Ayunda mengerutkan kening ketika mereka memasuki sebuah komplek perumahan. Bukannya tadi Lendra mengajak makan? Tapi kenapa ke perumahan begini. Ayunda melihat Lendra sedang mendekatkan ponselnya ke telinga, tampak masih menunggu dari panggilan telepon.
"Assalamualaikum, Bude," salam Lendra terlebih dahulu saat panggilan telepon tersambung.
" ... "
"Bude ada di rumah, kan? Lendra datang, ya?"
" ... "
"Nggih, Bude. Sebentar lagi sampai. Lendra tutup dulu. Assalamualaikum."
Tut.
"Siapa?" beo Ayunda penasaran. Lendra hanya menoleh sekilas, lalu berdehem kemudian.
"Kita ke rumah bude saya dulu."
"Ngapain? Katanya mau makan?"
"Kaki kamu harus diurut, setelah itu kita cari makan," jawab Lendra tanpa melihat jika ada rona merah di pipi Ayunda. Perhatian Lendra ini benar-benar membuat Ayunda kewalahan. Setelah memasuki perumahan Taman Indah, mereka tiba di satu rumah bercat coklat muda dengan pagar setinggi hampir dua meter. Lendra menepikan mobilnya di depan rumah tersebut, lalu turun dan membantu Ayunda.
"Sini saya papah," ucap Lendra sembari memegang lengan Ayunda. Mereka berdiri di pintu pagar. Lendra menekan bel sebanyak dua kali, lalu suara besi beradu terdengar nyaring serta pagar yang bergeser semakin lebar. Tampak wanita berkepala enam dengan rambut yang memutih sebagian itu di sana.
"Sudah datang." Wanita itu tersenyum ramah. "Ayo, masuk."
Lendra dan Ayunda dipersilakan masuk. Keduanya mencium punggung tangan wanita yang Lendra panggil bude itu dengan takjim.
"Maaf ngerepotin Bude. Ini kakinya keseleo, jadi perlu diurut," ucap Lendra menjelaskan. Ayunda hanya tersenyum tipis dicampur ringisan kecil karena memang kakinya masih agak nyeri.
"Oalah. Ya udah, sini Bude urutin. Bude lagi nggak sibuk, kok. Sini duduk deket Bude, Sayang," ajaknya.
"Nggak apa-apa ini Bude?" tanya Ayunda memastikan.
"Heee, ya enggak dong. Sini, sini."
Ayunda pasrah saja disuruh duduk. Kemudian kaki kanannya diangkat ke pangkuan bude Mir.
"Aduh, maaf Bude."
"Wes toh. Bude urutin dulu." Bude Mir mulai mengolesi minyak urut yang terbuat dari sereh pada pergelangan kaki Ayunda.
"Bude, Lendra numpang ke toilet sebentar." Tiba-tiba Lendra menginterupsi kegiatan sang Bude.
"Iya, Le." Setelah Lendra pergi, bude Mir menatap Ayunda dengan wajah jenaka. Ayunda yang dilihat begitu mendadak salah tingkah. Ia menunduk malu.
"Pacarnya Lendra?" tembak Bude Mir langsung. Ayunda tersentak. Ia mengangkat kepalanya spontan untuk menatap bude Mir yang masih lihai mengurut kakinya.
"Bukan, Bude."
"Loh, bukan gimana, Nduk?" Bude Mir tampak tertarik mendengar jawaban Ayunda.
"Emm, ya gimana Bude. Kami cuma dekat gitu aja. Udah lama, sih, tapi nggak punya status apa-apa," jawabnya tanpa ragu. Bude Mir menepuk keningnya gemas.
"Anak itu nggak jauh beda kayak bapaknya. Jadi hanya dekat saja? Sudah sejauh apa? Meskipun dekat, Bude yakin kalau sikap maupun perilaku Lendra agak berbeda sama kamu, Nduk."
Ayunda masih tampak ragu ingin bicara. Ia takut keceplosan mengeluhkan kekurangpekaan Lendra masalah ini. Ia menoleh ke belakang seolah memastikan kalau Lendra belum kembali atau mungkin menguping pembicaraan mereka berdua. Bude Mir paham dan ia pun tersenyum maklum.
"Cerita aja sama Bude. Tenang, Bude nggak ember kok sama orang. Lagian Lendra itu ponaan Bude yang kalem. Bude udah hafal banget sifatnya," ucap Bude Mir meyakinkan gadis itu. Ayunda pun mulai bercerita perihal kedekatannya dengan Lendra. Sepanjang obrolan itu, ekspresi bude Mir terkadang berubah kesal, gemas, sampai tertawa. Setelah Ayunda bercerita, bude Mir pun membuka suara.
"Maklum saja ya, Nduk. Usia Lendra sudah matang, cocok membangun rumah tangga. Tapi saran Bude, kalau kamu sudah yakin sama ponaan Bude ini, coba solat istikharah dan berdoa sama Allah. Minta petunjuk sama Allah apakah hatimu sudah yakin sama Lendra atau belum. InshaAllah nanti ada jawabannya."
Ayunda tak pelak menerbitkan senyumnya. Benar juga ucapan bude Mir. Jika hati ingin sebuah keyakinan, maka berdoa kepada Allah adalah kuncinya. Ayunda spontan memeluk bude Mir sembari mengucapkan terima kasih. Di saat itulah Lendra datang dengan wajah heran.
"Ada apa ini Bude?" tanya Lendra ingin tahu.
"Rahasia wanita, Le," jawab Bude Mir menggoda ponaannya itu. Lendra hanya menghela nafas pasrah. Wanita memang susah didebat.
"Sudah selesai? Kakinya bagaimana?"
"Udah baikan kok, Pak. Bude Mir emang jago ngurut!" puji Ayunda sambil mengacungkan dua jempol untuk bude Mir.
Lendra ikut lega. "Kalau begitu kami pamit ya, Bude."
"Heh! Kok cepet sekali? Nggak makan dulu di sini?"
"Lendra ada kelas satu jam lagi, Bude. Kapan-kapan mampir lagi kemari."
Bude Mir memasang wajah malas kepada Lendra. "Dosen sibuk!"
Lendra meringis kecil. "Ya mau gimana lagi, Bude? Udah tanggung jawab Lendra."
"Yowes! Kapan-kapan kemari lagi, kita makan bareng ya. Bude kebetulan punya anak gadis, pasti bisa akrab sama kamu, Nduk."
"Iya, Bude. Nanti aku ajak pak Len kemari lagi pas waktu senggang."
"Iya sudah. Salam sama mamamu, Le. Bilang ke dia, kirimin Bude kue atau apa gitu. Haduh, kalau nggak diminta pasti lupa terus," gerutu Bude Mir.
"Nggih. Nanti Lendra sampaikan ke mama. Kami pamit dulu, Bude."
Setelah berpamitan dengan melewati banyak drama, Lendra menghela nafas ketika sudah melajukan mobilnya menjauh dari rumah sang bude. Ayunda cekikikan. Ia baru tahu kalau bude Mir adalah wanita cerewet tapi menyenangkan. Bercerita kepada bude Mir enaknya lama-lama.
"Kenapa Pak?"
"Bude saya memang bawel orangnya. Jangan dimasukin ke hati kalau ada omongan yang sepat, ya."
"Bude Mir malah seru banget orangnya, Pak. Easy going kalau bahasa gaulnya," kekehnya geli.
"Mungkin menyesal menua."
"Heh!" Plak! Ayunda memukul lengan Lendra sambil melotot. Yang dipukul meringis. Pukulan Ayunda terasa pedas di kulitnya. "Sama bude sendiri kok gitu."
"Kenyataannya, Sayang."
"Jadi mau makan?"
Lendra mengangguk. Ia menatap Ayunda dengan sebelah alis terangkat.
"Apa?" Ayunda bertanya dengan nada heran.
"Makan kamu boleh?"
"Pak Lendra kanibal!" pekik Ayunda gemas. Ia mencubit pinggang Lendra hingga mobil sedikit oleng.
"Astaghfirullah. Jangan begitu lagi, ya, Sayang. Saya sedang menyetir ini. Bahaya."
Ayunda tampak syok. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Hampir saja mereka celaka akibat spontanitas yang ia lakukan barusan. Lendra mengulurkan tangan untuk mengelus kepala gadisnya itu.
"Nggak apa-apa. Kita makan dulu. Udah jangan begitu."
"Maaf," cicitnya.
"Sayang ...."
"Iya." Ayunda menghapus air matanya. Ia duduk dengan tenang. Tangannya menggenggam erat tangan kiri Lendra hingga akhirnya mereka tiba di rumah makan.
"Coba sini," suruh Lendra setelah mematikan mesin mobil yang berada di parkiran. Ayunda sedikit mendekat, lalu kepalanya ditarik Lendra. Sebuah kecupan hangat mendarat di keningnya. Lima detik, lalu rona merah itu berhasil membuat Lendra yang melihatnya terkekeh geli.
"Malu ...," rengek Ayunda.
.
.
.
.
Tbc.Hufft. Jomblo dilarang iri 👻
KAMU SEDANG MEMBACA
Status Kita Apa?
Romance"Saya memang tampan sejak lahir," ucap Lendra percaya diri. Kali ini Ayunda yang mendengkus. "Iyalah. Dosen Akuntansi mah bebas. Satu tambah satu belum tentu jadi dua." Lendra terkekeh. "Bisa jadi dua kalau di dalamnya ada kamu dan saya." ---sekila...