Siap, ya. Silakan baca dengan mood yang baik.
****
Sudah seminggu Ayunda tidak mendapat kabar dari Araf. Sepupunya itu menghilang tanpa kabar. Sudah beberapa kali Ayunda menanyakan tentang Araf kepada teman sekampus Araf. Akan tetapi, tidak ada satu pun yang tahu ke mana perginya Araf. Ini terlalu tiba-tiba Ayunda menghadapi Araf yang sebelumnya menjadi anak penurut.
Ia juga berulang kali bertukar kabar terhadap Lendra. Lendra pun membantu, tapi tetap saja ia tidak bisa mendapatkan secuil informasi. Araf pun tidak pernah masuk lagi di beberapa mata kuliah yang kebetulan Lendra kenal dengan dosen tersebut.
Ayunda emosional belakangan ini. Lendra pun berusaha membuat Ayunda tenang meski hanya melalui kata-kata penenang atau sebuah pelukan singkat.
Saat ini mereka sedang berada di dalam mobil. Lendra mengajak Ayunda menuju suatu tempat yang kemungkinan ada Araf di sana. Lendra kepikiran untuk melacak Araf melalui ponsel. Sebenarnya ponsel Araf tersambung. Hanya saja, Araf tidak pernah merespons baik panggilan atau pesan singkat. Ayunda duduk gelisah. Ia memilin tangannya sebagai tanda bahwa ia dalam keadaan khawatir. Ia sudah memberitahukan masalah ini pada kedua orangtua Ayunda. Papanya Ayunda menyuruh dirinya untuk mencari Araf dan dibawa ke rumah. Ayunda punya misi sekarang. Dan partner dalam misinya adalah Lendra.
"Bapak yakin kita bisa ketemu Araf di sana?" tanya Ayunda mengurai keheningan dalam perjalanan.
"Semoga iya. Kita berdoa saja."
Kali ini Ayunda menggigiti kukunya. Lendra berdecak pelan, kemudian meraih tangan Ayunda untuk ia genggam.
"Jangan gigiti kukumu, Ayunda. Kalau ada tangan saya yang bisa membuatmu nyaman."
Ayunda mendesis kesal. Ia mencubit lengan kekar Lendra sebagai balasan.
"Nggak lucu!" sentak Ayunda. Lendra hanya bisa menghela nafas. Ia diam saja, tidak lagi berkomentar tapi tetap menggenggam tangan Ayunda lebih erat.
"Masih jauh?"
"Sebentar lagi sampai."
Hari semakin gelap. Arloji sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Akhirnya mereka tiba di lokasi. Tempatnya lumayan jauh dari jalan raya. Memasuki jalanan beraspal tapi cukup untuk dilewati mobil. Lendra mengarahkan mobilnya di tepi jalan dekat lampu jalan. Ia mematikan mesin dan melepas safety belt, begitu pun Ayunda.
Ayunda sampai merapatkan cardigannya karena embusan angin lumayan dingin. Tahun ini adalah tahun yang sering kali hujan turun. Tidak heran jika sehari bisa lebih dari sekali langit menumpahkan air ke bumi. Tampak juga genangan air keruh di lubang-lubang jalan pertanda telah hujan beberapa saat lalu. Lendra melirik Ayunda yang juga melirik padanya.
"Jangan jauh-jauh dari saya," pesan Lendra. Ayunda mengangguk paham. Daerah ini asing, bahkan cenderung sepi kalau diperhatikan lagi. Meski belum begitu larut, Ayunda mendadak merinding. Saat Lendra mengulurkan tangan, ia menyambutnya segera. Mereka berjalan memasuki gang yang ukuran lebarnya hanya dua meter setengah. Dinding gang tampak kusam dipenuhi coretan abstrak serta tumbuh lumut yang basah. Semakin dalam mereka berjalan ada sebuah rumah yang tampak tua. Rumah itu terbuat dari kayu secara keseluruhan. Lalu bagian atap dari seng yang telah berkarat. Ada lampu menyala di sana. Semakin dekat, mereka bisa mendengar suara orang berbicara. Suara laki-laki.
"Pak, beneran ini tempatnya? Kok serem banget?" Ayunda berbisik waspada. Ia takut jika alamatnya salah.
"Saya yakin. Lokasi di gps tepatnya di sini," jawab Lendra yang begitu yakin. "Sepertinya ada orang di sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Status Kita Apa?
Romance"Saya memang tampan sejak lahir," ucap Lendra percaya diri. Kali ini Ayunda yang mendengkus. "Iyalah. Dosen Akuntansi mah bebas. Satu tambah satu belum tentu jadi dua." Lendra terkekeh. "Bisa jadi dua kalau di dalamnya ada kamu dan saya." ---sekila...