Percayalah, ditanya kapan menikah bukan perkara mudah. Jika pacar punya, belum tentu akan naik pelaminan.
*****
Lendra bersandar pada kursi putar di ruangannya. Ia baru saja selesai mengajar tiga kelas di waktu berurutan. Mulutnya sampai pegal karena dipaksa mengoceh, walau sejauh setiap ia mengajar menggunakan layar proyektor. Lendra tipe dosen yang mengajar secara singkat dan padat. Ia tak suka mengulangi apa yang telah dibahas. Lendra juga selalu menekankan bahwa mahasiswa yang ia ajarkan harus bisa menyesuaikan keadaan. Jika masih banyak yang kurang paham, Lendra akan memberikan materinya dalam bentuk pdf supaya mereka bisa memahami lebih baik lagi.
Lendra tanpa sadar memejamkan mata karena lelah. Namun niat untuk sedikit istirahat terganggu oleh ketukan beruntun dari pintu luar. Lendra terpaksa bangkit, lalu memutar kunci pintu. Sosok pria berkemeja hitam slim fit memberi cengiran lebar yang membuat Lendra mendengkus sebal.
"Ganggu!" gerutu Lendra tak segan pada pria itu. Lendra membiarkan pria tadi masuk, dan kembali menutup pintu.
"Udah kelar emang?" Pria itu membuka mini kulkas yang letaknya dekat kamar mandi samping kanan. Ia hanya menemukan kaleng minuman soda yang tersisa tiga di sana. Juga ada coklat yang bagian ujungnya telah dipotong.
"Udah." Lendra kembali pada singgasana dengan malas. Ia memperhatikan rekannya itu dalam diam.
"Doni nikah besok. Dateng, nggak?"
"Hampir lupa. Malem, kan?" Hanya anggukan yang ia terima. Lendra mengecek jadwal untuk besok. Ia hanya punya dua kelas yang diisi pada pukul 13.30 dan sorenya pukul 16.00 hingga 17.30. "Lepas maghrib bisa, sih. Kamu?"
"Besok jadwalku cuma satu kelas, siang."
"Kondangan terus perasaan," keluh Lendra. Tawa pria tadi mengudara renyah. Ia menatap sahabat satu profesi dengannya itu geli.
"Sabar. Entar kalau jodoh bakal naik pelaminan."
"Kamu masih sama Ersha?"
"Udah enggak."
"Kenapa?"
"Diselingkuhi aku," jawabnya cemberut. Lendra tak tahu harus bereaksi bagaimana. Merasa kasihan pada temannya itu.
"Turut berduka," gumam Lendra sangat pelan. "Move on, Fandy."
"Masih jalan, Len. Kamu kata move on gampang? Nyesek aku tuh!"
Lendra berdecak sinis. Terserahlah! Lendra malas menasihati manusia patah hati. Selalu dianggap sok bijak. Padahal ucapannya tidak ada yang salah. Kalau sudah mantan, mau diapakan? Lendra benci perselingkuhan. Buang saja mantan yang selingkuh pada tempatnya. Beres!
****
Jam telah menunjukkan pukul 19.45. Sudah saatnya akan kondangan. Lendra menata rambutnya di depan cermin. Dua hari lalu, ia sudah memotong rambut dan sekarang tampak lebih segar. Lendra segera bersiap menuju lokasi resepsi pernikahan Doni, salah satu teman kuliah hingga saat ini masih menjalin pertemanan dengan baik. Ia hanya mengenakan batik seperempat lengan dan celana kain serta sepatu hitam. Setiap kondangan, Lendra tidak pernah membawa gandengan. Baginya itu tidak terlalu penting. Ia juga single man, jadi berharap gandengan pun sia-sia saja.
Menghabiskan waktu selama lima belas menit di jalan, Lendra tiba di sebuah gedung sewaan acara resepsian. Ia diarahkan memarkir mobil di lapangan terbuka. Setelahnya, Lendra pun berjalan memasuki gedung yang sangat ramai tamu undangan. Tampak dua orang perempuan berdiri di pintu masuk sebagai pagar ayu menerima undangan tanda tamu, serta menjaga kotak untuk menaruh amplop.
KAMU SEDANG MEMBACA
Status Kita Apa?
Romance"Saya memang tampan sejak lahir," ucap Lendra percaya diri. Kali ini Ayunda yang mendengkus. "Iyalah. Dosen Akuntansi mah bebas. Satu tambah satu belum tentu jadi dua." Lendra terkekeh. "Bisa jadi dua kalau di dalamnya ada kamu dan saya." ---sekila...