Part 9

1.7K 96 1
                                    

Nikmati part ini dengan mood yang baik, ya.

Have a great day gaes!

****

Lendra menyeruput kopi hitamnya dengan santai. Pagi ini, ia sedang berkunjung ke rumah sang mama sebelum nanti berangkat ke kampus. Mendadak Lendra kangen rumah. Ia juga rindu masakan mamanya, terutama nasi goreng dengan campuran suwiran ayam goreng di atasnya. Sepuluh menit lalu, ia baru saja selesai sarapan bersama kedua orangtua serta Livina yang sekarang adiknya sudah pergi sekolah.

Lendra berada di teras rumah bersama papa. Sudah lama mereka jarang mengobrol bersama di pagi hari seperti sekarang. Anak-anak yang dulu sang papa urus, kini sudah berpencar mencari rezeki dan punya rumah sendiri. Bagisa yang notabene berprofesi sebagai arsitek lumayan sibuk mengerjakan tugasnya. Bigaila si akuntan sudah kembali bekerja di Bali. Sementara itu, Lendra menjadi dosen memilih tinggal di rumah sendiri. Hanya anak paling bungsu yang bisa sang papa pantau.

"Rasanya Papa rindu masa-masa kita sering kumpul di teras pagi atau sore. Waktu kalian kecil dulu, rumah selalu ramai sama perdebatan kalian. Yang satu rebutan mainan, satunya jahilin saudara, satu diem terus." Pria bernama Mahardika itu tersenyum ketika menerawang masa lalu bersama keributan keempat anaknya. Wajah yang mulai menua tampak terlihat, tapi tetap terlihat gagah di usia setengah abad lebih.

Lendra tersenyum tipis mendengar cerita papanya.

"Apalagi kamu, Len. Sifatmu kayak Papa. Kalem anaknya. Sementara dua kakakmu, cerewet iya. Persis banget kayak mamamu. Beda halnya Livina. Dia ada kalemnya, cerewet, sama kelewatan manja. Mirip mama dari segi wajah. Gen mama emang kuat daripada papa," sambung Mahardika disertai tawa kecil kali ini.

"Len?"

"Iya, Pa."

"Kalau cari istri jangan terlalu pemilih, ya, Nak. Meskipun istrimu banyak kekurangan, kamu bisa melengkapi kekurangannya. Yang penting, istrimu bisa menerima kamu. Susah senang bersama."

Lendra tertunduk. Ia juga berpikiran sama. Lendra tidak begitu memusingkan kriteria ideal mencari calon istri. Tidak bisa memasak pun tidak jadi masalah besar. Memasak bisa dilakukan melalui belajar lebih dulu.

"InshaAllah, Pa. Semoga bisa dapat."

Mahardika menghela nafas. "Kami sebagai orang tua di usia segini cuma mau menikmati hari tua sama cucu. Semoga kalian cepat menikah. Bagisa udah punya calon, Bigaila katanya masih pendekatan, lalu kamu gimana Len?"

Lendra tertawa. Mahardika jadi bingung.

"Papa ngebet ya semua anaknya harus menikah? Mas Agi bisa duluan, Pa."

"Kalau kamu udah ada jodohnya, duluan juga bukan masalah. Ngelangkahi masnya bukan hal yang disalahkan. Mengikat perempuan menjadi pasangan halal lebih bagus disegerakan."

Lendra menggaruk hidungnya. Ia tidak begitu nyaman jika membahas ini terlalu jauh. Apalagi statusnya belum punya pasangan. Jadi serasa agak janggal.

"Pa, kayaknya Lendra harus ke kampus sekarang," ucap Lendra berniat menyudahi topik pagi ini. Mahardika yang paham sifat putranya hanya mengulum senyum tipis. Ia tidak menahan Lendra saat akan pergi.

"Ya sudah. Jangan terlalu lelah. Apalagi di rumah nggak ada orang. Kalau butuh sesuatu, telpon mamamu aja."

"Iya, Pa. Lendra jaga kesehatan, kok. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam. Hati-hati, Nak."

****

Semilir angin alami sangat menyegarkan. Di depan fakultas ada tempat duduk terbuat dari beton berbentuk panjang dan satu meja bulat dari beton juga. Ayunda dan Denada sedang streaming youtube. Mumpung di area tersebut sambungan wifi lumayan kencang. Harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin tentu saja.

Status Kita Apa? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang