Chapter 15

45 29 130
                                    


Jika saja aku boleh memilih, aku ingin Tuhan selalu melimpahkan kebahagiaan untuk orang-orang yang kusayangi terutama seorang gadis yang kini tengah terbaring di atas pembaringan dengan kondisi yang amat sangat kacau. Sejak kehilangan yang dideritanya beberapa waktu lalu, ternyata berhasil menghancurkan kehidupannya sedemikian rupa.

Sosoknya bagaikan serumpun ilalang yang bergerak mengikuti irama anila yang berembus ke berbagai arah seperti tak tahu lagi bagaimana ia menentukan langkah ke depannya.

Rasanya di sudut hatiku ada sengatan kecil yang terasa ngilu tatkala kedua manik matanya menatapku dengan pandangan yang kosong. Entah ada dimana pikirannya saat ini. Ia seakan mendeklarasikan bahwa dirinya tak lagi segan pada apa yang terjadi di sekitarnya.

Aku melangkah perlahan memasuki kamarnya dan mencoba duduk di hadapannya. "How are you, Mel?"

Tak ada jawaban ataupun respon yang aku dapat dari pertanyaan yang baru saja aku lontarkan. Yah, aku tahu bahwa dirinya sedang tak baik-baik saja, tapi aku hanya ingin ia kembali bersuara. Jujur saja, aku sangat merindukan curhatan-curhatannya mengenai kisah percintaannya. Tapi aku juga sadar bahwa itu tidak akan mungkin lagi bisa aku dengar saat sang topik pembicaraan pun sudah berbeda dimensi.

"What are you thinking, Mel?"

Hening.

"Do you miss him?"

Sontak Amel menatapku seperti keinginanku. Tapi lagi-lagi aku kembali kecewa saat sorot matanya sendu yang kemudian mulai berkaca-kaca.

Bulir-bulir kristal bening mulai berjatuhan membasahi wajahnya. Membuatku meraih kedua bahunya dan membawanya ke dalam pelukanku. Aku bisa merasakan tubuhnya yang semakin kurus dan ringkih itu bergetar hebat.

"Menangislah sepuasnya untuk hari ini lalu cobalah untuk berbahagia di esok hari, Mel," bisikku di sela-sela isak tangisnya.

"I can't, Ra," jawabnya dengan suara serak dan hampir saja aku tak bisa mendengar suaranya itu.

"No. I believe you can do it." Aku mengurai pelukanku padanya dan menopang kedua bahunya meyakinkan bahwa dia bisa melakukannya.

"You're strong girl, Recristal Amelia Putri," ucapku yang sengaja aku tekankan sembari menatap kedua manik matanya yang telah kehilangan gairah hidup itu yang direspon dengan gelengan kepalanya berulang kali menandakan bahwa dirinya bukan seperti apa yang aku ucapkan.

Tangis yang sempat reda kini kembali jatuh dan semakin deras menciptakan sungai kecil di kedua pipinya. Kepalanya menunduk sedangkan aku hanya bisa mengembuskan napas lelah sekaligus frustasi melihat keadaannya yang semakin memprihatinkan tiap harinya. Lalu tiba-tiba aku teringat pada kejadian beberapa hari yang lalu saat tanpa sengaja aku melihatnya yang sedang berbicara seorang diri dan menatap ke arah lain seakan ada objek yang menjadi fokusnya.

"Apa kamu masih belum berdamai dengan kenyataan, Mel?" tanyaku begitu saja membuatnya menegang sesaat kemudian menatapku tajam.

"Kamu pasti udah tahu jawabanku, Ra. Untuk apa aku harus berdamai dengan kenyataan kalau Regard masih hidup? Dia cuma butuh waktu lebih lama buat kembali." Lagi-lagi ia menyangkal kenyataan yang sudah jelas ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri saat jasad Regard dikebumikan satu bulan yang lalu. Ah, aku bahkan baru sadar ternyata sudah satu bulan Regard pergi secara tiba-tiba untuk selamanya.

Aku memejamkan mata menghalau perih akibat menahan tangis. Membiarkannya kembali menikmati tangis yang sudah terlampau sering aku dengar setiap kali mengunjunginya. Dan akibat hal itu pula, seringkali aku memergoki para tetangga yang tengah berkumpul bersama untuk melakukan ritual keseharian mereka yang tak lain ialah ngerumpi, membicarakan hal yang terdengar buruk di telingaku mengenai Amel dan keluarga.

Believe You [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang