Part 21

1.3K 84 0
                                    

Sejak kemarin, panggilan Ayunda tidak diangkat oleh Lendra. Sepanjang malam suntuk, Ayunda merenung di kamar ditemani hembusan angin yang berasal dari kipas tidak jauh dari ranjangnya. Kalau Lendra sudah memaafkan dirinya, tapi kenapa semua pesan dan panggilan telepon darinya malah diabaikan. Perasaan Ayunda pun menjadi campur aduk, antara merasa bersalah sekaligus kesal.

Dan pagi ini, ia memutuskan untuk mendatangi rumah Lendra pagi-pagi. Ia juga sudah menyiapkan bekal berupa roti sandwich buatannya, serta sekotak susu coklat. Kalau Lendra tidak suka susu itu, biar saja ia yang minum, asal bisa bersama Lendra.

Akan tetapi, malang sungguh nasib seorang Ayunda. Niat ingin mengajak Lendra berbaikan, rumah tempat Lendra bersemayam malah kosong. Sepi melompong!

Ayunda terpaku di depan pintu masuk yang terkunci. Ia pun menghela nafas sesak ingin menangis.

"Pak Len, kok, jahat?" gumam Ayunda dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Ia menatap kotak bekal di tangannya itu dengan nanar. Tanpa dicegah, luncuran likuid bening itu mengalir di pipi. Ayunda pun berjalan lesu. Mungkin nanti sore ia akan kembali ke sini lagi.

Ketika akan menstater motornya, ponselnya berdering nyaring di saku cardigan-nya. Berharap bahwa itu adalah panggilan dari Lendra, tapi nyatanya tidak. Panggilan itu dari Denada.

"Halo, De."

"Di mana? Kelas pak Ul udah mau mulai, nih!"

"Hah?! Astaga! Aku meluncur!" jawabnya panik.

"Eh, hati-hati. Awas-"

Tut!

Ah, sial! Ia lupa bahwa punya jam pagi di kelas pak Ul. Dosen paruh baya yang suka membawa sticky note itu adalah dosen paling Ayunda tidak sukai. Pasalnya, jika ada mahasiswa yang terlambat datang meski satu menit saja, akan disuruh tutup pintu dari luar. Bahaya! Ayunda pun memacu gas motornya. Ia mengeluh dari balik helm ketika lampu merah menghadangnya. Ayunda gelisah. Jarinya mengetuk-ngetuk rem motor dengan mata mengawasi tiap angka pada lampu lalu lintas yang beberapa detik akan usai.

Lampu hijau menyala. Ayunda memacu lebih kencang hingga menyalip beberapa kendaraan yang ada di depan, samping kanan kirinya. Ia benar-benar gila membawa kecepatan motor. Ia pun mendapat omelan dari bunyi klakson motor dan mobil akibat aksinya itu. Namun ia menulikan telinga. Tidak butuh waktu lama, Ayunda sampai di kampus. Memarkirkan motornya, Ayunda berlari kencang menuju kelas. Peluh bercucuran di kening hingga leher. Ayunda terus berlari hingga ia tidak memperhatikan ada lubang di depannya. Dan semua terjadi begitu saja. Kaki kanannya masuk lubang dan membuat Ayunda jatuh telungkup.

"Aaaa! Sakit!" Ayunda meringis. Celana jeans-nya kotor terkena debu. Sekitarnya sepi dan entah harus bersyukur atau tidak. Saat ia mengangkat kaki kanannya, Ayunda merasakan ngilu luar biasa. Ia menggigit bibir bawah untuk menahan sakit.

"Ay?" Seseorang memanggil namanya. Ayunda yang sudah hampir menangis pun menoleh cepat dan mendapati Diza berjongkok di dekatnya. "Kakimu kenapa?" Diza melirik kaki Ayunda yang bahkan posisi gadis itu belum berubah.

"Jatuh," balasnya pelan.

"Aku bantu, ya?" Belum mendapat persetujuan dari Ayunda atas tawaran itu, Diza sudah lebih dulu menggendong Ayunda. Mau tidak mau, Ayunda berpegangan pada leher dan bahu Diza. Ia dibawa menepi dari lubang.

"Kok bisa jatuh?" Diza mendudukkan Ayunda di kursi besi, sedangkan Diza berjongkok di depan Ayunda. Pria itu pun mengangkat kaki kanan Ayunda berniat mengeceknya.

"Eh, jangan! Kakiku nggak apa-apa, kok!" cegah Ayunda saat Diza akan membuka tali sepatunya.

"Nggak apa-apa tapi meringis gini. Jangan sok kuat deh."

Status Kita Apa? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang