36. Debat Gara-Gara Bubur

17 6 0
                                    

"Ji.. lo kenapa sih dari tadi diem? Lo gapapa?" tanya Chan pada Jia yang sejak tadi tidak mengatakan apapun dan hanya memandang ke luar jendela. Sejak Tante Hye In meninggalkan rumah sakit, Jia terlihat murung.

"Gue cuma pengen sendirian, Chan," ucap gadis itu pada akhirnya.

"Eum, okey.. Kalo memang lo pengen sendirian, gue bakal ke kafe rumah sakit yang di lantai dasar, ya? Kalo butuh apa-apa gue bakal ada disana," ujar pria itu.

"Nggak, lo pulang aja gapapa," ucap Jia lirih.

"Iyaudah deh, tapi kalo ada apa-apa lo panggil suster ya? Janji ya?" pria itu mengusap pelan bahu Jia dan pergi meninggalkan ruangan.

Sementara Jia, dalam kesendiriannya gadis itu menangis lagi. Ia memeluk kedua lututnya dan menenggelamkan wajahnya. Setiap kali mengingat kata-kata terakhir yang ia katakan pada ibunya kemarin, ia merasa sangat bersalah.

Ternyata pil aborsi yang pernah ia temukan, bukan dibeli dengan sengaja oleh ibunya untuk menggugurkannya. Pil itu ternyata pemberian orang tua dari laki-laki yang berselingkuh dengan ibunya, dan ibunya memilih untuk tidak menggugurkan Jia meskipun ia harus kehilangan banyak hal.

Gadis itu mengambil undangan pernikahan yang tadi ditinggalkan tantenya di atas meja. Pernikahan yang akan dilaksanakan bulan depan itu akan bertempat di sebuah hotel mewah di kota Quebec, Kanada.

Dengan telunjuknya, Jia menyentuh nama ibunya yang terukir indah di atas kertas putih itu.

"Mama pantas untuk bahagia.." bisiknya lirih. Air matanya lagi-lagi jatuh. 

***

Subuh itu Jia membuka matanya yang terasa sedikit perih karena terlalu banyak menangis kemarin sore. Gadis itu bahkan tidak sadar ia tertidur saat sedang menangis.

Ia mengucek matanya pelan. Ketika matanya sudah bisa terbuka dan melihat dengan jelas, gadis itu mendapati kekasihnya sedang tidur pulas di atas sofa. Kakinya yang panjang harus ditekuk untuk menyesuaikan dengan ukuran sofa yang kecil.

Jia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju sofa membawa selimutnya. Ia berjongkok tepat di depan wajah pria itu yang sedang tidur menyamping.

"Kapan dia dateng? Terus kenapa pula dia nginep disini? Badannya pasti nanti sakit pas dia bangun, karna sofanya kekecilan.." ucap gadis itu pelan. Ia menghela napasnya.

Jia membentangkan selimutnya untuk menutupi tubuh Hyunjin. Ia lalu kembali berjongkok untuk memperhatikan wajah Hyunjin yang tertidur dengan pulas. Napasnya terdengar berat, wajahnya terlihat lelah. Jia menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi kening Hyunjin, lalu mengecup pelan kening pria itu.

"Jia.." bisik pria itu tiba-tiba dengan mata yang masih tertutup.

"Hyunjin? Jia bikin Hyunjin bangun, ya? Maaf.." jawab gadis itu sedikit terkejut.

Pria itu membuka matanya dan menggeleng pelan. "Gue memang gak tidur, cuma merem doang," ujarnya.

"Kenapa gak tidur? Gak bisa ya? Sofanya gak nyaman?" tanya gadis itu khawatir. Hyunjin pasti kurang istirahat sejak kemarin.

"Nggak, nggapapa.." bisik Hyunjin dengan suara sedikit serak.

"Lo tidur dirumah aja.. Gue gapapa disini," ujar Jia.

"Gue gak sanggup nyetir rasanya, Ji.." bisik pria itu lelah.

Jia menghela napas. "Yaudah lo tidur di kasur aja deh, yuk," ajak gadis itu sembari beranjak berdiri dan menarik tangan Hyunjin untuk bangun.

"Heh kalo gue di kasur nanti lo dimana?" tukas Hyunjin.

"Udah gapapa, gue udah kenyang tidur, lagian badan gue juga sakit kebanyakan rebahan dari kemarin," ujar gadis itu.

afternoon rain [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang