Teardrop

273 31 0
                                    

"Ego, amarah dan benci adalah musuh terdekat cinta. Jika cinta kalah dari mereka, cinta hanyalah sebuah nama."
-d
[ Cloudyheart_ ]

________

Man side story.

Entah ini nyata atau bukan. Tanpa sengaja kami bertemu. Dia di sini, di hadapanku. Aku menatap setiap detail wajah dan tubuhnya. Tak ada yang berubah. Dia masih tetlihat indah. Hanya rambutnya yang sedikit berbeda, rambutnya yang biasa pendek kini terlihat menjuntai indah melewati bahunya. Dia terlihat lebih dewasa. Pandanganku beralih ke sampingnya, seorang anak laki-laki dengan pipi chubbynya. Anak laki-laki itu balik menatapku, matanya, mata yang sama seperti wanitaku. Ah apa aku masih bisa mengatakan dia wanitaku? hahahah bodoh.

"Lama tidak bertemu sepertinya kau sudah menjadi seorang ibu."
aku membuka suara, mencoba menjauhkan keheningan yang hadir diantara kami. Dia terseyum. Senyum yang aku rindukan.

"Ya begitulah." Ia menatap anak laki-laki di sampingnya, lalu mengusap sayang rambut anak yang sedang sibuk dengan mainannya itu.
"Namanya Rain. Umurnya 5 tahun." Ia melanjutkan perkataannya, seolah paham dengan pertanyaaan yang akan ku tanyakan selanjutnya.

Aku hanya terdiam sambil mengepal erat jari-jariku. Mencoba menyalurkan semua rasa sakitku di sana. Bagaimana mungkin dia sesantai ini setelah sekian tahun tidak bertemu denganku? Apa hanya aku yang menderita di sini? Bahkan dia dengan entengnya menamai anaknya dan orang lain dengan nama yang dulu kami buat bersama.

"Bagaimana denganmu? Apa kau sudah berkeluarga?" dia balik bertanya..

"Secepatnya. Doakan saja." aku berbohong. Aku bahkan tidak pernah menjalin hubungan dengan siapapun semenjak ia meninggalkanku.

"Begitukah. Tentu saja, aku akan mendoakanmu jika kau mengundangku." Ia tersenyum sambil memegang tangkai gelas kopinya, lalu mengesapnya pelan.

"Tentu saja aku akan mengundangmu. Aku tidak sesombong dirimu yang menikah tanpa mengundangku." dia sedikit tersedak mendengar ucapanku. Sambil mengusap bibirnya dengan tissu, ia menatapku.

"Yah, aku tau mungkin kau enggan berbagi kebahagiaan bersama mantan pacarmu." aku tersenyum kecut.

Dia membalas senyum kecutku. "Ckk. Tenyata kau belum berubah. Masih suka menyimpulkan sesuatu sendiri dan melihat sesuatu secara sepihak."

"Ternyata kau masih mengenal aku dengan baik. Apakah suamimu tau tentang ini? Kau masih mengingat sifat mantan pacarmu. Jangan-jangan kau juga masih mengingat sentuhanku dulu."

Dia sedikit melotot, mungkin terkejut dengan ucapanku.
"Sebenarnya apa maksudmu Lang?" suaranya mulai meninggi.

"Maksudku? Tidak ada. Aku hanya bercanda. Santai saja." Aku mengesap latteku dengan santai. Dia marah, tapi apa peduliku. Bukankah aku yang seharusnya marah? semua memang salahnya.

"Jika kau masih benci padaku. Katakan saja."

"Tidak. Memangnya apa salahmu hingga aku harus membencimu?" aku masih mencoba santai sambil mengusap-usap pinggiran cangkir latteku.

Hening sejanak. Aku sadar bahwa saat ini ia sedang menatapku. Namun entah mengapa aku enggan membalas tatapannya.

"Kurasa sudah cukup, lebih baik aku pergi." Ia mengambil tasnya lalu beranjak pergi sambil menggandeng Rain.

Aku menatap punggungnya, rasanya sesuatu yang tajam menusuk dadaku. Ini kedua kalinya aku menatap pedih punggungnya yang pergi meninggalkanku. Pandanganku beralih ke bawah. Rain menoleh ke arahku, melambaikan tangannya sambil memperlihatkan deretan gigi kecilnya. Senyum anak itu, terasa familiar.

................

Women side story.

Aku melangkahkan kakiku dengan cepat sambil mengandeng tangan Rain. Air mata yang sejak tadi tertahan mulai berhamburan turun.Orang-orang menatapku dengan tatapan aneh. Aku sudah tidak perduli lagi. Aku berhenti di samping sebuah toko, menyandarkan bahuku ke tembok. Ya Tuhan aku benar-benar tidak kuat. Ini terlalu sakit. Bahkan setelah 5 tahun berlalu, semua masih sama. Perasaan ini masih sama. Kaki ku melemah, aku terduduk sambil terisak. Rain berdiri di hadapanku, ikut menangis.

"Mama kenapaa?" dia memelukku. Tangisanku semakin pecah. Menangisi kebodohanku sendiri.

Aku balik memeluk Rain. Merasakan pelukkannya yang sehangat pelukan Elang.
"Anakku yang malang. Maafkan Mama, Rain. Karna mama kamu jadi seperti ini." Aku mengusap rambut Rain dengan sayang "Hanya kamu yang mama punya." Aku memeluk Rain, Buah cintaku bersama Elang.

Maafkan aku Lang. Aku tau kau membenciku. Andai saja Ibumu merestui kita. Andai saja kamu dan aku berada di tempat yang sama. Semua tidak akan seperti ini.
Masih sangat jelas di ingataku bagaimana ibumu menempatkanku pada pilihan yang sulit, ketika Ia yang lebih dulu mengetahui tentang kehamilanku.

"Tinggalkan dia atau gugurkan kandunganmu!"

Aku tidak mengerti mengapa Ia setega itu. Padahal Ia adalah seorang Ibu. Mengingat hal itu dan mengingat betapa besarnya rasa cintaku padamu membuat hatiku semakin pedih, kepedihanku terus mencair dan jatuh berwujud air di permukaan pipiku. Aku benar-benar tidak bisa menahannya. Semua luka yang aku bawa selama bertahun-tahun tumpah sudah.

End.

..........

Maaf jika masih terdapat banyak typo:(
Please vote and comments 😘😘

Tea and coffe (Antologi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang