Lendra terkejut karena mamanya dan Livina sudah datang. Ditambah lagi Ayunda mengintil di belakang disertai raut canggung yang belum bisa dikendalikan oleh gadis itu. Lendra memperhatikan gerak-gerik tiga perempuan yang ada di kamarnya saat ini.
"Baru dateng, Ma?"
"Iya, baru banget. Kamu nggak pernah cerita punya pacar, Len?" tuding Karana gemas. Lendra melirik Ayunda yang menunduk di ujung ranjang sana.
"Mas gitu, ih. Padahal kak Ayunda cantik, loh. Kok disembunyikan?" Kali ini Livina ikut andil menginterogasi sang kakak ketiga. Lendra memijat pangkal hidungnya yang tambah pening. Ia sedang sakit dan ditodong pertanyaan begini?
"Nanti Lendra jelasin. Aku lapar," sela Lendra. Livina tidak puas. Gadis itu menyeret Ayunda menuju sofa di kamar tersebut. Lendra masih makan disuapi oleh Karana sambil berbincang.
"Kakak udah kerja atau masih kuliah?"
"Aku masih kuliah. Sekarang semester 6."
"Jurusan apa, Kak? Tapi Kakak keliatan masih seumuran aku, loh!" Livina terkikik. Ayunda meringis. Wajahnya yang kelewatan seperti anak kecil atau Livina saja yang sok tahu?
"Sastra Indonesia. Kalau kamu gimana?"
"Anak sastra ternyata. Aku, sih, masih sekolah. Udah kelas 11 sekarang. Oh, ya. Kakak suka drakor apa?"
Dan terjadilah perbincangan panjang di antara keduanya mengenai drama korea terbaru yang sedang booming. Livina merasakan ketertarikan saat melihat Ayunda. Maksudnya, Livina merasa nyaman. Ia punya Bigaila sebagai kakak perempuan, tapi wanita itu sibuk dan sudah jarang bisa diajak berbincang seperti ini.
Tidak terasa hari semakin larut. Awan-awan kelabu bergerak pelan tertiup angin di atas sana. Rona jingga di kaki langit pun mulai bergegas untuk kembali istirahat dan mengalihkan tugasnya pada sang rembulan malam.
"Kalau gitu Mama pulang dulu. Obatnya jangan lupa diminum rutin. Kamu juga harus minum vitamin, loh!" pesan Karana yang bersiap untuk pulang.
"Iya, Ma."
"Ayo, Liv. Papa udah di rumah katanya. Papa titip salam aja ke kamu. Besok kalau masih nggak enak badan, istirahat aja di rumah. Cuti dulu ngajarnya."
"Iya, Mama ...," sahut Lendra sabar. Karana dalam mode ibu-ibu yang cemas terhadap anaknya yang sedang sakit. Padahal Lendra sudah merasa baikan setelah makan dan minum obat barusan. Besok pun ia bisa mengajar lagi.
"Nak Ayunda, tolong bantu Tante jagain Lendra, ya. Tante sama Livi pulang dulu."
"Siap, Tante! Aku jagain pak Lendra, kok."
"Baiknya calon mantu."
"Ma ...." Lendra menyela. Karana menghela nafas. Ayunda mengantar Karana dan Livi sampai pintu depan.
"Maafin sikap Lendra yang gitu, ya, Nak? Anak Tante yang satu itu emang kalemnya kelewatan. Jadi sabar-sabar aja," kata Karana sebelum pamit.
Kalem? Padahal aslinya Lendra itu ulung sekali berkata manis tanpa sadar. Huh, hanya Ayunda yang tahu!
"Enggak, kok, Tante. Pak Lendra baik sama aku."
"Liv, cocok udah jadi mantu Mama, kan?"
Livina mengacungkan dua ibu jari pertanda setuju. Lalu mereka tertawa kecuali Ayunda yang malu kucing. Akhirnya komplotan ibu dan anak tersebut pulang. Ayunda menyandarkan tubuhnya di pintu yang sudah ditutup. Ia pun berjalan ke kamar Lendra dengan wajah cemberut.
"Bapak nggak bilang kalau tante Karana kemari!" sungutnya.
"Tadi saya sudah mau bilang waktu kamu mau buat bubur, tapi disela terus."
"Ih! Aku kaget. Tiba-tiba gitu, Pak. Apalagi tante Karana sampai anggap aku calon mantu, loh!"
Lendra memperbaiki letak kacamatanya. "Kamu tidak mau menikah dengan saya memang?"
Ayunda kicep!
"Masalah seperti ini kamu perbesar. Lagi pula, kamu akan kenal mereka, Ay. Jadi apa salahnya?"
"Bapak nggak ngerti! Ketemu keluarga pihak laki-laki butuh waktu yang pas supaya mentalnya kuat. Kalau tante Karana tipe orangtua yang mementingkan bibit, bebet, dan bobot seseorang, aku yang bakal kecewa, Pak!" sahut Ayunda tidak terima. Lendra bergerak dari posisi bersandar. Ia mengenakan sandal jepit yang berada di bawah ranjang. Pria itu mendekati Ayunda yang sedang bersedekap dada.
"Maaf," gumam Lendra agar perdebatan ini tuntas. "Saya pikir kamu akan senang. Melihat adik saya, Livina, pun menyukai kamu. Begitu pun kamu, Ay."
Permintaan maaf Lendra meluluhkan kekesalan Ayunda. Ia menunduk menyesali sifatnya barusan.
"Aku yang minta maaf, Pak. Harusnya aku nggak repotin hal kecil kayak gini. Bapak juga lagi sakit, kan jadi tambah pusing pasti."
Lendra menaikkan dagu Ayunda. Kedua mata mereka saling bertemu. Ternyata Lendra sudah melepas kacamatanya. Pria itu tetap tampan meski wajahnya masih sedikit pucat.
"Saya sayang kamu, apa tidak cukup untuk saat ini?"
Mata Ayunda mengerjap cepat.
"Saya bukan pria romantis, Ayunda. Kamu sudah tahu itu, kan? Saya lebih baik bertindak langsung daripada mengumbar kata. Kalau kamu merasa tidak nyaman dengan sikap saya, kasih tahu saya. Jangan sungkan menegur saya, ya?"
"Usia kita jauh, Pak. Jadi aku tetap sungkan meskipun aku tau udah sayang sama Bapak."
"Saya tahu ini pertama kalinya buat kamu. Ketemu saya dengan usia yang berjarak. Tapi Ayunda, saya tertarik sama kamu."
Lendra jujur dalam bicara. Ia tidak ingin Ayunda berubah pikiran hanya karena usia mereka yang terpaut sekitar 8 tahun. Lendra terkadang takut jika Ayunda memilih pria lain yang masih muda darinya. Karena Lendra pernah ada di posisi Ayunda. Di usia dua puluhan awal, rasa bosan dan ingin coba-coba terasa kuat.
"Bapak udah cinta sama aku atau belum?"
Lendra tersenyum tipis. "Witing tresno jalaran suko kulino." Pria itu membalas dengan pepatah khas Jawa. Ayunda pun tahu artinya.
"Gitu, ya."
"Saya minta maaf jika belum mencintai kamu dengan baik. Tapi saya berjanji akan membuat kamu bahagia sebisa saya. Jika cinta bisa datang karena terbiasa dan kebersamaan, saya tidak akan mengelak. Saya sayang kamu, Ayunda. Malah saya takut kamu bosan dengan saya."
Ayunda menggeleng. Ia tidak setuju dengan kata 'bosan' itu.
"Harusnya aku yang takut, Pak. Bapak ganteng, mapan pula. Incaran perempuan-perempuan di luar sana. Apalah aku yang cuma perempuan biasa aja. Nggak sebanding sama mereka kalau kita disandingkan." Ayunda merendah.
"Kamu cantik dengan diri kamu, Sayang. Saya tidak peduli cemoohan orang karena kita yang menjalani."
Ayunda tersipu. Jahilnya muncul seketika.
"Ini yang bilangnya nggak bisa berkata romantis? Dari tadi manis banget omongannya ngalahin gula. Semut aja iri!"
Lendra terkekeh. Ia menarik Ayunda dalam pelukan hangat. Mungkin ini lebih baik ketimbang terus berdebat tentang hal yang berujung emosi.
"Terkadang sifat saya yang berubah hanya karena di dekat kamu." Bisikan itu melepas tawa Ayunda yang renyah. Ia membalas pelukan Lendra yang nyaman. Nyaman sekali hingga ia ingin tidur saja sambil memeluk pria itu.
"Jadi guling saya, Pak, biar bisa saya peluk terus."
"Mau coba sekarang?" goda Lendra.
"Hei!"
.
.
.
.
.
Tbc.Kira-kira nama yang cocok buat pasangan ini apa, ya?
AyLen?
Atau....
Pasangan belum punya status?
Haha. Pilihan kedua oke, tapi panjang amat.
Bye bye....
🐣
KAMU SEDANG MEMBACA
Status Kita Apa?
Romance"Saya memang tampan sejak lahir," ucap Lendra percaya diri. Kali ini Ayunda yang mendengkus. "Iyalah. Dosen Akuntansi mah bebas. Satu tambah satu belum tentu jadi dua." Lendra terkekeh. "Bisa jadi dua kalau di dalamnya ada kamu dan saya." ---sekila...