Part 14

1.4K 85 0
                                    

Ayunda mendengar ribut-ribut berasal dari luar yang membuat tidur sorenya terganggu. Ia baru saja memejamkan mata sekitar dua jam yang lalu setelah pulang kuliah. Ayunda melirik jam dinding yang sudah menunjukkan angka 5 sore. Ayunda merenggangkan sendinya yang terasa pegal akibat tertindih tidur hanya sebelah saja. Setelah merasa enak, ia keluar dari kamar. Suara keributan itu semakin jelas saat ia berdiri di depan pintu kamarnya sendiri, lalu datang adiknya Asran dari kamar sebelah.

"Itu pada kenapa?" tanya Ayunda bingung. Asran melipat bibirnya, kemudian mendekati Ayunda dan berbisik tepat di telinga sang kakak.

"Bang Araf dateng."

Sontak kedua mata Ayunda melebar kaget. Ia berlari menuruni tangga agar segera sampai di ruang keluarga. Jantung Ayunda berdegub kencang akibat lari dadakan. Di sana sudah ada kedua orangtuanya, Araf dan juga Om Tante. Ayunda meneguk saliva susah payah.

"Kapan mereka pulang? Om sama tante?" bisik Ayunda yang menyadari jika Asran ikut turun.

"Kayaknya baru aja. Aku cuma ngintip, tapi nggak berani turun."

Ketika Ayunda hendak menghampiri para orangtua dan Araf yang sedang diinterogasi, Asran malah menahan tangan kakaknya. Pemuda berusia 18 tahun itu menggeleng seolah memperingati Ayunda agar tidak ikut campur.

"Ini masalah bang Araf. Kakak nggak usah ikut campur dulu."

"Tapi aku yang tau keadaan Araf, Ran!"

"Kak, mereka bakal urusin itu, kok. Kita liat dulu aja di sini. Kalau Kakak ke sana, yang ada tante malah nyalahin Kakak karena nggak ngabarin tante masalah bang Araf," ucap Asran yang membuat Ayunda mengurungkan niatnya. Mereka sama-sama tahu kalau sang tante orangnya cukup emosional. Perihal Araf yang suka bolos kuliah, minum, dan berkomplot bersama preman cukup menjadi masalah besar.

"Mama dan Papa nggak pernah peduli aku. Kerja, kerja, dan kerja terus yang kalian pikirkan! Pernah, nggak, kalian memikirkan perasaan Araf?! Enggak, kan? Araf kesepian, butuh kalian untuk ngabisin waktu bareng Araf. Araf tau kalau Araf bukan anak kecil lagi. Tapi apa Araf salah bersikap seperti ini sama orangtua sendiri?" Suara Araf yang semula tinggi berubah sendu dan lemah. Matanya sampai memerah akibat gejolak emosi yang baru saja ia lampiaskan di hadapan orangtuanya sendiri.

Orangtua Ayunda dan Asran akhirnya membuka suara. Sebagai kakak, mereka pun perlu memberi nasehat untuk adik mereka yang lalai menjalani kewajiban sebagai orangtua bagi anak. Araf memang anak tunggal, jadi wajar saja ia sering merasa sepi.

"Abang sebagai abang iparmu, Selina, cobalah untuk mengurangi waktu kerja kamu. Abang tau, kalian bekerja untuk kebutuhan Araf juga. Tapi kalau memaksa menghabiskan semua waktu kalian hanya untuk kerja, ya percuma. Anak itu perlu dukungan, perlu orangtua yang mendengar mereka. Kalau Araf bersikap seperti ini, itu akibat kalian yang lalai dan terlalu senang dengan dunia kerja." Wirma menghela nafas. "Kami bertanggungjawab atas Araf hanya sebatas memperhatikan dia untuk kuliah. Selain itu, harusnya kalian yang berperan."

Selina selaku mama dari Araf menunduk sedih. Sementara suaminya, Radi menatap putra tunggalnya dengan raut bersalah.

"Mama minta maaf, Sayang," ucap Selina sembari beringsut mendekati putranya. Araf tak bergeming meski sang mama memeluk dirinya sambil terisak. "Maafkan kami, Nak. Maaf."

"Bang, kami memang salah. Maaf udah merepotkan Abang sama Kak Jihan tentang masalah Araf." Kali ini Radi buka suara. Jihan tersenyum maklum.

"Nggak apa-apa, Dek. Araf udah kami anggap kayak anak sendiri. Kami nggak masalah kok ngurusin Araf. Lagi pula, Ayunda dan Asran ada temennya juga."

"Aku malu, Kak," gumam Radi. Sebagai adik ipar, Radi malu. Ia sangat merepotkan kakak iparnya sendiri.

"Alhamdulillah kalau masalah ini udah selesai. Buat Araf, Sayang." Jihan menatap Araf. "Maafin mereka, ya, Nak? Wak tau kalau kamu masih kesel, tapi biar gimana pun, mereka orangtuamu. InshaAllah, mereka bisa mengatur waktu untuk memperhatikan kamu, Nak."

Araf tersentuh. Andai ibunya seperti Jihan, mungkin Araf akan menjadi anak paling penurut tanpa harus bersikap menyebalkan seperti kemarin.

"Makasih Wak udah nerima Araf waktu mama dan papa pergi kerja."

"Sama-sama, Sayang."

Sebagai penonton di balik layar, Ayunda tersenyum senang. Akhirnya masalah Araf selesai dengan damai. Ia merasa lega sekarang.

"Tuh, kan? Aku bilang juga apa. Masalah mereka bakal selesai, kok," celetuk Asran tersenyum sombong.

"Iya, deh! Kamu bener."

Asran terkekeh. Ia tersenyum jahil pada sang kakak yang menimbulkan kecurigaan pada Ayunda.

"Anyway, Kakak pacaran sama siapa sekarang?"

"Anak kecil jangan ikut campur, deh!"

"Aku udah 18 tahun, loh. Udah punya KTP pula. Selepas putus dari bang Dimas, masa iya masih jomblo?" godanya masih berlangsung. Ayunda mendengkus. Adiknya ini menyebalkan sekali. Hanya Asran yang tahu kalau Ayunda sudah putus dari Dimas. Namun Asran belum tahu kalau Ayunda sudah punya gandengan lain yang usianya pun lumayan berjarak.

"Nggak usah kepo."

"Gitu, ya sekarang? Suka sembunyi-sembunyi setelah putus, nih?"

"Kamu pengen tau aja. Aku juga nggak tau statusku apa sama dia sekarang," balas Ayunda kesal. Ayunda membuka kulkas dan mengambil es krim. Asran masih mengintil sampai ke dapur. Pemuda itu menopang wajahnya dengan tangan yang diletakkan di meja makan.

"Berarti udah punya, dong? Siapa? Kenalinlah. Masa aku nggak boleh tau," desak Asran semakin penasaran.

"Nanti kamu kaget."

"Emang pacarmu mummy? Hulk atau vampire?"

"Kamu tau Chris Evans, kan?" Pertanyaan itu dijawab anggukan oleh Asran. "Itu pacarku!" serunya.

Asran menatap Ayunda begitu malas. Kakaknya tertawa geli.

"Bodo, ah!"

"Yah, penonton kecewa ...," ejeknya.

.
.
.
.
.
Tbc.

Status Kita Apa? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang