Chapter 16 (2)

42 23 135
                                    


"Holla, Amel," sapa seorang wanita dengan pakaian aneh sembari tersenyum tenang. Dia berjalan mendekatiku kemudian duduk di sisi kiriku.

Aku tak bergeming. Bahkan untuk meliriknya saja, aku tak berminat.

"Masih nggak mau cerita? Padahal Madam siap dengerin, loh," ucapnya yang membuatku mendengus kesal. Sudah beberapa minggu terakhir, wanita aneh ini sering berkunjung dan selalu bertingkah seolah ia memahami perasaanku dan siap mendengarkan keluh kesahku.

Anehnya, setiap kedatangannya aku selalu diliputi oleh bayang-bayang Regard yang terasa makin kuat merengkuhku. Entah memang begitu atau seperti yang sering mereka simpulkan bahwa itu hanyalah halusinasiku semata.

Puncaknya adalah hari ini.

Deru angin yang entah bagaimana berhasil mendobrak jendela kamarku yang aku pastikan itu dalam keadaan terkunci. Belum hilang kekagetanku, tiba-tiba entah dari mana perasaan ngilu menerjangku. Di tengah kekalutan itu, sayup-sayup aku seperti mendengar geraman seseorang yang tak kuketahui keberadaannya.

Aku menoleh menatap wajah wanita aneh itu yang sama sekali tak menunjukkan ekspresi apa pun di sana. Netranya masih terus menatapku dengan pandangan yang tak kusukai. Menimbulkan rasa was-was yang tak kupahami.

"Kamu merasakannya, bukan?" tanyanya tiba-tiba yang membuatku mengerutkan dahi tak mengerti.

Merasakan apa? Dingin? Ya, karena jendela kamarku terbuka dan aku malas untuk menutupnya makanya saat ini aku kedinginan.

"Laki-laki itu. Dia ada di sini."

Deg.

Jantungku mulai berulah. Detaknya benar-benar tak lagi bisa ku kontrol. Jika ini berlangsung lama, maka bisa dipastikan aku akan mengalami serangan jantung saat itu juga. Bahkan kini aku merasakan aliran darahku tak seperti biasanya. Meninggalkan kesan dingin di sekujur tubuhku. Perasaanku semakin tak tenang. Ada gejolak yang entah asalnya dari mana menggedor-gedor jantungku hingga rasanya aku kesulitan untuk bernapas. Tanpa sadar, aku sudah berulang kali memukul-mukul dadaku.

"Keep breath, Re." Sepintas aku mendengar kalimat itu yang terbawa oleh angin. Aku menoleh ke segala arah, mencari pemilik suara itu. Nihil, aku tak menemukan apa pun kecuali ruang hampa.

Biasanya jika ini terjadi aku akan menangis, tapi seperti yang tadi aku bilang bahwa hari ini sesuatu yang tak pernah aku harapkan sedang terjadi.

"Look me, Amel," ucap wanita itu yang menatapku dalam. Tanpa bisa aku cegah, otakku mengikuti instruksinya mengoordonir netraku untuk menatapnya.

Seperti ada pusaran tak kasat mata, aku tak bisa memalingkan arah pandangku darinya. Tatapannya seakan tengah memandang hingga ke dalam hatiku. Menelanjangi berbagai pemikiran yang seringkali meledak-ledak. Namun, dari semua itu aku merasakan ada sedikit ketenangan yang menelusup di dalam sana. Hingga entah mengapa kedua kelopak mataku mulai memberat dan mengantarkanku pada kegelapan yang dengan senang hati menyambutku.

"Berbahagialah, Amel." Kalimat yang terakhir kali aku dengar sebelum benar-benar tenggelam bersama sang kegelapan.

֍֍֍

Cahaya terang yang menelusup dari celah ventilasi itu mengusik tidurku. Kelopakku mulai membuka yang kemudian kembali menutup akibat penyambutan berkas-berkas cahaya yang menyilaukan mata. Aku mulai mengerjap menyesuaikan intensitas cahaya yang sudah masuk ke retina.

Langit-langit warna putih dan ruangan yang serba putih itu menjadi pemandangan pertamaku kala mengedarkan pandangan ke sekitar. Sontak aku terbangun dari posisi tidurku, mendudukkan diri di atas pembaringan yang terasa begitu lembut dan nyaman.

Believe You [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang