Part 13

1.5K 88 2
                                    

Ayunda tiba di rumah pada pukul 3 sore. Harusnya ia sudah leha-leha di rumah sejak pukul 1 tadi. Hanya saja, Denada menyeret Ayunda untuk pergi belanja yang menghabiskan waktu selama 2 jam penuh. Gila! Denada sedang kesal, jadi kekesalan gadis itu dilampiaskan pada barang diskon yang memanjakan mata. Memang, sih, Ayunda mendapat traktiran kaus oblong dan makan siang ples es krim. Tapi, ya, pegal juga kalau memaksa kaki berjalan ke sana kemari. Apalagi, hari ini Ayunda sedang dalam masa bulanan. Hari pertama pula. Habislah pinggangnya pegal luar biasa sekarang.

Ayunda menutup garasi separuh. Ia berjalan ke pintu masuk. Wajahnya kucel, rambutnya awut-awutan. Sudah seperti zombie kalau dilihat lagi. Ayunda tidak mendapati keberadaan penghuni rumah sore ini. Ingin mencari tapi malas. Ia gerah dan harus mandi. Ayunda pun mulai merasakan bagian perut bawahnya keram. Ini pasti efek haid pertama dan lupa minum obat. Sebelum ia tewas di kasur akibat sibuk menahan sakit, Ayunda memilih membersihkan diri lebih dulu. Ia masuk ke kamar mandi dan menguncinya. Sudah kebiasaan, meski tidak mungkin ada yang masuk, tetap saja Ayunda menjaga privasi saat mendekam di kamar mandi.

Ayunda menyalakan shower hingga air dingin membasahi seluruh tubuhnya. Membuatnya agak rileks dan melepas segala penat yang sempat mendera. Menghabiskan waktu lima belas menit, ia pun selesai mandi. Ayunda berjalan ke lemari, lalu mengambil jeans selutut dan kaus oversize putih sebagai pakaian sederhana di rumah. Ayunda mulai tidak nyaman dengan keram perutnya. Ia menuju laci di samping tempat tidur. Tangannya mencari obat pereda nyeri haid. Tidak menemukan satu pun obat, Ayunda mengerang kesal. Ia baru ingat kalau obat itu sudah habis sejak bulan lalu. Ia lupa membeli lagi. Alhasil, Ayunda melempar dirinya ke kasur sambil memilin perut yang semakin keram.

Ini menyebalkan. Masa di mana para wanita mendapat tamu bulanan yang berakibat nyeri perut atau pinggang. Ayunda memutar tubuhnya mencari posisi nyaman. Menit-menit berat berlalu. Kening hingga leher mulai bercucuran keringat. Ayunda merasakan mual. Efeknya semenyakitkan ini. Ayunda tidak tahan lagi. Ia pun berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya di wastafel. Ia sampai mengeluarkan air mata. Setelah mencuci mulut, Ayunda menelpon sang mama. Namun sayang sekali, mamanya sedang pergi bersama papa dan adiknya dan pulang setelah isya. Ayunda menangis saat itu juga. Sang mama pun jadi panik sendiri.

"Ya udah, aku telpon Denada aja kalau gitu," putus Ayunda pasrah.

"Maaf, Sayang. Minta tolong Denada aja, Kak. Nanti pulangnya Mama beliin obatnya kamu."

"Iya, Ma."

Ayunda melempar ponsel di kasur. Ia kesal dan masih menangis. Di saat genting seperti ini, tidak satu pun orang di rumah yang bisa dimintai tolong. Ketika sibuk meratapi kesedihannya itu, ponselnya kembali berdering. Ayunda melirik si penelepon dan segera menggeser opsi hijau di layar.

"Pak ...," lirih Ayunda di sela suara tangisnya.

"Kamu nangis? Kenapa?"

"Sakit ...."

"Ayunda! Bicara yang jelas. Tenangkan diri kamu. Kamu di mana?"

Ayunda pun menceritakan kondisi prihatinnya pada Lendra. Pria itu panik dan berniat datang ke rumah Ayunda untuk mengantarkan obat yang Ayunda butuhkan.

"10 menit. Tunggu saya."

Tut!

Ayunda merebahkan diri lagi. Ia memeluk guling seerat yang ia bisa. Oh, lupa. Ia tidak boleh tidur di kamar. Lendra akan datang. Jadi, Ayunda beranjak ke ruang tamu dengan malas. Kali ini pinggangnya juga pegal. Luar biasa sekali deritanya hari ini.

Ia menyalakan televisi. Benda berbentuk persegi tersebut menampilkan tayangan SpongeBob yang ditonton malas olehnya. Sesekali Ayunda melenguh. Ia merasakan tarikan kuat di bagian perut bawah.

"Jadi cewek susah kayak gini, harusnya cowok itu menghargai, kan?" Ayunda bergumam acak. "Apalagi melahirkan lebih sakit dari ini. Tapi masih aja ada cowok yang selingkuh. Dasar manusia!" lanjutnya mendumel. Ayunda dapat mendengar deru mobil di depan rumah. Lalu gerbang digeser terdengar nyaring. Tak lama kemudian, suara ketukan pintu sebanyak tiga kali terdengar. Ayunda bergerak ke sumber suara.

Di depan pintu, Ayunda mendapati sosok pria dewasa sedang menampilkan raut khawatir.

"Bapak beneran dateng," gumam Ayunda yang malah ikutan berdiri di depan.

"Saya tidak disuruh masuk?" sindir Lendra. Ayunda cengengesan. Ia pun menggeser posisi ke samping dan mempersilakan Lendra. Pintu dibiarkan terbuka lebar. Ayunda menyuruh Lendra duduk di sofa bersamaan dengan dirinya.

"Masih sakit?"

"Banget. Rasanya kayak ditarik ulur. Pinggang serasa dibejek-bejek gitu. Ah, kacaulah!" keluhnya.

Lendra membuka plastik yang berisi obat pereda nyeri haid. Ia memberikannya pada Ayunda.

"Minum ini dulu. Sekalian saya beliin roti. Barangkali kamu mau ngemil."

Sikap Lendra inilah yang membuat Ayunda menjadi baper tingkat atas. Kesannya Lendra cuek, tapi sebenarnya sangat hangat dan perhatian.

"Makasih, Pak." Ayunda mengambil obatnya, lalu menelan dengan air mineral. Biasanya obat itu akan bekerja sekitar lima sampai sepuluh menit setelah diminum. Selama itu pula, Ayunda masih harus menahan nyerinya. Lendra mengusap kening Ayunda akibat peluh. Rambut depan gadis itu sampai lepek.

"Saya sering lihat kakak dan adik perempuan saya seperti ini. Mereka kesakitan juga. Tapi kalian hebat," puji Lendra jujur. Ia tidak heran melihat betapa hebatnya para wanita melewati kenyerian saat bulanan datang. Ayunda yang mendengar itu tak pelak mengulas senyum. Apalagi saat ia menyandarkan kepalanya di paha Lendra sebagai bantalan, dan tangan Lendra membantu memijat bagian pinggang belakang Ayunda.

"Pijatannya lumayan enak. Bapak pernah magang jadi tukang pijat, ya?" celetuk Ayunda. Lendra mendengkus. Ayunda ini tipe perempuan blak-blakan kalau bicara, tapi Lendra tetap sayang. Ah, semenarik itu membahas Ayunda memang. Tidak ada habisnya.

"Iya. Saya dapat sertifikat dengan gelar anak magang tukang pijat terbaik," jawab Lendra menanggapi lelucon Ayunda barusan. Ayunda tertawa geli. Kalau saja Lendra jadi tukang pijat, Ayunda yakin banyak perempuan yang rela antre untuk dilayani pijat oleh Lendra. Ganteng iya, pijatan oke. Sudah ples ples itu.

"Bapak bisa ngelawak juga rupanya."

"Sejak kenal kamu, otak saya agak geser jadi humoris."

"Hidup jangan ambil serius mulu, Pak. Hadirkan humor dalam hidup, dengan begitu dinamika kehidupan akan terasa. Nggak akan monoton. Tapi meski Bapak selera humornya rendah, toh tetap ganteng!"

"Saya memang tampan sejak lahir," ucap Lendra percaya diri. Kali ini Ayunda yang mendengkus.

"Iyalah. Dosen Akuntansi mah bebas. Satu tambah satu belum tentu jadi dua."

Lendra terkekeh. "Bisa jadi dua kalau di dalamnya ada kamu dan saya."

Aw! Ayunda merasakan desiran yang berbeda. Darahnya serasa naik di area pipi dan berubah panas seperti air mendidih. Uh, perumpamaan hiperbola.

"Gombel teros!"

.
.
.
.
Tbc.

🐣

Status Kita Apa? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang