Chapter 16 (1)

35 25 144
                                    

-Pain demands to be felt-

Entah sudah berapa lama aku termenung seorang diri di atas tempat tidur. Rasanya semua hal yang ada di sekelilingku sudah tidak lagi menjadi sesuatu yang patut aku cermati seperti sebelumnya. Sayup-sayup aku mendengar suara langkah kaki mendekat ke arah kamarku. Pintu kamarku terbuka begitu saja yang kemudian disusul oleh satu sosok wanita yang sering sekali menemuiku akhir-akhir ini. Siapa lagi kalau bukan sahabatku, Rara.

"How are you, Mel?" tanya Rara yang tak kutanggapi sama sekali. Aku hanya meliriknya sekilas dan berpaling ke arah lain.

Lelah. Honestly, aku benar-benar merasa begitu kelelahan padahal aku sedang tak melakukan kegiatan fisik apa pun.

"Mau sampai kapan kamu akan bersikap seperti ini, Mel?" Kembali Rara membuka suara setelah beberapa menit keheningan menjalar. Aku hanya mendengus dan sama sekali tak berniat untuk menjawabnya.

Seperti mengetahui bahwa aku sama sekali tak ingin membuka suara, Rara lagi-lagi membombardirku dengan beberapa kalimat pertanyaan yang sebenarnya cukup membuat kedua telingaku pengang.

"Sadar, Mel. Berasumsi dengan perasaan itu sama artinya dengan kamu membiarkan hatimu diracuni oleh harapan-harapan semu. Padahal kenyataannya nggak seperti itu. Kamu terjebak sama perasaanmu sendiri. Sibuk merangkai semua kejadian di sekitarmu hanya untuk membenarkan semua tindakanmu dan terus menimbun mimpi yang kamu sendiri sadar, kalau itu semua nggak nyata. Kamu menyakiti dirimu sendiri, Amel. Dan itu lebih menyedihkan daripada bunuh diri." Aku menutup kedua telingaku tidak ingin mendengar kelanjutan ocehannya yang semakin lama terasa seperti belati yang menikamku terus menurus seiring dengan kalimatnya yang terlontar keluar.

Tanpa aku sadari, bulir bening yang beberapa waktu menghiasi wajahku kembali hadir. Lagi-lagi aku terlihat begitu menyedihkan. Tidak ada lagi kebanggaan yang bisa aku tunjukkan pada dunia. Hanya kehancuran demi kehancuran yang menantiku di depan sana. Bahkan kini saat tangisku sudah tak mampu lagi aku bendung isakannya, tak ada pelukan atau dekapan sebagai tameng penghiburan.

Sontak aku tersentak akan satu kenyataan pahit di antara banyaknya kenyataan yang masih belum bisa aku terima hadirnya. Aku benar-benar seorang diri.

Di antara tirai bening yang sedikit mengaburkan penglihatanku, aku menatap tepat ke arah kedua manik mata Rara. "Kamu nggak tahu apa yang aku rasain, Ra. Kamu nggak tahu usaha apa yang udah aku lakukan untuk bertahan saat aku sudah berada di ambang batas sadarku. Kamu nggak tahu seberapa keras aku menarik garis kewarasanku di tengah kegilaan yang menderaku akhir-akhir ini."

Berulang kali aku menggelengkan kepala yang terasa memberat tiap detiknya dan kembali berucap, "Seberapa banyak aku memberitahukan pada kalian tentang apa yang terjadi padaku, maka sebanyak itu pula aku dicap sebagai orang yang nggak waras. Kalian terus menerus mengatakan 'Regard sudah meninggal' tanpa henti seperti aku akan melupakan hal penting itu kalau kalian nggak mengatakannya. Aku harus apa, Ra? Apa aku benar-benar akan gila jika kenyataannya Regard masih ada di sekelilingku?"

Rara terdiam. Membiarkanku menumpahkan segala keluh yang selama ini menghuni kepala kecilku. Masih ada banyak hal yang ingin aku lontarkan di hadapannya, tapi entah mengapa bibirku tak mau diajak bekerja sama. Ia lebih memilih bungkam begitu saja setelah kata terakhir yang aku ucapkan.

"Aku nggak tahu lagi gimana caranya buat bikin kamu baik-baik aja. Aku harap setelah semua yang terjadi, kamu bisa kembali hidup dengan bahagia, Mel," ungkap Rara yang kemudian berlalu keluar meninggalkanku dalam keterpakuan akibat perkataannya barusan.

Bagaimana aku bisa kembali bahagia jika sumber kebahagiaanku sudah direnggut terlebih dulu oleh semesta? Atau memang pada kenyataannya, dia bukan bahagiaku?

Believe You [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang