Chapter 16 (3)

29 22 125
                                    

Apa yang sebenarnya kamu ketahui tentang hidup itu sendiri? Tentang waktu yang terus bergulir tanpa henti. Tentang perputaran planet terhadap pusat tata surya sesuai porosnya. Tentang pasang surut air laut yang dipengaruhi oleh pergerakan sang dewi malam. Atau tentang seberapa banyak hal-hal yang masih menjadi misteri bagi para makhluk berotak serba ingin tahu itu?

Ah, rasanya otak kecilku ini mulai kehilangan daya pikirnya. Entahlah. Terlalu banyak hal yang tak masuk akal yang disajikan semesta padaku akhir-akhir ini. Mungkin ia pikir, hidupku tak ubahnya komedi putar yang terus bergerak untuk menyenangkan banyak hati. Menciptakan bahagia bagi para penikmatnya.

Memangnya bahagia itu apa? Bagaimana kita tahu bahwa kita sedang bahagia? Apakah seulas senyum dan secercah tawa lebar sudah mengindikasikan bahwa orang itu bahagia? Ck, lagi-lagi otakku menoreh tanya yang sudah pasti tak bisa aku jawab.

"Re." Sebuah suara yang menyebutkan namaku dengan lembut itu berhasil menarikku kembali pada eksistensi sebenarnya.

Aku menoleh menatap sosok yang baru aku sadari sedang menatapku lekat. Sepertinya ia sudah seperti itu sejak tadi dan justru aku acuhkan begitu saja. What the hell, Amel! What are you doing? Bisa-bisanya kamu anggurin laki-laki se-perfect itu hanya untuk lamunan yang nggak penting. Back to earth! Manfaatkan waktu dan kesempatan yang ada. Cegah kemalangan itu, Amel!

Deg!

Yah, benar. Sudah seharusnya aku bersyukur entah pada waktu, kesempatan atau justru pada semesta. Meski aku masih belum memahami apa yang sedang terjadi saat ini, aku hanya bisa berpikir bahwa jika memang harus terjadi maka terjadilah.

"What are you thinking, Re?" tanya lelaki itu sembari membelai bagian belakang kepalaku dengan penuh kasih sayang.

Aku menggeleng. "Entahlah. Terlalu banyak, sampai aku sendiri nggak mengerti apa yang otakku pikirkan."

Aku menatapnya dengan pandangan sayu sekaligus takut. Takut akan sesuatu yang seringnya membayangiku di setiap langkah yang kuambil. 

"Ga, I miss you so bad," lanjutku yang membuatnya terkekeh. Dan hal itu memancing dentuman liar di dalam sana. Uh, dia dan pesonanya.

"I know, Re. Karena saya juga sangat merindukanmu berkali-kali lipat melebihi rindumu," jawabnya yang sontak saja membuatku ternganga.

Yah, you're right. He's my fiance, Regard Arpegioz. Saat ini ia justru sedang menertawakan ekspresiku yang ternganga antara syok atau melting. Dan aku kembali disadarkan bahwa memang dialah rumahku. Why do I say that? Aku pernah mendengar ucapan seseorang yang mengatakan bahwa tidak selamanya kamu berpacu pada satu perspektif yang sama dengan banyak pihak dan dalam waktu yang begitu panjang.

I mean, saat kamu dihadapkan pada pertanyaan mengenai definisi rumah. Maka kamu dengan spontan menjawab bahwa rumah adalah tempat berlindung, tempat untuk kita tinggali, dan masih ada banyak lagi arti yang mengatasnamakan tempat. But, if you want to think again. Kata tempat di sini bukan sebenar-benarnya tempat, right? Ada satu hal yang seringkali terlambat disadari atau bahkan sama sekali tidak disadari. Yups, it's someone. Seseorang yang benar-benar berarti bisa menjadi rumah bagi hati. Karena pada hakikatnya, segala hal yang ada di muka bumi ini sifatnya multi dan kita tidak bisa menilainya sebagai singular.

"Ga, sejak kapan kamu suka ngegombal gitu?" tanyaku antara penasaran dan tak habis pikir.

"Saya nggak ngegombal. Itu faktanya, Re."

"Hais. Ya,ya,ya the sweetness smile man." Aku mencubit kedua pipinya berusaha membuat wajahnya terlihat konyol, tapi seperti yang pernah aku bilang bahwa sepertinya saat Tuhan menciptakan makhluk satu ini, Tuhan sedang bahagia sampai-sampai mau dibuat seburuk apa pun, dia tetap terlihat charming. Apalah diriku yang biasa ini.

Believe You [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang