Chapter 5

158 113 223
                                    

Entah bahagia atau duka yang akan menyapa kita di depan sana. Bukankah kita masih punya keluarga sebagai rumah--tempat kita pulang?

-Amel-

Pagi ini, aku terbangun dengan pikiran yang masih semrawut seperti semalam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi ini, aku terbangun dengan pikiran yang masih semrawut seperti semalam. Rasa lelah dan penat benar-benar tak menghilang atau berkurang bahkan setelah aku memaksakan tubuhku untuk terlelap tepat saat jarum jam mengarah ke angka dua dan enam. 

Semalaman aku terus memutar otak, mencari pembenaran dari keputusan mama atas nama papa. Tapi seberapa lama dan kerasnya aku berpikir, aku selalu dihadapkan pada ujung jalan buntu. Otakku terus memberontak dan meneriakkan kata-kata penolakan yang tidak sempat aku lontarkan pada mama semalam. Rasanya percuma. Mau sebanyak apa pun kata-kata penolakan yang aku ucapkan, tetap tidak bisa menghentikan niat mama untuk menjodohkan aku dengan anak sahabat papa yang aku sendiri tidak tahu seperti apa wujud laki-laki itu.

"Jangan-jangan laki-laki itu jelek, dekil, bau?! Uhh ... pake hidup segala lagi," ceplosku yang masih berada di atas kasur dan berganti posisi menjadi duduk.

Seketika badanku menggigil, bergidik ngeri tatkala sebuah pikiran buruk muncul di kepalaku saat memikirkan sosok laki-laki yang akan dijodohkan itu denganku.

"Gara-gara Mama nih yang seenaknya aja jodoh-jodohin aku ke laki-laki nggak jelas gitu. Emangnya ini masih jamannya Siti Nurbaya apa, keterlaluan!" sungutku yang segera beranjak bangun dan melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Selama mandi aku masih merutuki tindakan dan keputusan mama yang selalu seenaknya sendiri tanpa memperdulikan pendapatnya seakan aku tidak memiliki hati dan hak untuk menentukan sendiri pilihan hidupku.

Aku melangkah keluar kamar menuju ruang makan untuk sarapan. Kali ini aku tidak ingin membuka suara dan mengobrol dengan mama seperti hari sebelumnya. Karena yang ada hanya kesal dan kalimat penolakan saja yang akan keluar dari mulutku. Mungkin mama juga sedang tidak ingin bersuara ataupun bertegur sapa denganku saat tidak sengaja aku melihat raut wajahnya yang masih dingin seperti semalam saat aku menolak mentah-mentah keputusannya itu.

Seperti biasanya, seusai sarapan aku yang bertugas untuk membersihkan piring dan gelas kotor yang sudah selesai digunakan di wastafel. Setelahnya aku segera kembali ke dalam kamar, mengurung diri sekaligus menghindar dari mama sampai mama mau membatalkan keputusannya. Meskipun aku sendiri sangat tahu kalau mama tidak akan pernah menjilat ludah yang sudah ia keluarkan, pantang baginya.

Dari dulu aku memang tidak begitu dekat dengan mama seperti aku dekat dengan papa. Mama dengan kepribadian keras dan selalu tegas kepadaku membuatku sedikit takut kala itu sehingga aku semakin dekat dengan papa yang pembawaannya lembut, ceria dan sesekali tegas jika aku melakukan kesalahan.

Tapi di balik sikap keras mama, ternyata mama memiliki hati yang rapuh. Hal itu aku sadari saat papa pergi meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Saat aku melihat mama yang menangis dengan memanggil nama papa, aku seakan tengah melihat sebuah guci yang dari dalam mulai retak bahkan dapat pecah saat itu juga jika diberi sedikit tekanan. Dan mulai saat itu, aku berusaha memahami jalan pikiran mama. Mencoba berbesar hati jika suatu waktu mama bersikap dingin dan berbicara ketus padaku tanpa alasan yang jelas di balik tindakannya. Namun, untuk masalah kali ini aku merasa tidak semudah itu. Entahlah ....

Believe You [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang