Kali ini paginya berbeda dengan biasanya. Entah kenapa ada hal yang membuatnya kembali bersemangat. Bukan karena ia menemukan gumpalan emas atau berlian ketika membuka mata. Bukan juga senyum Rion yang ia jumpai ketika melihatnya pertama kali pagi ini. Tapi kehadiran Nia yang membuatnya kembali merasakan hangatnya seorang ibu terhadap anaknya. Dia berbeda dengan orang-orang di rumah. Andai saja sejak dulu, Nia ada di rumah mungkin kejadiannya tidak akan seburuk ini. Tapi semua sudah terlanjur, yang bisa ia lakukan adalah menjalani sisa hidupnya.
"Ray, nanti mau makan bekal apa?!" Suara Nia menghiasi udara di ruangan itu. Ray yang sudah siap dengan seragamnya kembali mengalihkan pandanganya pada sang tante.
"Tante mau buatin bekal buat Ray?!" Nia mengangguk. Menatap Ray yang duduk di depan meja makan.
"Terserah tante aja, Ray itu pemakan segala. Jadi mau makanan apa aja yang tante buat, pasti Ray makan dengan lahap, hehe!" Nia terkekeh kemudian kembali sibuk dengan peralatan dapur dengan beberapa bahan makanan yang ia sanding sejak beberapa waktu yang lalu.
"Ngomong-ngomong kamu sehat kan Ray?! Tante khawatir kamu kenapa-kenapa. Soalnya kemarin wajah kamu pucat banget kaya zombie!"
"Ray sehat kok, tan. Cuma tante aja yang belum nyadar kalau keponakan tante ini putihnya kaya lampu bohlam keluaran terbaru!" Nia terkekeh. Tangannya masih sibuk menyiapkan bekal yang ia janjikan kepada Ray. Begitupun dengan Rion yang nanti akan mengambil bekal milik Ray jika ia tak dibuatkan juga.
"Syukur deh kalau gitu, maaf ya?! Tante beru datang sekarang, pasti di rumah kaya hidup di film film zombie. Tante juga nggak suka di rumah. Terlalu kaku, makanya tante lebih sering keluar kota daripada di rumah!"
"Nggak apa-apa kok, tan. Lagian di sana kan juga ada om Abra." Ray tersenyum jahil ketik ia kembali melanjutkan kalimatnya.
"Katanya, Rion pengen punya adek..." Katanya dengan suara lirih. Tapi ia bisa dengan jelas melihat rona merah di pipi sang tante. Nia mematikan kompornya. Kemudian menatap Ray dengan tajamnya. Melupakan rona merah di wajah yang membuat Ray semakin keras tertawa.
"Kamu pikir punya anak?! Nih, denger ya?! Tante punya satu aja nggak bisa ngurus dengen bener. Eh, jadinya manusia es batu kaya Rion. Berulang kali tante bilang sama dia buat jadi lebih terbuka lagi sama orang-orang, lah dianya malah nyolot. Bilang kalau ia nggak butuh teman lah, dia alergi orang asing lah. Tante jadi bingung sama dia!"
Nia memasukkan masakkannya pada dua kotak makan yang sudah ia siapkan. Hal seperti inilah yang membuatnya merasa jadi ibu yang sesungguhnya.
"Kalian ngomongin apa sih?! Asik banget!" Rion bergabung dengan Ray, meletakkan tasnya di baawah kursi lalu duduk di samping manusia kelinci.
"Nggak kok! Ini bukan masalah yang perlu kamu tau!"~Nia
"Hehe, katanya tante Nia pengen punya anak lagi..." bisik Ray pada Rion.
"Anak?! Nggak!" Nia menatap Rion yang berucap dengan kerasnya.
"Mama nggak boleh punya anak!"~Rion
"Loh, kenapa?!"
"Rion takut nanti kalau mama hamil, yang keluar bayi laki-laki! Rion udah bosen liat bocah laki-laki di rumah. Aku juga heran kenapa semua cucu kakek itu laki-laki semua!"~Rion
"Heh, bocah raksasa! Lo pikir waktu mama sama tante-tante lo hamil, mereka bisa order jenis kelamin calon anaknya, hah?! Kalau aja bisa kaya gitu, aku pesen ponakan ya, Tan?! Yang cewek biar nanti kalau Rion nggak ada yang bangunin bisa digampar sama adeknya!"~Ray
"Lo punya masalah sama gue?!"
"Soalnya lo yang resek! Gue jadi ikut resek kan?! Udah ah, gue mau bawa 10 batang coklat ke sekolah! Siapa tau, nanti ada cewek yang mau kecantol sama gue setelah dikasih coklat!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kata Rayyan ✓
Teen FictionKehidupan sempurna di dalam keluarga adalah hal yang selama ini Rayyan damba. Tidak perlu seperti keluarga orang ternama, yang disorot banyak kamera dan bergelimang harta. Rayyan hanya ingin bahagia dengan cara sederhana. Namun keluarga besarnya mem...