasanya baru kemarin aku melamarmu."

Aku terseyum mengingat kejadian itu. Masih jelas terlukis di ingatanku bagaimana cara dia melamarku. Saat itu dia memaksakan diri untuk menaiki paralayang, padahal dia takut ketinggian. Dia melamarku di atas langit.

Tiba-tiba Ia melepaskan genggaman kami, beralih merangkul bahuku. Lalu mencium pucuk kepalaku. aku terkejut.

"Terimakasih bun, sudah menjadi istriku dan melahirkan anak-anak yang luar biasa." Aku memejamkan mata, menahan haru, lalu menyandarkan kepalaku di bahunya.

"Terimakasih juga yah, sudah menjadi suami dan ayah yang luar biasa."

Ia mencium pucuk kepalaku lagi.

"Baiklah, lebih baik kita pulang bun. Hari semakin siang. Kasihan Pelangi di rumah sendirian. Kita harus membantunya." Ia mengingatkanku dengan putri bungsu kami. Walau tidak bisa berjalan sejak lahir, dia tetap anak kami yang luar biasa. Kami berjalan melalui setapak jalan yang dipenuhi dedaunan. Menuju surga kecil kami. Mengukir kisah lagi.

End.

..........

Maaf jika masih terdapat banyak typo:(
Please vote and comments 😘😘

Tea and coffe (Antologi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang