Sebelum membaca, saya ingatkan lagi untuk para pembaca agar memberi vote untuk mendukung karya seorang Author!!
Sepagi ini, murid-murid teladan kebanggaan Nusantara International School sudah mulai berlalu lalang di koridor sekolah. Beberapa ada yang mengisi waktu luang mereka sebelum bel berbunyi dengan membaca di taman atau pun teras kelas.
Di dalam kelas XII IPA 1, banyak bangku yang sudah diisi oleh pemiliknya, dibalik kacamatanya, Kenangan sedikit menoleh ke samping dan mendapati bangku itu masih kosong.
Itu bangku milik Aksara Rhegafan Melano.
Tidak perduli orangnya datang atau tidak, Kenangan kembali fokus pada novelnya hingga bel berbunyi pertanda jam untuk memulai kelas akan dimulai.
Ibu Rani datang memasuki kelas, dia wali kelas XII IPA 1 dan juga tentunya Bibi Aksara yang paling galak. Salam para murid kompak memenuhi ruangan untuk guru matematika itu.
"Selamat pagi Ibu."
"Pagi, duduk!"
Semua murid mentaati perintah Ibu Rani, mereka mulai mengambil buku dan alat tulis yang dibutuhkan.
"Tok, tok, tok!"
"Pagi, Tante. Eh, maksudnya pagi Ibu Rania yang cantik."
Tiba-tiba sebuah ketukan mengalihkan seluruh murid, termaksud Kenangan yang sedang menatap teman sebangkunya itu yang terlihat urak-urakan.
Ibu Rania menatap Aksara dengan tatapan tajam, melihat bagaimana penampilan keponakannya atau muridnya itu mirip seperti berandal.
"Terlambat lagi? Kamu mau dihukum apa sama Ibu atau ada yang ingin mengajukan hukuman untuk dia di sini?" tawar Rania menatap murid-muridnya.
Dibelakang, alis kanan Aksara naik ke atas, menatap dingin teman-temannya memberikan ancaman ringan bagi mereka.
Tidak ada yang menjawab, bahkan kelas itu membisu untuk sesaat. "Baiklah, jika tidak ada yang menjawabnya. Sebentar pulang sekolah, kamu harus ngasih ke saya seratus lembar kertas yang di dalamnya ditulis permintaan maaf."
Aksara bersorak dalam hati kegirangan, kalau untuk itu masalah gampang buat dirinya.
"Masuk sana!"
Meskipun Aksara adalah keponakannya, Ibu Rani tetap profesional. Dia tetap tegas dan memberikan hukuman yang adil bagi setiap siswa.
Aksara memasuki kelas dengan santai, masa bodo dengan rambutnya yang panjang tidak tertata rapi. Bajunya urak-urakan, serta gayanya yang sombong saat berjalan.
Dia melihat si pendiam yang ada di sebelah bangkunya dan menendang kaki kursi itu hingga membuat Kenangan hampir jatuh.
Untung saja Kenangan bisa menyeimbangi tubuhnya dengan menahan meja. Jika tidak, dia akan menjadi bahan tertawaan lagi seperti kemarin-kemarin.
"Si bodoh ini rupanya sudah siap hehe." Tawa mengejek Aksara hanyalah angin berlalu bagi Kenangan, karena dari awal mereka bertemu Kenangan tidak pernah berbicara pada Aksara hingga sekarang.
"Tulis seratus permintaan maaf sebentar buat gua, kalau semuanya beres langsung kasih ke gua. Awas kalau nggak, gua buat lo lebih malu lagi."
Kenangan tetap tidak menjawab, mau tidak mau dia terus diperalat oleh Aksara. Sebentar lagi, dirinya harus menulis seratus permintaan maaf di seratus kertas juga.
Selama mata pelajaran berlangsung, Aksara hanya tahu untuk tidur. Bangku mereka berada di belakang dan paling sudut dekat jendela, karena angin sepoi-sepoi Aksara menjadi mudah mengantuk.
Kelas Ibu Rani telah selesai, murid-murid yang lainnya berhamburan keluar kelas menuju kantin dan tempat yang sukai di halaman sekolah ini.
Kenangan memang tidak memiliki teman, jadi saat semua orang keluar beristirahat dia hanya bisa terdiam di dalam kelas atau biasanya Kenangan akan memakan bekal yang dia bawa dari rumah di rooftop sekolah.
Hari ini, dia membawa bekal pemberian Ibunya. Kenangan berniat untuk memakan bekal ini di atas rooftop sendirian sambil menulis surat untuk Aksara.
Dia melirik sedikit ke arah Aksara, rupanya lelaki itu masih asik bermimpi hingga tidak sadar bel sudah berbunyi.
Kenangan berjalan keluar kelas membawa tasnya, melewati koridor sekolah. Saat ditengah jalan mendekati kelas XII IPS 3, dia dihadang oleh tiga siswa.
"Heh, mana teman sebangku lo? Aksara." Seorang pria dengan gaya premannya bertanya kepada Kenangan dengan dagu yang dinaikkan ke atas.
Kenangan tidak menjawab, hanya menatap kosong mereka seperti mayat bernyawa.
"Ngapain lo nanya ke dia, nih cewek bisu." Salah satu dari mereka menimpali dan menarik dua tangan temannya berjalan meninggalkan Kenangan.
Kelas dua belas adalah kelas yang paling dekat dengan rooftop. Jadi saat ingin ke rooftop, Kenangan hanya perlu satu tangga saja.
Di sini tempat sepi tetapi, angin di atas rooftop ini sangat menyejukkan membuat Kenangan betah berlama-lama di sini.
Dia membuka bekal makanan yang disiapkan oleh Ibunya, tentunya itu makanan yang sehat untuk kondisi dia.
Kenangan mencari tempat yang nyaman untuk dia duduki, sembari makan dan menulis permintaan maaf
di kertas untuk Aksara pada Ibu Rania.'Minta maaf,' ucap Kenangan dalam hati saat kertas sudah mencapai tiga puluh. Gampang saja menurutnya, masalah yang membuat Aksara malas adalah jumlah kertasnya harus seratus. Ada-ada saja hukuman Ibu Rania.
"Bang!"
Pintu terbuka keras karena ada yang menendangnya, hal itu membuat tatapan Kenangan beralih.
Dia melihat tiga pria tadi ditendang dan dipukul habis-habisan oleh Aksara. Mereka bertengkar di rooftop tanpa tahu Kenangan melihat hal itu semua.
"Bangun! Gua mau lihat muka orang yang udah berani nantangin gua, bangun!"
"Bug!" Tendangan Aksara mendarat pada perut Roni.
Melihat lelaki yang ditendang Aksara tersungkur, Kenangan tahu, lelaki itu yang dia ketemu di koridor tadi. Mereka ada tiga orang.
Yang bertanya kepada Kenangan tadi bernama Kemal, yang satunya lagi Jani orang yang mengatakan bahwa Kenangan bisu.
Tidak ada ekspresi ketakutan sedikit pun dari wajah Kenangan, dia menatap mereka seolah tidak terjadi apa-apa.
Roni yang babak belur dihajar oleh Aksara buru-buru dibawa kabur oleh Kemal dan Jani. Bisa-bisa, pertarungan mereka bisa mengorbankan nyawa seseorang.
Melihat lawannya kabur, Aksara membuang ludah meremehkan. Dia baru sadar setelah perkelahiannya selesai, bibirnya perih karena ujungnya sedikit sobek dan mengeluarkan darah.
Mata elangnya menangkap seseorang yang sedang mengawasinya dan Aksara hanya menemukan Kenangan yang berdiri memegangi buku dengan tatapan datar menatapnya.
"Woi cewek bego, lo ngapain di situ?"
Kenangan menunduk, dan berbalik menghindari tatapan tajam Aksara. Tanpa disangka, Aksara berjalan menghampirinya.
Kesal karena tidak mendapat jawaban, Aksara mendorong tubuh Kenangan kasar hingga perempuan itu jatuh.
"Lo punya mulut gak sih? Atau lo tuli? Gua gak segan-segan buat lo menyesal seumur hidup karena main-main sama orang kayak gua."
Sebanyak apa pun Aksara berceloteh, Kenangan tetap tidak menjawab. Kenangan mendongakkan kepalanya, dan menemukan luka di bibir juga siku Aksara.
Dia mengambil dua plester luka dan meninggalkannya untuk Aksara, Kenangan berlalu pergi meninggalkan lelaki itu yang diam mematung, kaget karena Kenangan sama sekali tidak pernah memberontak atau pun menangis seperti orang-orang yang pernah dia aniaya dan peras.