Jadi dosen itu lelah. Bukan hanya lelah fisik, tapi juga hati. Mendumel ketika ada mahasiswa tidak tahu sopan santun. Masuk kelas asal masuk tanpa ketukan pintu atau ucapan salam hormat. Lendra sudah tidak heran melihat fenomena itu. Beberapa kali ia mendapati mahasiswa brandal yang masuk di jamnya tiba-tiba. Seperti hari ini, dia harus menegur salah satu mahasiswa dengan pakaian yang membuat Lendra sakit mata.
Mereka saling berhadapan hanya dibatasi meja dosen saja. Selepas kelas usai, Lendra menahan mahasiswa tadi agar diam di ruangan. Lagi pula, ruangan ini akan kosong selama waktu tiga puluh menit. Masih bisa ia pakai untuk menasihati si mahasiswa yang merupakan bimbingannya. Pantas saja wajahnya tidak asing.
"Apa masalahmu? Saya perhatikan, sudah hampir sebulan nilai kamu tidak ada bagus-bagusnya di mata kuliah saya," kata Lendra mulai menginterogasi. Mahasiswa bersama Araf itu memasang tampang bosan.
"Males, Pak," jawabnya begitu santai. Seperti tidak ada beban sama sekali. Bahkan ini pertama kalinya Lendra berhadapan langsung dengan bocah yang usianya jauh darinya itu.
"Malas kamu bilang? Lalu untuk apa kamu kuliah kalau akhirnya begini?"
"Ya terpaksa, Pak. Bapak, sih, nggak kenal orangtua saya. Udah otoriter, kerjaannya ke luar kota mulu. Saya pun kuliah diatur terus. Muak saya, Pak!" keluhnya. Oh, baiklah. Lendra mulai menemukan titik terang. Seterang cahaya di kegelapan sebuah kehidupan duniawi.
"Berarti jurusan ini dipaksa juga?" tanya Lendra lagi. Araf mengangguk malas. Sudah diduga, survey membuktikan hampir 90% mahasiswa akan muak jika salah jurusan. Kalau begini, sama saja membuang uang.
Sayang sekali. Orangtua pun terlalu egois, pengatur, dan di balik itu sebenarnya hanya ingin yang terbaik untuk anak mereka. Namun caranya salah.
"Oke, saya paham. Tapi, apa kamu tidak bisa berubah sedikit saja? Setidaknya kamu menyelesaikan studi ini secepat mungkin agar kamu bebas."
"Saya pengen pindah jurusan aja, Pak. Nggak sanggup saya di sini. Berat, capek, pusing liat angka gaib, Pak."
Lendra meringis dalam hati. Anak zaman sekarang maunya mikir gampang. Beda dengannya. Dulu, Lendra harus banting otak untuk menyelesaikan studi hingga S2. Selain itu, mata kuliah yang berat pun ia coba dan akhirnya bisa mendapat manfaat dari semua ilmu yang ia pelajari selama kuliah. Lendra pun sekarang bisa mencapai cita-cita menjadi dosen. Membagi ilmu kepada anak didiknya di kampus.
"Jurusan apa yang kamu mau?"
Araf menatap dosennya itu sebentar, kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain. Ia baru tahu kalau Lendra punya tatapan tajam penuh intimidasi saat bicara dengan orang lain. Sebersit rasa sungkan dibenaknya.
"Musik."
"Musik, ya?" Lendra manggut-manggut. Ia pun mencoba memberi masukan pada Araf. "Kamu bisa mengajukan perpindahan jurusan hingga akhir semester. Tapi sebelum itu, kamu harus berurusan sama bagian akademik. Di sana, kamu akan dibimbing untuk mengurus pengajuan prodi," tambahnya.
"Tapi nggak mungkin, Pak. Yang ada orangtua saya marah nanti. Mereka mah nggak mau dengerin saya, Pak. Belum ngomong aja udah diomelin. Kan, kesel!"
Sebentar. Lendra jadi bertanya-tanya sifat orangtua Araf ini. Tidak mungkin orangtua tidak mau mendengar anaknya mengungkapkan pendapat. Atau jangan-jangan ... Araf bohong?
"Itu opinimu atau fakta?" tuding Lendra. Ada raut gugup di wajah Araf barusan. Lendra pemerhati yang baik, loh. Jadi ia bisa melihat perubahan raut wajah lawan bicaranya. Dan di saat itulah, Araf berkata jujur.
"Maaf, Pak. Saya memang bohong."
Benar, kan?! Lendra menyandarkan tubuh di kursi. "Mau cerita?"
"Emang boleh?" Lendra mengangguk. Ia ingin tahu cerita aslinya supaya Lendra bisa menemukan solusi untuk anak yang nakal ini. "Orangtua saya memang hobi ke luar kota, Pak. Jurusan ini rekomen mereka. Sempat debat alot dulu, tapi kalah karena diancam kalau nggak nurut bakalan dikirim ke luar negeri. Bayanginnya aja ngeri, Pak. Saya mana bisa bahasa Inggris, terus kehidupan di sana takut buat saya nakal dari ini. Mau nggak mau, ya, saya nurut."
"Selain orangtua, siapa yang sering kamu andalkan?"
Araf memilin jemarinya dari balik meja. Ia sedang mengingat seseorang yang selalu memberi Araf perhatian.
"Ada, sepupu saya. Perempuan."
"Baiklah. Saya sudah dapat poin masalah kamu. Jadi, bisa datangkan sepupumu sebagai wali?"
Araf terkejut. Matanya memandang horor pada Lendra yang tampak tenang sekali.
"B-buat apa, Pak?" tanyanya gugup. Oh, jangan bilang kalau Lendra ingin mengadukan pembolosan yang sering ia lakukan? Meskipun sepupu, tapi lumayan galak. Habislah Araf!
Lendra mengulum senyum simpul. "Saya hanya ingin berunding masalah ini. Saya janji tidak akan menjelekkan kamu di depan sepupumu. Bagaimanapun, kamu masih tanggungan saya di sini. Saya memegang nama kamu, Araf."
Bagaimana ini? Araf mendadak putus asa.
"T-tapi, Pak ...," lirihnya.
"Jangan takut. Jadi, bisa kita kerjasama? Saya ingin kamu rajin, Araf. Mungkin melalui walimu, maksud saya sepupumu, kamu bisa dipantau lebih baik. Sayang sekali kalau kamu gagal di semester ini. Sebelum kamu menyesal."
Dan akhirnya seorang Araf menyerah. Ia menyetujui permintaan Lendra untuk membawa sepupunya itu besok ke sini.
"Punya kontak saya, kan?"
"Punya Pak."
"Hubungi saya jika kalian datang. Sekitar pukul 3 sore saya kosong. Di ruangan saya."
"Baik, Pak. Kalau begitu saya izin keluar."
"Silakan." Araf mengulur tangan berniat mencium tangan Lendra. Sebagai dosen dan tertua, Lendra memberikan tangannya. Biasanya yang mencium tangannya adalah Livina atau sepupu dan keponakan termuda jika bertemu. Lendra tipe manusia yang tidak gila hormat. Jika pun bertemu mahasiswa lain, kebanyakan mereka hanya menyapa sambil mengangguk sopan saja. Hanya sesekali mencium tangan.
Ah, alangkah lebih baik jika istrinya yang mencium tangannya dengan takzim. MasyaAllah, Lendra mulai terkontaminasi dengan dorongan mencari calon istri.
"Sabar ya, tangan. Nanti kalau udah ketemu jodoh, kamu bakal dikasih ciuman sayang sama dia. Bukan cuma tangan, tapi bibir juga," gumamnya berkhayal. Ah, Lendra butuh air! His mind is dirty.
........
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Status Kita Apa?
Romance"Saya memang tampan sejak lahir," ucap Lendra percaya diri. Kali ini Ayunda yang mendengkus. "Iyalah. Dosen Akuntansi mah bebas. Satu tambah satu belum tentu jadi dua." Lendra terkekeh. "Bisa jadi dua kalau di dalamnya ada kamu dan saya." ---sekila...