Part 28

1.4K 71 0
                                    

Bahagia itu sederhana, bahkan sangat sederhana. Tidak perlu dilimpahi banyak materi walau nyatanya terkadang materi itu menutupi sebagian kebutuhan kehidupan manusia. Namun bagi Ayunda, kehadiran Lendra yang tidak terduga mampu menyembuhkan kekecewaan hatinya dalam hal percintaan. Ayunda tahu ini hal yang terbilang sangat kekanak-kanakan. Akan tetapi, setiap hal yang menyangkut sosok Lendra Mahardika sangat menarik untuk dibahas. Ayunda jatuh pada sikap hangat Lendra. Ayunda jatuh pada kenyataan bahwa ia menginginkan Lendra menjadi seseorang yang bisa ia jadikan sandaran selain orangtuanya. Ayunda tidak pernah berharap lebih pada siapa pun perihal ini, tapi satu keinginan yang ingin bisa diwujudkan adalah bertakdir bersama Lendra.

Ayunda tersenyum ketika sibuk memperhatikan foto dirinya dan Lendra pada galeri ponsel. Foto hasil jepretan orang yang tidak dikenal mencetak sepasang insan sedang menikmati hamparan mega kuning kemerahan di ujung cakrawala. Foto yang diambil sebulan lalu tepatnya saat mereka jalan-jalan di pantai. Ayunda menghela nafas, lalu memejamkan matanya sejenak. Menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi, Ayunda mencoba meresapi segala hal baik dan buruk yang terjadi belakangan ini. Ada satu hal yang mengganggu pikirannya adalah kedatangan Dimas yang belum kapok setelah kejadian pertengkaran tempo hari. Dua hari lalu, Dimas mendatangi kampus tempat Ayunda kuliah. Pria itu memakai mobil putih sedang bersandar di kap depan mobil. Ayunda kepalang tanggung keluar dari gerbang sampai Dimas memaksanya masuk ke mobil karena waktu itu Ayunda tidak sedang membawa kendaraan.

Hari itu adalah hari terburuk bertemu Dimas dengan sifat yang sangat berbeda. Dimas muncul lebih memaksa dari sebelumnya, selalu bertingkah penuh intimidasi saat bicara sekalipun. Dan satu hal yang terpikir adalah ancaman seorang Dimas Graha. Pria itu mengancam akan meneror habis-habisan ketenangan Lendra jika Ayunda tidak kembali padanya. Dan sudah dapat dipastikan oleh siapa pun bahwa Dimas berada di tahap obsesi.

Ayunda memijat pelipisnya yang mendadak berdenyut nyeri. Ia kehabisan cara untuk lari sejauh yang ia bisa dari jangkauan Dimas. Sebenarnya Dimas tahu tempat tinggal Ayunda, tetapi pria itu mungkin berpikir jika menyudutkan Ayunda di lingkungan terdekat akan cukup sulit karena Ayunda mendapat perlindungan dari keluarganya. Untuk itulah, setiap ada kesempatan, maka Dimas akan menguntit Ayunda di luar rumah. Ketika pikiran itu memenuhi kepalanya, suara ketukan sebanyak tiga kali terdengar dari luar kamar, lalu disusul suara knop diputar hingga nampak Asran di sana. Ayunda menoleh sekilas, kemudian membiarkan Asran masuk ke kamarnya.

Asran meletakkan semangkuk batagor dengan siraman saus kacang serta kecap di atas meja. Pemuda berusia 18 tahun itu menarik kursi kosong di samping Ayunda dan memperhatikan kakak satu-satunya.

"Kenapa?" tanya Asran membuka obrolan. Wajah Ayunda terlihat lelah dan itu membuat Asran berpikir aneh-aneh. "Mukanya capek banget. Begadang terus, ya?" cecar Asran lagi. Ayunda menatap sang adik dalam diam. Pada hitungan detik yang cukup berjarak, Ayunda menangis. Asran mendadak panik melihat sang kakak malah menangis tiba-tiba. Ia memegang bahu Ayunda untuk diberi ketenangan.

"Kok nangis, sih? Coba cerita," pinta Asran. Ayunda semakin terisak hingga sesenggukan yang terasa menyakitkan dada. Asran menarik Ayunda dalam pelukan. Ukuran tubuh yang berbeda sangat memudahkan Asran memeluk kakaknya. Jika keluar berdua, mereka dianggap terbalik. Asran disebut sebagai kakak tertua karena tubuhnya tinggi dan cukup pas untuk anak usia 18 tahun.

"Ada yang nyakitin kamu? Pak Lendra yang jahatin kamu?" Dalam pelukan adiknya, Ayunda menggeleng sebagai tanda bahwa bukan Lendra penyebab gejolak emosinya saat ini. "Terus siapa? Kasih tau aku dong."

"Dimas," bisik Ayunda. Raut wajah Asran berubah serius. Ia mendorong tubuh Ayunda agar ada jarak untuk bicara.

"Dimas sialan itu?" ulang Asran menyebut nama mantan kakaknya diiringi nada menggebu kesal. Anggukan dari Ayunda memperjelas semuanya. "Mau apa dia? Dia ngapain kamu?"

Ayunda pun menceritakan kejadian yang ia alami sejak Dimas datang lagi. Sebagai pendengar, Asran diliputi rasa kesal hingga marah. Ia tidak suka ada orang asing mengacau hidup Ayunda apalagi di saat Ayunda sudah bisa lebih baik mengatasi kekecewaan yang sempat ia rasakan. Asran kembali menarik Ayunda untuk dipeluk. Sosok Ayunda bagi Asran adalah segalanya setelah orangtua mereka. Meskipun ia hanya ditakdirkan sebagai adik, tetapi itu sudah lebih dari cukup. Sebagai anak laki-laki, maka Asran sangat bertanggungjawab untuk menjaga Ayunda bahkan terkadang mereka saling menjaga seperti janji di waktu mereka kecil.

Ayunda mencari ketenangan di antara usapan lembut pada punggungnya. Tanpa sadar akibat lelah menangis dan banyak pikiran, Ayunda tertidur dalam posisi bersandar pada Asran. Keheningan terjadi di antara dua bersaudara itu. Asran menunduk untuk melihat kakaknya yang telah terlelap begitu nyenyak. Tidak ingin mengganggu Ayunda, Asran segera memindahkan kakaknya ke tempat tidur, lalu memasang guling di pinggir kasur. Kebiasaan Ayunda ketika tidur adalah harus ada guling, jika tidak, maka ia susah tidur. Atau minimal boneka, asal bisa dipeluk.

"Aku jagain kamu, Kak. Jangan takut," bisik Asran sembari menunduk untuk menyematkan satu kecupan sayang di kening kakaknya. Dengan berat hati, Asran memilih keluar kamar dan membiarkan Ayunda terlelap bersama mimpi yang mungkin lebih menyenangkan.

Asran menuruni undakan tangga dengan langkah santai. Ketika berdiri di undakan terakhir, terdengar suara bel dari luar gerbang. Asran melangkah malas untuk melihat siapa tamu yang datang di siang bolong seperti ini. Di rumah hanya ada dirinya dan Ayunda, sedangkan kedua orangtuanya sedang pergi kondangan. Asran menyipitkan mata saat matahari menerpa tubuhnya. Bayangan dirinya terlihat pendek karena posisi matahari berada di atas kepala. Hanya memakai sendal jepit hitam, Asran membuka gerbang yang digembok besi. Tubuhnya mematung ketika mendapati tamu yang tidak pernah terpikirkan oleh Asran.

Dimas Graha.

Asran mendorong Dimas yang hendak masuk melalui celah gerbang yang sepenuhnya belum terbuka. Dimas yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan itu berdecak kesal.

"Ngapain Abang kemari?" tanya Asran yang sudah berdiri di luar pagar.

"Cari Ayunda. Mana dia?"

"Kurasa udah nggak ada hak lagi buat Abang ganggu kakakku."

"Kamu tau apa, sih?! Aku masih pacar kakakmu, ya!"

"Omong kosong macam apa itu?! Abang nggak usah berlagak seolah kesalahan mencampakkan kakakku adalah hal biasa. Ngotak, Bang! Abang ini siapa, hah? Berani banget ngancem kakakku kayak gitu!" Asran tersulut emosi. Wajahnya mengeras menahan niat untuk memberi bogem mentah untuk Dimas.

"Udah cerita dia? Baguslah. Siapa suruh dia nggak mau balikan sama aku."

Asran menggeleng heran. Dimas yang pernah ia kenal sangat berubah drastis.

"Mending Abang pergi dari sini sebelum terjadi hal yang nggak diinginkan," usir Asran masih berusaha tenang. Dimas menatap Asran dengan sinis.

"Brengsek!" umpat Dimas sambil berbalik ke arah motor yang terparkir di belakangnya. Asran terus memperhatikan Dimas sampai pria itu pergi bersama kecepatan motornya.

"Nggak tau diri!"

.
.
.
Tbc

Status Kita Apa? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang