Kita akan selalu dihadapkan pada dua fase, pertemuan dan perpisahan.
Entah setelahnya akan kembali dipertemukan atau tidak.
Bukankah itu masih menjadi rahasia semesta?
-Amel-
Aku kembali terbangun di pinggir pantai. Sama seperti sebelumnya. Tidak ada siapa pun kecuali aku. Aku menoleh ke sana kemari mencari sosok laki-laki yang tidak sempat aku lihat wajahnya, siapa tahu dia juga berada di sini. Namun, tetap tidak ada.
Saat hendak akan melangkahkan kaki menjauhi tempat tersebut, tiba-tiba saja seseorang menghadang tubuhku hingga membuatku hampir terjungkal ke belakang andai saja orang tersebut tidak sigap menahanku.
Butuh beberapa detik untuk membuatku kembali pada kesadaran yang utuh dan melepaskan diri dari pelukan tidak langsung orang tersebut. Meski sebenarnya ini bukanlah kesalahanku, tapi orang tersebut telah menolongku sehingga aku berniat untuk mengucapkan terima kasih padanya. Aku pun mendongak untuk melihat dengan jelas siapa orang yang telah menghadang dan menolongku ini.
Deg.
Aku menyipitkan kedua mataku untuk bisa melihat dengan jelas wajah laki-laki itu. Tapi sepertinya aku memang tidak diijinkan untuk melihatnya. Sosoknya yang membelakangi cahaya itu membuatnya jelas tidak terlihat.
"Terima kasih," ucapku singkat yang kemudian bergegas pergi menjauh dari hadapannya secepat mungkin. Namun, sepertinya dia memang benar-benar tak ingin melepaskanku begitu saja. Tangannya yang besar itu segera mencekal lenganku dan menariknya hingga tubuhku berbalik arah dan sepersekian detik berikutnya, tubuhku telah berada di dalam pelukannya.
Otakku kembali kosong dan sama sekali tak memberikan respon akan apa yang terjadi. Ketegangan yang semula menyelimuti berhasil lolos begitu saja. Pelukan ini yang setelah sekian lama begitu aku rindukan. Kehangatan dan rasa nyaman yang diberikannya seakan memberitahu seluruh dunia bahwa aku akan baik-baik saja.
"Aku sangat merindukanmu Re," bisiknya sembari mengecup puncak kepalaku.
Dug.
Kepalaku terantuk jendela. Pusing dan disorientasi, membuatku mengerjapkan mata berulang kali.
Lalu, aku dapati diriku tengah duduk di bangku penumpang taksi online yang akan membawaku menuju bandara. Guncangan taksi akibat melewati jalan yang tidak rata dan berlubang, rupanya menyebabkan kepalaku mendarat di atas kaca jendela dengan keras. Itu sebabnya aku terbangun.
Napasku memburu. Mimpi itu lagi.
Tanganku menyeka titik-titik keringat dingin yang kini bermunculan di keningku. Kukibaskan rambut sebahuku ke belakang. Sementara tangan kananku merogoh saku jaket yang tengah kukenakan mencari ikat rambut. Dengan kilat aku mengikat rambutku jadi satu menyerupai ekor kuda.
Jantungku berdebar kencang memukul-mukul dada. Bahuku terasa tegang ketika menyandarkan tubuh ke belakang. Aku putuskan untuk mencoba mengalihkan perhatian pada pemandangan di luar jendela taksi.
Hiruk pikuk kendaraan yang memadati ruas jalan. Bangunan-bangunan tinggi yang berdiri menjulang seakan tengah menantang langit menjadi pemandangan tersendiri di mataku. Tanpa sadar, tangan kananku mulai memainkan bandul kalung yang tersemat di leher.
***
Sudah hampir satu minggu aku kembali ke rumah. Sesekali menulis cerita yang akan aku kirim ke pihak penerbit. Namun khusus untuk hari ini aku tidak tahu apa yang terjadi, aku hanya merasakan sesuatu yang aneh di hatiku. Perasaan kacau yang berbaur dengan rasa yang lain hingga membuatku tidak tahu apa itu. Apa yang terjadi? bisikku dalam hati.
Rumah terasa kosong seperti apa yang sedang aku rasakan. Aku memutuskan untuk menghabiskan hari dengan berjalan-jalan ke pantai. Menyaksikan keindahan senja yang sebentar lagi menghilang.
Sebelum malam benar-benar menyapa, aku bergegas pulang ke rumah. Udara sore itu terasa sangat menyesakkan. Entah karena kondisi tubuhku yang mulai menurun atau memang alam yang tak ingin bersahabat denganku. Kakiku mulai melangkah menjauhi tepi pantai.
Sesampainya aku di rumah, dari luar aku mendengar Mama tengah berbicara dengan seseorang. Aku melangkah masuk ke dalam, berniat untuk mengistirahatkan diri di kamar. Tapi justru Mama menghadangku dan mengenalkanku pada wanita yang ia ajak bicara tadi. Madam Carlota. Aku seperti merasa pernah melihatnya meskipun tidak tahu di mana. Setelah itu, aku pamit pada Mama untuk berisitirahat.
Akumulasi dari rasa lelah yang aku rasakan menyebabkan aku cepat terlelap. Namun belum lama aku tertidur, aku kembali memimpikan hal yang sama. Sosok yang sama yang kian lama bisa aku lihat wujudnya. Sosok yang tidak aku tahu siapa tapi terasa begitu dekat dan berarti buatku. Rasa sakit di dada langsung menyapaku saat kedua mataku terbuka. Sakit yang terasa berkali-kali lipat dari yang biasanya. Aku mencoba meraih obat yang aku letakkan di pinggir meja belajar. Namun belum sempat aku meraihnya, kegelapan terlebih dulu merenggutku.
Malam di mana aku terbangun dari pingsanku, Madam Carlota memberikan sebuah buku bersampul merah muda padaku. Aku menerimanya. Perlahan aku membukanya. Lembar pertama hingga di lembar terakhir tulisan itu, aku menangis histeris. Buku itu kunci ingatanku yang hilang. Buku yang telah menjadi saksi bisu hubunganku dengan Regard. Aku semakin histeris hingga kembali bergelung dengan kegelapan.
Entah efek dari ingatan yang perlahan saling menemukan atau hal lain. Aku kembali bermimpi hal yang sama. Kembali terbangun di pinggir pantai. Kembali bertemu dengan sosok itu. Hanya saja kali ini, kami bisa mengobrol panjang lebar. Hingga tiba saat sosok itu yang ternyata adalah Regard, mengucapkan permintaan terakhirnya. Aku kembali menangis tersedu-sedu. Bersamaan dengan semakin pekatnya malam yang menghampar di cakrawala, Regard kembali menghilang setelah berpamitan denganku.
"Yang menyembuhkan luka kita bukanlah melupakan, tapi penerimaan. Dan mengingat kembali adalah salah satu cara terbaik untuk tidak merasakan kehilangan. Hadapi semua dengan berani karena saya akan selalu melindungimu. Tetap bahagia karena bahagiamu adalah bahagia saya. Jika suatu hari nanti kamu merindukan saya, cukup ingat kembali kenangan manis kita. Kamu juga boleh kok manggil nama saya sebanyak-banyaknya." Kalimat terakhirnya sebelum ia menghilang dan membuatku terus memanggil-manggil namanya saat aku terbangun dari tidur panjangku.
Aku kembali meneteskan air mata. Terisak pelan saat kenangan tentang Regard menyerbu. Rasa rindu yang aku rasakan semakin menggebu tapi aku tidak bisa memadamkannya karena obat dari rindu itu sendiri ialah pertemuan. Lalu bagaimana aku bisa bertemu dengannya, jika sosoknya pun telah lenyap dan kini berbeda dimensi denganku?
Keesokan harinya aku kembali ke pantai menyaksikan matahari tenggelam dengan ingatan yang utuh. Aku memutuskan untuk tetap menunggu sampai kapan pun. Aku memang sudah mengikhlaskannya, tapi tidak salah kan jika aku masih mau menunggu? Tidak ada yang tahu bukan, bagaimana cara kerja semesta selama ini? Terlalu dipenuhi dengan kemisteriusan. Siapa tahu saja keajaiban mau menghampiri hidupku dan mengembalikan Ega-ku.
Sebelum aku kembali ke rumah, aku sengaja mengirim surat yang berisikan luapan rinduku pada sosok yang telah berbeda dimensi denganku pada semesta. Semoga saja semesta mau menerimanya.
-To be continue-
Jangan lupa vote & coment. Happy reading guys

KAMU SEDANG MEMBACA
Believe You [TAMAT]
Roman d'amourDia muncul dalam mimpiku hari ini. Untuk pertama kalinya dalam empat tahun. Cara bicara, suara, tindakan, gerak-gerik, dan aromanya. Semua terasa nyata. Tapi sekeras apa pun aku berusaha, aku tidak bisa mengingat wajahnya. Justru makin lama wajahnya...