Part 16

1.5K 92 0
                                    

Kalau suka sama anaknya, harus suka sama orangtuanya. Karena sejatinya, mereka adalah satu paket.

_Ayunda berkata_

***

Ayunda tipe manusia santai. Ia menikmati hidupnya dengan santai sekalipun punya masalah, ia selalu mencoba tenang sembari mencari solusi. Bagi Ayunda, masalah itu jangan dimanja. Yang ada, masalah akan semakin banyak hingga membuatmu stress berkepanjangan.

Pukul 15.20 Ayunda masih setia pada layar laptop yang sedang memutar sebuah drama korea berjudul The Gang Doctor. Salah satu drama populer di tahun 2015 bertema kedokteran serta kriminal dengan perpaduan akting mantap dari aktris dan aktor keren. Ia baru mengunduh drama itu dua minggu lalu dengan memanfaatkan jaringan wifi di kampus. Padahalnya drama itu sudah lama keluar, tapi ia baru menonton. Terlalu.

Memasuki episode menegangkan, Ayunda dibuat emosional. Kadang ia tersipu malu oleh tingkah Kim Tae-hyun si dokter bedah yang tampan saat ia mencoba melindungi Nona Yeo-jin yang cantik dan berhati dingin. Ayunda jadi berpikir, apakah kisah cintanya akan semanis drama korea yang sedang ia tonton atau malah lebih drama lagi? Ah, mengesankan sekali kedengarannya.

"Aaaa ... kenapa mereka cute banget, sih!" serunya gemas sambil menggigit ujung bantal yang sedang ia dekap erat. "Aku, kan, juga mau kayak gitu ...." Ayunda masih merengek. Otak liarnya sedikit membayangkan ada adegan manis antara dirinya dan pak Lendra. Owh, pria itu. Apa bisa seperti Kim Tae-hyun? Mustahil! Lendra itu kaku. Berbicara saja bahasa baku. Huft, Ayunda tidak bisa membayangkan lebih jauh kalau saja Lendra beradegan romantis.

"Pacaran sama aktor korea bisa bikin aku senyum mulu, ih! Eh, tapi aku cintanya sama pak Len, kok!" Ayunda terkikik geli. Ketika masih larut dalam drama itu, ponsel Ayunda bergetar manja di balik bantal. Ia merasakan getarannya, kemudian meraih ponsel itu tanpa melihat nama si pemanggil.

"Halo! Siapa, sih, ganggu aja!" sembur Ayunda tanpa sopan santun. Sambungan telepon langsung putus. Ayunda mengerutkan kening hingga matanya melotot kaget melihat nama indah mentereng sebagai panggilan akhir. Ayunda menepuk dahinya. Mampus. Lendra baru saja ia sentak. Wah, bahaya! Secepat kilat ia kembali menelpon nomor Lendra, akan tetapi hanya suara operator yang menyahut di ujung sana.

"Aduh. Khilaf, khilaf! Gimana, nih?! Takutnya ada penting banget gitu. Ke rumahnya aja deh!"

Tidak ingin membuat Lendra mengamuk, Ayunda bergegas menyambar cardigan panjang yang menutup tubuhnya. Ia mematikan laptop dan meminta maaf pada laptop karena dramanya harus ia tunda dalam beberapa saat. Ayunda berlari ke luar dan tanpa sengaja menabrak Asran yang baru saja masuk.

"Astaghfirullah. Kamu kenapa, sih, Kak? Ini rumah, bukan lapangan!" sungut Asran yang kesal. Pemuda itu berjongkok memungut stik kentang yang hampir buyar semua dari plastik.

"Maaf, Sayangku. Aku buru-buru. Bilangin ke mama atau papa kalau aku keluar sebentar. Assalamualaikum!"

Asran tidak langsung menjawab. Mulutnya sibuk mendumal tidak jelas. Setelah Ayunda pergi dengan motor, barulah Asran menjawab salam Ayunda tadi.

"Waalaikumussalam. Ih, untung aja kakakku!"

***

Di perjalanan yang jaraknya tidak seberapa untuk sampai di rumah Lendra, Ayunda tetap saja panik. Jantungnya sampai lelah berdetak kencang akibat dirinya yang berlari tadi, lalu menaiki motor, hingga pikiran yang bertebaran entah ke mana. Memasuki komplek perumahan Bumi Asri, Ayunda menyusuri jalanan trotoar yang penuh debu dan pasir. Hingga ia berhenti di sebuah rumah berpagar hitam setinggi satu meter setengah nomor 42, Ayunda mendorong pagar itu. Kata Lendra, Ayunda boleh langsung masuk tanpa harus mengetuk gembok gerbang. Sebenarnya gemboknya tidak pakai kunci. Hanya menggunakan kode dengan enam digit angka campuran yang Ayunda sudah catat di luar kepala agar tetap ingat.

Ayunda memarkirkan motor di halaman. Ada mobil Lendra di garasi yang terbuka. Sepeda motor pria itu juga ada di sana. Berarti, Lendra di rumah. Ia masuk ke rumah melalui pintu depan sambil mengucapkan salam. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di rumah berlantai marmer coklat ini. Ke mana penghuni tampan itu, ya?

"Bapak! Bapak Lendra Mahardika kesayangan Ayunda di mana?" Ayunda merengut. Ia tidak menemukan Lendra di ruang depan, dapur, kamar mandi dapur, dan belakang rumah. Atau mungkin ada di kamar?

"Di kamar kali, ya?" gumamnya berbicara sendiri. Ayunda pun ke kamar Lendra yang berpintu coklat dan ada tempelan stiker dari klub bola asal Spanyol, Barcelona tepatnya. Ayunda mengetuk pintu tiga kali, lalu suara grasak-grusuk membuat Ayunda penasaran.

"Ayunda?" panggil Lendra. Ayunda memindai penampilan Lendra yang acak adut. Pria itu seperti sedang sakit. Ayunda menjulurkan tangan untuk menyentuh dahi Lendra yang terasa panas.

"Bapak demam!"

Lendra menjatuhkan kepalanya di bahu sempit Ayunda. Panas dari tubuh Lendra menjalar pada Ayunda.

"Ayo, tidur lagi. Saya buatin bubur, mau?" rayu Ayunda. Lendra menjauhkan kepalanya. Ia menatap Ayunda dengan tatapan sayu. Sesekali menggaruk hidungnya yang gatal dan panas.

"Kenapa datang? Saya tidak menyuruh kamu kemari," kata Lendra heran. Sejujurnya Lendra ingin merajuk karena Ayunda menjawab panggilannya tidak ikhlas.

Ayunda meringis. Ia tahu kalau Lendra kesal. "Maaf, Pak. Tadi aku lagi nonton drakor, jadi nggak fokus. Ayo, duduk aja. Aku ke dapur buatin bubur. Bapak, kok, bisa sakit?"

Lendra bersandar pada kepala ranjang. Ia menahan tangan Ayunda ingin mengatakan sesuatu. Tapi Ayunda tetap saja menyela. Hal itu membuat Lendra semakin sakit kepala.

"Diem di sini! Sepuluh menit kurang lebih aku udah balik. Okay?" Ayunda meninggalkan Lendra ke dapur. Ia tidak ahli dalam hal memasak. Hanya bisa masak air untuk kopi, nasi goreng, dan mie instan rebus atau goreng. Dan sekarang ia harus memasak bubur? Waduh! Seperti apa rasanya nanti, ya? Semoga Lendra tidak keracunan bubur buatannya itu.

Ayunda mencari panci. Panci itu akan ia gunakan untuk memasak bubur nasi. Orang sakit biasanya dikasih makan bubur. Saat ia sibuk memasak, seseorang masuk ke dapur dan terkejut tanpa suara. Ayunda yang akan berbalik sambil memegang gelas sampai menjatuhkan gelas itu karena terkejut.

"Ommo!"

Prang!

"Astaga. Kamu nggak apa-apa?" Seorang wanita cantik menghampiri Ayunda yang refleks jongkok.

"Eng-enggak apa-apa, Tante. Saya cuma kaget," jawabnya gugup.

"Jangan dipegang nanti kena tangan. Sini, biar Tante yang sapu."

Ayunda yang masih syok pun diam saja. Hingga seorang perempuan muda datang sambil menenteng paper bag coklat.

"Loh, ini siapa Ma?"

Wanita tadi yang dipanggil mama menatap perempuan muda itu.

"Kamu siapa, Nak? Kok ada di rumah anak Tante?"

Rumah anak tante? Apa ini mamanya Lendra? Oh, astaga! Kenapa harus bertemu di saat seperti ini?! Mau dipasang di mana mukanya itu? Kepergok sedang berada di rumah pria dewasa oleh mamanya si pria.

"Anu, anu Tante ...."

"Kamu pacarnya Lendra, ya? Kok nggak pernah dibawa ke rumah, sih? Anak itu!"

Ayunda ingin menyela, tapi keduluan si gadis muda tadi. "Kakak beneran pacarnya mas Lendra? Ih, kenalin, Kak. Namaku Livina dan ini mama Karana. Bisa ketemu di sini, ya!" seru Livina girang.

Ayunda nyengir kuda. Ia menyalami wanita bernama Karana dengan sopan.

"Maaf ya, Tante. Aku ke sini karena pak Len lagi sakit. Mau buatin bubur tadi."

"Tante bawa bubur, kok. Nggak usah repot-repot, Nak. Nama kamu siapa?"

"Eh, iya. Ayunda, Tante."

"Oalah. Cantiknya pacar anakku," puji Karana senang.

Pacar? Statusku aja belum jelas sama pak Len apaan! batinnya membantah.

"Ayo ke kamar Lendra."

.
.
.
.
.
Tbc.

Status Kita Apa? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang