Bagian Tiga Puluh Dua | Membaik

263 34 0
                                    

Libra meletakkan gelas yang dipegangnya pada meja makan yang ada di hadapannya. Buru-buru ia berjalan menuju pintu utama rumahnya. Lagi-lagi terdengar suara bel yang pastinya ditekan oleh seseorang.

"Aku aja, Yah," kata Libra begitu melihat Ayahnya berada di tangga, hendak membukakan pintu juga.

Ini baru pukul delapan malam, tapi keadaan rumahnya memang sesepi ini. Semua nya terbiasa dengan urusan masing-masing. Mereka hanya ada waktu bersama ketika weekend saja. Entah dengan jalan-jalan atau menghabiskan waktu di rumah dengan bermalas-malasan.

Libra membuka pintu, mendapati Raya berdiri tegap memamerkan 2 benda yang ada di tangan kanan dan kiri nya. Pria itu tidak tersenyum tapi gaya nya mampu membuat Libra tersenyum. Terlebih, Raya repot-repot membawakan coklat untuk nya. Ah ... mungkin untuk adiknya.

"Ini, buat lo."

Libra mengulum senyumnya, ternyata benar coklat itu untuknya. Boleh tidak kalau dia senang?

"Masuk," Libra mempersilahkan Raya masuk.

"Mau minum apa?" tanya Libra setibanya mereka di ruang tamu.

Raya nampak berfikir sejenak sebelum akhirnya menjawab, "ini aja deh-" Raya menunjuk air mineral gelas yang memang selalu tersedia di atas meja, "-biar sehat."

"Ngapain ke sini?"

"Nggak boleh?" Raya malah balik bertanya.

"Bukan –bukan gitu. Maksud gue..."

"Kangen."

Libra berkedip beberapa kali sebelum akhirnya tertawa salah tingkah sambil menggaruk tengkuk nya yang tak gatal.

"Sejak kita putus, lo bener-bener jauh dari gue."

Benar. Tidak di sekolah, di luar sekolah pun mereka saling asing. Tidak ada yang mau menyapa terlebih dahulu. Perasaan canggung itu selalu muncul ketika salah satu diantara mereka mau menyapa duluan.

Jangankan menyapa, saling berpapasan saja enggan.

"Eum ... tadi pulang sekolah gue bareng sama Athira."

Libra mendongak, "kok ganti topik?"

Raya meringis, dia merasa kalau Libra tidak suka membahas hal tadi jadi ia memilih untuk menceritakan tentang Athira.

"Athira ngira kalau gue kakak kandungnya yang hilang 10 tahun yang lalu."

Libra menyimak, terlihat sedikit raut kaget pada wajahnya. Ya. Dia jelas tidak tahu kalau Athira berfikir bahwa Raya adalah Athala.

"Terus lo jelasin ke dia?"

"Iya, kasian, gue nggak tega. Dia udah berharap ke gue tapi dengan jahat nya gue malah ngomong fakta nya langsung."

Libra tersenyum tipis, "nggak kok. Nggak salah. Dari pada lo bohongin dia, gue yang bakalan marah ke lo."

Raya mengacak rambut Libra dengan gemas, "mau dong dimarahin kayak dulu lagi."

"Udah selesai, Ray."

Raya menunduk sendu, "iya, gue tau."

Kemudian tawa Libra meledak membuat Raya kebingungan.

"Udah selesai masalah gue, gak usah nambah-nambahin. Gue sayang sama lo."

"Hah?"

"Masalah kita yang belum selesai."

"Mau balikan?"

Libra mengulum senyumnya, "tapi besok temenin gue minta maaf ke Alen dulu, ya?"

Raya mengeryit, "Alen?"

Ia mengangguk pelan, "abis itu semua nya selesai. Kita nggak perlu backstreet lagi."

"Dia masih di sini?"

"Maybe, bukti nya Athira sama Fajar pernah ketemu dia."

"Athira kenal?"

Libra lagi-lagi mengangguk, "lo nggak suka ya gue mau ketemu Alen lagi?"

Raya buru-buru menggeleng, "bukan, bukan gitu. Masalahnya belum lama ini gue ngeliat orang yang mirip Alen."

"Oh ya? Di mana?"

"Tau jembatan penyebrangan yang gak jauh dari sekolah?"

Libra mengangguk tahu.

"Nah, di situ. Aneh nya Athira buru-buru nyuruh gue pergi. Tapi pas gue udah pergi, ternyata dia ngehampirin cowok yang gue kira mirip Alen itu. Bahkan mereka keliatannya deket."

"Ya mungkin itu Alen." Libra menjawabnya dengan santai.

"Tapi dia buta, Li."

Libra terdiam kemudian gadis itu menatap Raya tajam, "siapa? Orang yang kata lo mirip Alen itu?"

Raya mengangguk pelan, "dia buta, maksud gue- dia tunanetra. Maka nya gue kira orang itu cuma mirip doang."

Libra benar-benar tidak mampu berkata apa-apa lagi. Ia diam. Kemudian menyandarkan kepalanya pada sofa yang ia duduki kemudian memijat kepala nya pelan. Dalam hati berharap bahwa apa yang ia bayangkan sekarang memang sekedar bayangan saja.

***

Keesokan hari di rumah sakit ...

"Padahal hari ini kamu kemo terakhir, tapi aku malah mau ke luar kota."

Tiara tersenyum simpul, satu tangannya sejak tadi tidak lepas dari pipi Eros. Seharian ini pria itu menjadi begitu manja sebab satu jam lagi ia akan pergi ke luar kota. Mengurus beberapa pekerjaannya.

"Cuma 4 hari 'kan?"

Eros mengangguk. Memang cuma 4 hari. Tapi, tetap saja itu akan terasa begitu lama. Dia baru bertemu dengan gadisnya sebentar, baru bisa menghabiskan waktu bersama setelah sekian lama tidak bertemu. Kemudian dia harus pergi lagi.

"Aku tuh nanti cuma di-infuse biasa aja kok, jadi nggak apa-apa kalo sendirian. Kamu berangkat aja ya," Tiara mengelus pipi Eros dengan lembutnya, "pulang nya jangan lupa beliin bunga tulip buat aku."

"Kalau ada apa-apa, langsung kabarin aku. Oke?"

"Iyaaa ... yaudah sana, mending kamu siap-siap. Belum mandi 'kan?"

Eros menggeleng, kemudian beranjak untuk menuju kamar mandi. Dia sendiri memang sudah membawa barang keperluannya sejak semalam dan menginap di kamar Tiara. Tidak masalah, sebab Tiara tidur di brankar sementara Eros di sofa.

Sepeninggal Eros, Tiara menunduk dalam. Ponselnya sejak tadi ia sembunyikan di dalam selimut sebab ketika Eros masih tertidur ia sempat mencari sesuatu lewat internet. Tiara mengambil ponselnya, kemudian melanjutkan membaca artikel tersebut.

Membaca keseluruhan isi artikel itu membuat hati nya sakit. Ini kelihatannya akan sederhana, tapi efek setelahnya membuat Tiara takut. Takut kalau tidak akan bertahan sampai akhir.

"Aduh, pake nangis segala lagi," lirih Tiara seraya menghapus air mata nya.

Tapi, bukan kah bagus bila kemungkinan paling buruk itu terjadi? Tiara tidak akan pernah merasakan sakit lagi seperti sekarang. Tapi setidaknya, Tiara tahu bahwa mau kemungkinan baik atau buruk yang nantinya terjadi padanya, ia tahu kalau itu pasti baik untuk nya.

Tiara menoleh ke kamar mandi. Terdengar suara gemricik air dari dalam sana. Dalam hati ia merasa bersyukur sebab Eros akan keluar kota selama 4 hari. Setidaknya Eros tidak akan melihatnya menderita karena efek kemoterapi.

Namun setelahnya, Tiara jadi yakin kalau dia dan Eros akan terus bersama. Selamanya.

***

Immaculate [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang