Part 23

1.3K 77 0
                                    

Sebulan kemudian.

Lendra menghela nafas untuk yang kesekian ketika sang mama bolak-balik berteriak kepada Bagisa. Hari ini merupakan hari bersejarah bagi saudara tertuanya itu. Pasalnya Bagisa akan melakukan lamaran setelah sebulan lamanya mempersiapkan segala macam bentuk keperluan acaranya tersebut.

Bagisa berdiri di depan pintu kamar, memakai setelan kemeja berwarna putih. Pria itu menggaruk ujung hidungnya saat Karana menarik-narik bagian kerah pada kemeja yang membalut tubuh tingginya.

"Harus rapi. Dari tadi keluar kamar lama sekali!" omel Karana masih gemas pada kelambatan sang putra memakai pakaian.

"Ya makanya aku lama karena lagi bercermin, Mama ...," keluh Bagisa sembari memberi pelukan singkat pada Karana.

Di sofa sana, sang kepala keluarga tidak jauh berbeda dengan anak ketiga. Hanya menghela nafas berulangkali. Karana paling heboh sendiri mengatur segala pakaian keluarganya itu. Bahkan ia sendiri sampai lupa bersiap-siap.

"Ma, udah itu mas Agi udah rapi. Mama itu yang belum siap-siap," celetuk Bigaila yang baru saja keluar dari arah dapur. Bigaila memakai pakaian berwarna pastel seperti Karana dan Livina. Sementara untuk para pria memakai pakaian putih berupa kemeja. Karana menepuk keningnya seolah menyadari sejak dua jam lalu ia hanya fokus pada suami dan anak-anaknya perihal berpakaian.

"Mama sampai lupa. Ya udah, kalian tunggu sebentar. Mama siap-siap dulu!"

"Lama lagi ...," seloroh Livina memanyunkan bibirnya. Lendra mengulum senyum, lalu ia dekap sang adik sembari melempar kecupan sayang di kepala Livina.

"Len, nak Ayunda ikut nggak?" tanya Mahardika.

Lendra mengangguk. "Ikut. Nanti aku yang jemput di rumahnya."

"Oh iya, pacarmu ya? Aku belum pernah ketemu sama dia. Cantik, nggak?" serobot Bigaila yang sibuk memasang anting.

"Cantik banget, Mbak! Lebih cantik kak Ayunda ketimbang Mbak!" Livina terkekeh saat Ila mendelik padanya.

"Tumben banget muji orang. Biasanya juga anggap dirinya paling cantik," balas Ila.

"Emang bener kok, Mbak. Makanya mamasku kepincut sama kak Ayunda." Semua orang yang sedang berkumpul di ruang tamu seketika menatap Lendra dengan senyum jahil. Lendra hanya memasang wajah super kalem dan tenang, padahal di dalam benak ia sedang menggerutu pada adik kecilnya itu.

Lendra berdehem. "Ayo berangkat!" ajaknya. Ila tertawa geli menyadari reaksi sang adik pertama yang tampak malu-malu.

"Yah ... ngeles mulu, ah!" sindir Livina. Mahardika mencubit pipi Livina agar berhenti menggoda anak ketiganya itu.

"Sudah, sudah. Suka sekali menjahili masnya."

Keluarga Mahardika telah berkumpul di ruang tamu. Karana tampil anggun dengan balutan kebaya senada dengan yang lain. Mereka pun bersiap berangkat ke lokasi lamaran. Kerabat dekat dari pihak Mahardika sudah mengabari jika akan berangkat dan menunggu di pertengahan jalan agar mereka beriringan ke lokasi. Lendra memilih membawa mobil sendiri karena ia akan menjemput Ayunda terlebih dahulu. Sementara itu, yang lain berada di satu mobil yang sama dan Ila sebagai supir pribadi dadakan yang berkebaya.

"Hati-hati menyetirnya, Mbak," pesan Lendra pada Ila sebelum mereka berpisah arah.

"Siap! Jangan lama-lama datang juga kamu. Bawa calonmu biar aku bisa liat."

Lendra mengangguk pelan dan membiarkan mobil hitam itu pergi duluan. Ketika ia memasang kembali seatbelt-nya, satu pesan muncul menghias layar ponselnya.

Ayunda: Pak lagi di mana?

Tunggu saya.
Sedang ke arah rumah kamu.

Ayunda: Hati-hati.

Lendra melajukan mobilnya di jalanan yang tidak begitu ramai. Sembari fokus pada jalanan, Lendra sedang memikirkan sesuatu. Apakah nanti ia akan seperti Agi di hari lamaran? Datang ke rumah si calon istri, membawa pasukan dan hantaran lamaran, lalu mengutarakan niat baik di hadapan sang calon mertua? Ah, rasanya itu seperti momen yang sulit dijabarkan. Terlalu indah tapi juga tegang.

Akhirnya ia sampai di rumah keluarga Wirma. Lendra mendapati gerbang yang terbuka lebar, tapi ia memilih tidak memasukkan mobil ke dalam. Hanya dirinya yang turun dan menghampiri Ayunda dan kedua orangtua gadis itu.

"Assalamualaikum, Pak, Bu," ucapnya sembari mencium punggung tangan mereka.

"Waalaikumsalam. Yang ditunggu sudah datang," kata Wirma sembari melirik putri sulungnya tersebut.

"Maaf saya lama. Tadi harus siap-siap terlebih dahulu."

"Nggak apa-apa, Nak. Malahan anak saya ini paling heboh sendiri."

"Papa apaan, sih!" rajuk Ayunda karena malu menyerang. Lendra tersenyum tipis. Jihan yang berdiri di samping putrinya hanya terkekeh.

"Berangkat sana. Nanti ditunggu mereka," suruh Jihan mengurai kejahilan sang suami.

"Saya izin bawa Ayunda ya, Pak, Bu."

"Iya, Nak. Asal pulangkan dengan selamat ya."

"Siap, Pak!"

Lendra dan Ayunda berpamitan. Hari ini Ayunda memakai kebaya warna pastel serta membawa sling bag putih yang ukurannya kecil. Ditambah lagi tatanan rambut Ayunda begitu cantik karena disanggul tapi membiarkan beberapa helai rambut jatuh ke wajahnya.

"Kamu cantik," puji Lendra setelah mereka masuk ke mobil. Ayunda menatap Lendra lalu tersenyum malu.

"Makasih. Bapak juga."

"Apa? Saya cantik?"

"Bukan. Maksudku ganteng."

"Oh, jelas!"

"Mulai narsis!" Ayunda memutar bola matanya gemas. Lendra terkekeh geli.

"Tapi serius, Sayang. Kamu cantik banget. Berasa seperti kita yang akan lamaran."

Haduh. Ayunda tidak bisa berkata apa-apa. Ucapan Lendra itu loh membuatnya tersipu malu. Astaga! Pria ini mulutnya kelewat manis saja.

"Udah, ah! Buruan jalan!"

"Jalan ke KUA, ya."

"Mas!"

Tawa Lendra pecah saat itu juga. Hatinya pun menghangat ketika ia mendengar sebutan 'mas' dari gadisnya.

"Panggil saya dengan panggilan itu mulai sekarang."

"Apa?"

"Ayunda, kamu pasti tau maksud saya."

"Oh. Mas?"

"Apa, Sayang?"

"Eh? Aku nggak manggil loh!"

"Bawel, ah!"

Ayunda tertawa. Melihat wajah sebal Lendra entah kenapa ingin ia cubit. Lucu sekali.

"Mana tangan kamu?" pinta Lendra menyodorkan sebelah tangannya kepada Ayunda. Gadis itu menaruh tangannya di atas tangan Lendra, lalu jemari mereka saling bertautan. Ayunda mengulum senyum gemas. Ia suka tangan Lendra yang kekar, pun jemarinya lentik sekali. Ukuran tangan yang berbeda itu berhasil menenggelamkan tangannya yang kecil. Hangat dan pas.

"Saya tau kamu suka tangan saya," celetuk Lendra tiba-tiba.

"Aku potong terus kubawa pulang boleh, nggak?"

"Daripada kamu potong, mending nikahi saya, dan semua yang di saya menjadi milik kamu."

Blush!

No komen. Ini terlalu vulgar bagi Ayunda.

.
.
.
.
Tbc

Status Kita Apa? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang