Chapter 1

666 190 814
                                    

It's hard to turn the page when you know someone won't be in the next chapter, but the story must go on.

(Thomas Wilder)

September 2020

Mentari sore seakan mengajakku untuk terus menatapnya. Kilauan cahaya dengan semburat oranye keemasan yang terlihat sempurna membawaku terbang ke antah berantah. Sesaat setelah terbenamnya sang surya, aku masih saja berdiri di tepi pantai yang mulai menggelap. Seorang diri tanpa siapa pun di sisi.

Udara sore itu terasa sangat menyesakkan. Entah karena kondisi tubuhku yang mulai menurun, atau memang alam yang tak ingin bersahabat denganku. Kakiku mulai melangkah menjauhi tepi pantai. Berjalan kembali ke tempat peristirahatan sementara.

"Apa kau percaya akan takdir?" tanya seseorang yang tak ku kenal tepat saat aku membuka pintu depan rumah.

"Entahlah ...," jawab seseorang dengan suara yang sangat familier di telingaku.

"Aku pulang, Ma," ucapku saat menaiki tangga menuju kamar tidurku.

"Oh ... Amel, kau sudah pulang rupanya. Kemari Sayang!" pinta mama yang tentu saja tak bisa aku tolak.

Dengan langkah malas aku menghampiri mama yang tengah bersama seorang wanita tua. "Sayang, perkenalkan dia Madam Carlota yang sering Mama ceritakan padamu sebelumnya," ucap mama memperkenalkan.

"Wah ... rupanya kau sudah besar Amel, aku benar-benar merindukanmu! Sudah lama sejak hari itu aku tidak pernah melihatmu lagi," seru Madam Carlota yang kemudian memelukku dengan erat.

"Bagaimana keadaanmu, apa kau baik-baik saja? Kau tidak merasakan sesuatu yang aneh atau ganjil lagi, kan?" tanya Madam Carlota setelah melepaskan pelukannya dariku.

"Emm ... lebih baik kita membicarakan hal itu sambil duduk, silakan Madam!" ucap Mama tersenyum.

Aku terduduk disamping mama dan di hadapan wanita tua itu. "Ma, apa aku boleh pergi ke kamar? Aku merasa nggak enak badan," tanyaku pelan pada mama sebelum wanita itu menanyaiku macam-macam.

"Ya ... baiklah, jangan lupa minum obat yang dokter Arvin berikan!" pesan mama sebelum aku beranjak dari dudukku.

Sekilas saat aku pergi meninggalkan mereka aku melihat wanita tua itu terus memperhatikanku. Entah apa yang dipikirkannya tentangku. Aku benar-benar tak peduli. Langkah kakiku terus mengantarkanku masuk ke dalam kamar.

"Hah ...," hembusku sembari membanting tubuh ke kasur. Rasa lelah akibat aktivitas yang tak seberapa ini, telah membantuku mengobati perasaan yang tak aku ketahui penyebabnya. Terasa ada yang kurang. Ada sesuatu yang hilang dan membuat hidupku tak lengkap.

Lalu ... siapa wanita tua itu? Kenapa aku merasa seperti pernah melihatnya? Tapi, kenapa tadi dia bilang bahwa dia terakhir bertemu denganku sejak hari itu? Hah, entahlah. Batinku terus saja mempertanyakan sosok wanita itu. Namun, tubuhku terlalu lemah untuk terus bertahan dan memikirkan hal tersebut. Perlahan kegelapan mulai menyelimutiku dan terhenti.

"Tolong! Aku mohon bangunkan aku dari mimpi buruk ini, aku takut! Biarkan aku bertemu dengannya, biarkan aku kembali menatap matanya, biarkan aku ...," isakku di tengah tidur malam ini yang membuatku terbangun. Air mata mulai jatuh satu persatu menyentuh dinginnya kedua pipiku. Rasa nyeri yang timbul saat ini kembali membuatku termangu tak mengerti akan apa yang terjadi. Hanya satu pertanyaan yang muncul dan terus berputar dalam kepalaku. Apa yang terjadi padaku?

Kulirik jam yang kini bertengger di dinding kamarku. Jam 9. Kembali aku mencoba untuk memejamkan mata yang entah kenapa tak ingin terpejam barang sedetikpun setelah mimpi yang terasa kabur. Mimpi itu entah mengapa seakan terasa nyata. Hah, aku benar-benar menyerah. Aku benci keadaan seperti ini. Keadaan yang mampu membuatku frustasi. Dengan tenaga yang masih tersisa, aku beranjak menuju meja belajar.

Believe You [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang