Chapter 17

46 28 160
                                    

Kamu diberi dua pilihan. 

Bertahan dan melanjutkan hidup bersama balutan duka,

 atau melupakan dan hidup dengan kebahagiaan semu.

-Amel-

17 September 2019

Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi yang pasti aku mendapati diriku terbangun di ranjang sebuah kamar serba putih serta beberapa alat medis yang menempel di tubuhku. 

Aku mengerjap perlahan berulang kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk melalui retina. Mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak ada siapa pun. Aku ingin membuka suara memanggil siapa pun untuk membantuku tapi suaraku sama sekali tidak keluar. Aku kebingungan sekaligus ketakutan. Hingga pintu di ruanganku terbuka menampilkan sosok Mama yang terlihat menunduk melangkah ke arahku. Aku mencoba menggerakkan jariku untuk mengalihkan perhatian Mama yang tidak tertuju padaku. Dan berhasil. Mama terkejut saat melihatku membuka mata. Ia langsung menekan tombol yang berada di samping tempat tidurku dan memelukku.

Dokter beserta perawat langsung memasuki ruanganku dan memeriksa kondisiku serta menyimpulkan bahwa aku baik-baik saja yang ditanggapi seruan bahagia dari mama.

"Akhirnya kamu bangun, Sayang. Jangan ninggalin Mama lagi ya, Sayang," ucap Mama sembari mencium keningku lama.

Aku hanya diam tak mengerti. Memangnya ada apa denganku? Kenapa mama terlihat sangat ketakutan seperti itu? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang hinggap di kepalaku.

Sudah satu minggu aku di rawat di rumah sakit. Rasanya aku ingin cepat-cepat pulang. Bosan. Satu kata yang tepat menggambarkan keadaanku selama disini. Beberapa kali aku bertanya pada Mama apa yang terjadi sebenarnya hingga membuatku harus dirawat. Tapi mama seperti enggan menjawabnya membuatku semakin penasaran. Bahkan aku juga menanyakan hal yang sama pada Rara saat ia dan seorang laki-laki menjengukku. Aku sempat bertanya-tanya siapa laki-laki yang mendampingi Rara, tapi aku lebih memilih menanyakan alasan apa yang membuatku dirawat. Dan jawaban Rara benar-benar mengejutkan. Aku koma selama hampir satu tahun. Rasanya aku tidak ingin memercayai pendengaranku. Aku berpikir telingaku mengalami gangguan sehingga aku kurang jelas menangkap ucapan Rara. Tapi mau berapa kali pun aku bertanya, jawaban yang diberikan Rara masih tetap sama. Aku koma dan baru terbangun.

Pantas saja dokter melarangku untuk keluar rumah sakit saat aku sadar kemarin dan menyarankan untuk mengikuti fisioterapi. Tapi memang benar, aku sendiri merasa kesulitan saat ingin menggerakkan kaki dan tanganku. Serasa sudah lama sekali tidak digerakkan membuatnya kaku.

Selama hampir satu bulan ini, aku mengikuti fisioterapi yang disarankan dokter dan akhirnya aku sudah mampu beraktifitas seperti biasa lagi. Dokter pun sudah mengijinkan aku untuk keluar dari rumah sakit.

"Selamat ya, Mel, akhirnya keluar juga!" seru Rara saat menjemputku pulang dari rumah sakit.

"Iya nih, akhirnya bebas," ucapku senang.

"Ra ... dari kemarin tuh aku pengen nanya, tapi nggak jadi terus. Mumpung sekarang aku inget, aku mau nanya laki-laki yang waktu itu dateng jenguk aku sama kamu itu siapa?" tanyaku sambil menatap wajah Rara dari samping karena ia tengah mengemudi.

"Masa kamu lupa Mel. Dia kan Rian, suami aku," jawab Rara yang memandangku sekilas dan heran atas pertanyaan yang aku ajukan barusan.

"Hah, suami? Kapan kamu nikahnya, kok nggak bilang-bilang?" tanyaku tidak mengerti.

"Mel, kamu seriusan nggak inget sama sekali?" tanya Rara memastikan.

Aku menganggukkan kepala berulang kali.

Believe You [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang