12. One Night Stand

27 7 0
                                    

Malam itu Kang Jia lagi-lagi menghisap nikotin dari rokok elektriknya sembari memandang langit bertabur bintang. Hiruk pikuk jalan raya semakin menjadi-jadi, beginilah suasana minggu malam. Ia menghela napas.

Jia kemudian merogoh saku celana trainingnya untuk mengambil ponselnya. Ia membuka galeri, lalu membuka satu album yang ia namai "idiot". Ratusan foto dirinya dan Yeji muncul. Ia kemudian mengklik salah satu video pendek dimana Yeji saat itu sedang menyanyikan selamat ulang tahun sambil memegangi kue tart dengan lilin angka 21 di atasnya. Jia tersenyum, saat itu tepat satu tahun yang lalu.

"Tahun ini gue gak bisa ngerayain ultah gue sama lo, Ji," gumamnya sedih. "Seharusnya hari itu gue gak ngebiarin lo nelen pil itu, dasar tolol," gerutunya sambil memukul-mukul jidatnya sendiri. Ia kemarin sudah mengunjungi Yeji di pusat rehabilitasi, dan betapa sedihnya ia melihat sahabatnya menjadi semakin kurus dan pucat. Entah apa yang ia alami disana.

'Lo.. gak marah sama gue?' tanya Jia kemarin waktu mengunjungi Yeji.

'Marah? Kenapa emang?' Yeji balik bertanya.

'Lo ketangkep disini, sementara gue nggak. Lo gak ngatain gue pengkhianat gitu?' jawab Jia membuat Yeji menaikkan alisnya sebelah.

'Heh, dodol! Lo gak tau seberapa bersyukurnya gue lo gak ikutan ketangkep? Disini tuh tempat penderitaan tiada tara! Aneh lo,' tukas Yeji ngegas.

'Ya, justru itu. Lo menderita disini sendirian, sementara gue masih nikmatin hidup di Seoul. Lo gak marah sama gue karena gue nolak minum pil itu kemaren?' tanya Jia lagi. Ia terus terngiang-ngiang kata "pengkhianat" yang dijuruskan oleh Minho kepadanya malam mereka ditangkap di kantor polisi. Jujur saja kata itu masih melayang-layang di kepalanya.

'Jia, gue tuh bangga banget punya temen kayak elo! Lo punya prinsip, lo bisa komitmen sama diri lo sendiri. Lo wanita yang kuat, walaupun lo hidup sendirian. Lo pokoknya harus jalanin hidup yang bener mulai sekarang,' Yeji menggenggam kedua tangan Jia di atas meja.

Jia kini sibuk menggeser-geser layar ponselnya yang menunjukkan foto-foto random bersama Yeji, mengingat lagi kenangan-kenangan yang ia punya bersama Yeji. Kini, entah apa yang bisa ia lakukan tanpa sohibnya itu.

Bunyi ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Jia yang tadinya sedang berdiri di balkon, melangkah masuk untuk membukakan pintu, melihat siapa yang mengunjunginya.

"Ahjussi? Ada apa malem-malem?" tanya Jia setelah mendapati pak Kim, penjaga di resepsionis lantai dasar, berdiri di depan kamar kosnya.

"Ini, Jia. Ada kiriman paket," jawab pak Kim sembari menyerahkan sebuah kardus berukuran sedang. Jia pun menerimanya.

"Oh, makasih ya, ahjussi!" ucapnya sebelum menutup pintu kamarnya lagi.

Jia kemudian berjalan menuju ke sofa yang terletak di ruang tamu, lalu duduk di lantai, di depan sofa sambil meletakkan paket itu di hadapannya. Tak lupa juga ia sebelumnya sudah mengambil pisau sembari ia melewati dapur. Ya, dapurnya terletak di bagian depan kamar, barulah ruang tamu ada di samping dapur. Desain yang cukup unik.

Jia membuka kardus itu dengan hati-hati. Isinya ternyata sepasang sepatu kasual berwarna putih, lengkap dengan kartu ucapan. Ia lebih dulu mengeluarkan kartu ucapan itu untuk ia baca.

Kepada Jia tersayang,

Selamat ulang tahun, anak mama tercinta. Mama kangen sekali sama Jia. Kabar Jia baik kan? Kabar mama juga baik. Maafin mama, karena gak bisa dateng langsung untuk rayain ulang tahun Jia. Makan yang banyak hari ini ya, anakku sayang. Mama selalu mendoakan kebahagiaan Jia.

-Kang Min Ji

Jia mendengus sinis. Ia kemudian mengeluarkan sepasang sepatu itu dari kardusnya. "Lagi-lagi dia ngirim ukuran 36," protesnya setelah mengintip nomor sepatu itu. Ia kemudian mencoba memasukkan kaki kanannya ke sepatu sebelah kanan. Terlalu sempit. Gadis itu pun mendengus sebal. "Udah gue duga," gumamnya sambil melepas sepatu yang bahkan tidak bisa terpasang dengan sempurna itu. Setiap tahunnya, ibunya yang sudah tidak pernah muncul di hadapannya itu selalu mengirim sepatu berukuran 36, padahal ukuran kakinya 38. Alhasil semua sepatu kiriman ibunya tidak pernah ada yang ia pakai. Sepatu pemberian ibunya itu selalu ia berikan kepada adik perempuannya Christopher yang kebetulan ukuran kakinya 35. Meskipun agak kebesaran setidaknya bisa masuk dan bisa dipakai oleh adiknya itu.

afternoon rain [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang