6• Hari Pertama

2K 230 3
                                    

Hari mulai malam, tapi cahaya sang candra tak dapat menyinari sisi gelap bumi. Dia belum terlihat, hanya menampakkan titik-titik kecil yang cahayanya tak dapat menjangkau bumi.

Sam dan Ray pulang dengan menggunakan taksi online. Sebenarnya, Ray tidaklah masalah untuk pulang hanya dengan ojek atau kendaraan umum lainnya. Tapi kadar gengsi Sam yang tinggi membuat Ray menurut apa kata adiknya itu. Kaki mereka terlihat begitu berat, mungkin saja terlalu lelah karena jarak antara panti asuhan dengan rumah tidak bisa dibilang dekat.

Sepasang kaki ramping tengah berjalan dengan gayanya. Terlihat sedikit berlebihan mungkin, tapi dia benar-benar lelah kali ini. Ia ingin mengguyur tubuhnya yang sudah beberapa hari tidak mandi.

Melupakan perutnya yang baru saja pulih, dan kini mulai berulah kembali. Ray tidak peduli, bahkan saat ia keluar dari kamar mandi perutnya terasa melintir, memaksa semua isi di dalamnya keluar saat ini juga.

Selang beberapa menit, remaja itu keluar dari kamar mandi. Ia tak ingin menghabiskan waktu dengan air dingin lebih lama. Tubuhnya sudah cukup dingin gara-gara menahan rasa sakit di perutnya. Sekarang ia sudah rapi dengan baju tidur. Ia tak ingin makan malam kali ini. Obatnya juga ada di dalam mobil sang ayah. Dan ia juga tidak peduli apa yang setelah ini akan dia rasakan. Ia ingin istirahat, membaringkan tubuhnya sejenak. Meregangkan tubuhnya, terutama bagian otak yang beberapa hari ini terus tertekuk karena banyak pikiran.

Kasurnya begitu tahu apa yang sang tuan inginkan, dia memberikan kenyamanan yang tak bisa orang lain berikan. Mungkin saja, jika Ray sebangsa dengan bantal, guling dan sejenisnya, ia akan menikahi kasurnya karena telah memberikan rasa nyaman yang sesungguhnya. Itu sebabnya, tak perlu waktu lama, dengkuran halus mulai terdengar darinya. Matanya terpejam. Wajahnya terlihat damai.

Mengabaikan suara ketukan pintu yang kian terdengar keras, ia sudah terlelap ke dunia mimpi. Inderanya akan lumpuh ketika ia sudah nyaman dengan tiga hal. Kasur, mimpi, dan tidur. Itulah Ray yang sesungguhnya. Lupa akan beberapa waktu lalu, ia tak bisa tertidur, karena sendiri dalam sepi dan sunyi dalam ruangan gelap ini. Lelah adalah kata yang bisa mendeskripsikan apa yang ia rasa. Itulah mengapa saat ini ia terlelap seperti putri salju dalam dongeng pengantar mimpi.

Karena tak mendapat jawaban dari dalam, mereka langsung saja masuk kedalam kamar Ray. Langkah mereka terasa berat. Ada sepasang mata sayu yang terlihat lelah karena sudah bermain dengan soal-soal fisika selama seharian. Sedangkan sepasang mata yang lain terlihat membara. Ada raut kesal bercampur emosi dalam tatapnya.

"Dia belum makan malam, apalagi minum obat!" Kensie duduk di pinggir ranjang. Mengabaikan lelahnya, yang kini berganti menjadi rasa iba.

"Dia pulang dengan Sam tadi, om Arnold turunin dia di jalanan!" Shan melipat dua tangannya di depan dada. Tatapan mata keduanya terlihat sendu menatap sang adik sepupu. Iba melihat Ray, sejak ia tinggal di sini, tubuhnya terlihat lebih kurus.

"Aku heran kenapa ada manusia es seperti makhluk yang bernama Arnold. Om Arnold itu kejam. Aku sudah tak heran. Tapi membiarkan anaknya yang baru saja sembuh di jalanan sudah masuk dalam level sadis tingkat satu!" Shan mulai berceloteh asal-asalan. Tidak peduli ia mengejek nama pamannya sendiri.

"Ck, apa masih ada apotek buka jam segini?!" Kensie mengelus rambut Ray yang mulai basah oleh keringat. Suhu tubuhnya mulai tinggi. Wajahnya juga terlihat pucat. Tak heran, ada sedikit rasa penyesalan dalam hatinya. Seharusnya ia menjaga Ray seharian ini, tidak memilih untuk memberatkan soal-soal itu dan Ray tidak akan berakhir seperti ini.

"Ini sudah malam, tidak akan ada toko buka jam segini!" Shan menghela nafas.

"Kalau kakek tahu soal om Arnold dan Ray tadi siang, aku nggak bisa menjamin rumah kita bisa tetap utuh!" Perkataan Kensie membuat suasana menjadi canggung. Kakeknya sangat khawatir dengan Ray. Hanya saja saat Ray dilarikan ke rumah sakit, dia berada di luar negeri mengurus beberapa cabang perusahaannya di sana. Mereka tidak tahu saja, betapa khawatirnya sosok tua itu pada Ray. Sampai-sampai tekanan darahnya naik. Itulah mengapa saat ini sosok tua itu belum menampakkan batang hidungnya di depan Ray

Tok...tok...tok...

Seseorang mengetuk pintu. Membuat atensi Kensie dan Shan menuju pintu yang perlahan terbuka. Menampakkan sosok perempuan yang tengah membawa nampan berisi bubur. Itu adalah Ana. Salah satu pembantu mereka, hanya saja umurnya paling muda di sini. Baru saja menginjak usia 27 tahun. Tapi yang menjadi fokus keduanya bukanlah Ana, tapi sosok anak kecil yang ada di sampingnya.

"Masuk!" Ana langsung melangkahkan kakinya ke kamar tersebut. Ia meletakkan nampan tersebut di atas meja samping ranjang.

"Tuan muda Renand memaksa ingin ikut!" Kata Ana sambil memutar bola matanya. Ada helaan nafas dari kedua laki-laki di hadapannya.

"Len mau ketemu kak San..." Kata anak kecil itu sambil bersembunyi dib
balik tubuh Ana. Shan kembali menghela nafas, sebelum ia putuskan untuk mengangkat anak itu pada gendongannya.

"Kamu bisa pergi!" Suruh Kensie.

"Kalian harus antar dia ke kamarnya! Kalau nggak aku yang kena marah nanti!" Jangan hiraukan Ana yang tidak sopan terhadap dua tuan muda itu. Ia tidak peduli. Yang dia tahu, dia bisa bekerja disini karena kerendahan hati sosok tua yang kerap di panggil tuan Chandra.

"Sopan dikit kek sama majikan!" Sewot Shan.

"Majikan gue itu tuan Chandra, bukan kalian!" Katanya sambil berlalu meninggalkan ketiganya. Yah, itulah Ana.

"Kakak ini siapa?!" Renan menatap sosok Ray yang terbaring diatas ranjang. Ini pertama kalinya ia melihat sosok yang sangat asing itu.

"Dia juga kakaknya Ren, namanya kak Ray. Dia anggota keluarga kita juga!" Ucap Kensie sambil mengelus rambut Renand.

"Tapi Len udah punya banyak kakak, Len nggak mau kakak lagi!" Kata anak itu dengan polos, tapi membuat Kensie dan Shan menghela nafas. Mereka tahu Renand hanyalah seorang anak kecil.

Sabar...sabar...ternyata membuat anak kecil mengerti tidak lah semudah di iklan-iklan.

"Dia kakak Ren juga, Ren nggak boleh begitu!"

"Ayo, Ren harus tidur! Ini sudah malam, nanti mama marah!" Shan membawa Ren pergi dari sana. Mengingat anak balita itu dikenal sangat keras kepala, yang paling bisa membuat baby sitternya mengundurkan diri secara perlahan. Tapi tatapan mata Ren masih menatap sosok ringkih di hadapan Kensie. Entah apa yang anak itu pikirkan.

"Ray, bangun! Kamu harus makan!" Suara Kensie memecah keheningan malam. Melihat Ray yang perlahan mengusap matanya membuatnya sedikit lega.

***

Sudah seminggu penuh Ray berada di kamarnya. Saat ia bangun pada malam itu, beberapa waktu kemudian seorang dokter datang. Ia tak tahu siapa yang memanggilnya, mungkin saja Shan atau Kensie. Ia tak peduli. Dan tiba-tiba saja ponsel, obat dan dompet yang ia tinggalkan di mobil ayahnya sudah kembali dengan menampakkan diri di atas meja.

Tapi selama seminggu itu juga di tangannya selalu terpasang infus, hingga membuat punggung tangannya membiru. Ia tak suka jarum, apalagi ketika dokter itu menelusup kan jarum besar kedalam punggung tangannya, atau ketika melepaskan infus tersebut. Dia tidak menyukainya. Dan yang ia tahu, ayahnya sama sekali tidak peduli dengannya. Mungkin saja. Nyatanya, Arnold tidak pernah menjenguknya sekalipun, bahkan melirik dirinya saja ia tak pernah. Entahlah, kini ia tak peduli dengan siapa-siapa. Hanya sepupu-sepupunya yang mau merawat dan menjaganya. Mungkin tak seorangpun peduli dengannya selain mereka.

Tapi hari ini, ia sangat bersyukur sudah tidak lagi berhubungan dengan jarum ataupun obat-obatan. Dia sudah kembali sehat. Dan hari ini ia juga harus pergi ke sekolah barunya untuk pertama kali. Memang agak telat mungkin, berhubung minggu-minggu ini akan dilaksanakan ujian akhir semester. Tapi apa peduli Ray.

Rayyan menatap penampilannya dari kaca besar di lemari. Seragamnya bagus. Pasti sekolah elit. Sebenarnya ia pandai bergaul, ia punya banyak teman di sekolah lamanya. Tapi tidak banyak yang tahu sifat aslinya. Apakah disana penuh dengan anak-anak kaya, yang menindas si lemah seperti kejadian Rean kemarin?!

Hah, seandainya hal seperti itu tidak ada...

.
.
.
.

Hai Readers 👐

Ingat jaga jarak antara mata dengan layar gedget Anda 😉

Kata Rayyan ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang