Jujur itu mahal. Maka, kunci utama sebuah hubungan yaitu jujurlah apa pun alasannya meski kemarahan yang akan diterima.
***
Lendra berulang kali menelpon nomor Ayunda, tapi sayang di detik berikutnya malah tidak aktif. Lendra baru saja pulang dari kampus. Wajah lelahnya tidak bisa ia sembunyikan dengan baik meski secangkir kopi telah kandas ia minum beberapa menit lalu. Ayunda bilang jika gadis itu ingin pergi hangout bersama Denada. Namun, ini sudah hampir menjelang petang dan beberapa pesan belum juga dibalas, bahkan belum dibaca. Lendra mendadak khawatir. Meski ia tahu Ayunda bukan lagi anak kecil, tapi entahlah. Lendra merasa ada sesuatu yang membuat insting prianya tidak nyaman.
Di lain tempat, Denada meninggalkan Ayunda bersama Diza di kafe baru yang mereka kunjungi. Alasannya Denada karena ia mendapat kabar bahwa adiknya mengalami muntah tiba-tiba dan mengharuskan Denada pulang. Ayunda pun dititipkan kepada Diza yang dengan senang hati Diza menjaga Ayunda. Sejak Denada pulang, Ayunda lebih banyak diamnya, sedangkan Diza mencoba melempar kata-kata yang terdengar flirting. Dan sialnya, daya ponselnya habis dan menyebabkan Ayunda tidak bisa menghubungi siapa pun.
"Diza, kayaknya kita harus pulang," ucap Ayunda melihat suasana di luar kafe yang tampak menggelap.
Diza berdehem pelan sembari mengangkat secangkir caramel macchiato dan menyeruput perlahan.
"Nanti aja, Ay. Kamu nggak biasa pulang telat, ya?"
"Y-ya gitulah. Anak perempuan nggak dikasih pulang telat sama ortu."
"Hm, oke kalau gitu."
Ayunda bernafas lega karena mereka akan pulang sekarang. Setelah membayar pesanan, mereka menuju parkiran untuk mengambil motor. Hari ini Ayunda tidak membawa motor ke kampus, sehingga ia harus bersama Diza pulang bersama di satu motor.
"Pegangan jangan lupa," pesan Diza sebelum menarik gas motor agar jalan. Ayunda memilih memegang ujung kemeja Diza. Merasa jika Ayunda tidak berpegangan, Diza berceletuk.
"Aku mau ngebut, Ay. Yakin nggak takut jatuh?"
"Udah pegangan di kemeja kamu."
Diza menjahili Ayunda dengan cara menarik gasnya tiba-tiba hingga tubrukan terjadi di antara mereka. Ayunda mengaduh saat kepalanya sedikit membentur helm yang dipakai Diza.
"Maaf, Ay. Aku kira kamu udah siap."
Ayunda manyun tidak suka. Diza memang menyebalkan. Saat Diza melajukan motornya, Ayunda mengalihkan pandangannya ke arah sekitar jalan yang ramai. Hari semakin tambah gelap, tapi rasanya lama sekali tiba di rumah. Padahal jaraknya tidak begitu jauh kalau belok ke kiri setelah perempatan pertama jalan.
"Bisa cepet dikit, nggak?" tanya Ayunda sedikit mencondongkan tubuhnya agar Diza mendengar suaranya.
"Makanya pegangan!"
Ayunda tidak tahu berapa lama mereka habiskan di jalan hingga akhirnya tiba di rumah Ayunda. Diza berkata bahwa ia langsung pulang saja. Lagi pula, kalau Ayunda menyuruh Diza mampir malah diinterogasi oleh sang papa. Bisa lebih gawat lagi nanti. Ketika Ayunda membuka pagar rumah, jantungnya langsung mencelos melihat mobil yang tidak asing nangkring di halaman rumah tersebut. Dan dari jarak beberapa meter, matanya bersiborok dengan Lendra. Ayunda menelan saliva yang tersangkut di kerongkongan. Tatapan dingin itu serasa mencekam. Ah, ini tampak seperti drama.
"Kamu ke mana saja? Nak Lendra sejak dua jam lalu di sini. Katanya hp kamu nggak aktif, terus Papa coba juga sama. Suka banget bikin orang khawatir!" sentak Wirma. Ayunda melirik ke arah Lendra yang hanya menatapnya saja. Ia seperti disidang oleh dua orang mengerikan.
"Hp-ku mati, Pa. Itu tadi bareng Denada, kok."
"Mana Denada? Biasanya dia mampir?"
Mampus!
Ayunda harus jawab apa?!
"Iya tadinya. Tapi adeknya sakit, jadi dia pulang duluan. Aku sama temenku yang lain pulang bareng."
Wirma menghela nafas melihat alasan putri sulungnya itu. Ia pun menepuk puncak kepala Ayunda dan berkata untuk menyuruhnya menemani Lendra. Setelah Wirma masuk, tinggallah mereka berdua di teras rumah. Ayunda melihat ada dua cangkir kopi serta camilan yang hampir habis. Helaan nafas Lendra terdengar kasar.
"Pak," panggil Ayunda pelan. Ia merasa bersalah hari ini. Tatapan Lendra yang semula dingin berubah lebih lembut. Tanpa ragu, Lendra mengusap pipi kanan Ayunda.
"Istirahat, ya. Saya pulang dulu." Suara Lendra yang begini malah membuat Ayunda takut. Meski Lendra tidak mengomel, tapi ini lebih menakutkan untuknya. Ayunda menahan lengan Lendra yang terbalut kemeja hitam slimfit. Wajah Lendra benar-benar lelah sekali saat Ayunda perhatikan.
"Kenapa, Sayang?"
Ayunda menggeleng. Ia maju dan memeluk Lendra dari depan. Aroma parfum Lendra yang manly sangat enak dihirup.
"Maaf."
Lendra tidak menjawab langsung. Ia mengelus punggung Ayunda, lalu melepasnya tanpa terkesan tidak nyaman. Jika boleh jujur, Lendra sedikit marah. Bukan karena Ayunda pulang telat, tapi orang yang mengantar gadisnya pulang barusan. Lendra duga kalau orang itu laki-laki.
"Sepertinya kamu menikmati harimu. Saya pulang dulu sekarang. Mandi jangan lupa."
"Pak ...," lirihnya. Mata Ayunda berubah berkaca-kaca.
"Kenapa nangis? Saya bisa diamuk pak Wirma kalau tahu anaknya nangis begini," keluh Lendra. Ayunda sesenggukan sekarang. Perasaan bersalahnya semakin memuncak tidak terkendali.
"Udah, jangan nangis. Nggak apa-apa," bujuk Lendra begitu tenang. Ia juga menghalau aliran air mata yang membasahi kedua pipi gadisnya.
"Kabari saya setelah ponsel kamu menyala," pesan Lendra dan memutuskan untuk pulang. Dalam diamnya, Ayunda menatap mobil putih itu meninggalkan halaman rumah. Hingga Ayunda merasakan tepukan di bahunya. Asran berdiri di sampingnya disertai senyum hangat. Ayunda menangis di pelukan Asran. Hatinya mendadak melow dan itu sakit rasanya.
"Udah, cengeng banget, sih!"
"Pak Len pulang kayak kecewa gitu, Ran."
Asran pun menepuk-nepuk sayang pundak kakaknya. "Jelasin sama mas Len besok. Makanya, jangan sampai lagi kayak gini. Gih, masuk. Itu muka udah kayak keset rumah deh," ledek Asran setengah hati. Ayunda menyerut cairan di hidungnya dan memilih masuk kamar untuk mandi dan segera menyelesaikan masalah hari ini.
.
.
.
.
.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Status Kita Apa?
Romance"Saya memang tampan sejak lahir," ucap Lendra percaya diri. Kali ini Ayunda yang mendengkus. "Iyalah. Dosen Akuntansi mah bebas. Satu tambah satu belum tentu jadi dua." Lendra terkekeh. "Bisa jadi dua kalau di dalamnya ada kamu dan saya." ---sekila...