10• Luka Tak Kasap Mata

1.8K 163 19
                                    

Rasa yang selama ini berusaha Ray ungkap dalam setiap kata yang keluar dari mulutnya, hanyalah sebuah bualan. Ia tak pernah baik-baik saja setelah sang ayah tidak lagi menginginkan keberadaannya. Senyum dan tawa yang ia umbar bersama dengan teman-temannya hanyalah sebuah topeng yang ia buat sedemikian rupa. Sedangkan dia yang sebenarnya sangatlah rapuh dan peka. Tapi ia tak bisa mengatakannya begitu saja. Sebab, rasa yang ingin ditutupinya membuatnya lemah di mata orang lain.

Dan hal ini kembali terjadi. Ia pergi dari Rion dan Karel hanya untuk mengisi waktunya dengan sendiri. Beberapa waktu lalu ia mendengar suara ayahnya dengan Sasha bertengkar hebat di dalam kamar. Hal yang membuat hatinya teriris adalah ketika ia mendengar suara tangis anak-anak yang terdengar pilu dari dalamnya.

Hal itu juga yang membuat dia berani untuk mengetuk pintu untuk melerai keduanya, walau ia yakin dia akan kembali dengan luka yang kembali terbuka.

***

Ini sudah malam, dan masih terdengar suara bising yang asalnya dari dalam pintu bercat coklat di hadapannya. Ray berulang kali menarik tangannya ketika hendak mengetuk pintu untuk menghentikan pertengkaran di dalamnya. Satu-satunya yang ia pedulikan adalah ketika suara anak balita yang menangis dengan pilu di sebrang sana. Walaupun ia belum pernah melihat sosok bernama Renand, ia sudah yakin bahwa suara itu adalah miliknya.

Tok...tok...tok...

Akhirnya ia berhasil mengetuk pintu itu dengan getar hebat di kedua tangannya. Suara pertengkaran telah hilang, hanya meninggalkan suara tangis yang Ray yakini milik Renand.

Pintu itu terbuka, menampakkan sosok ayah dengan tatapan yang siap menikam jantungnya. Keduanya diam beberapa saat, memandangi satu sama lain. Sebelum akhirnya Arnold membuka suara.

"Mau apa?!"

Pertanyaan yang terlalu singkat. Tapi Ray tak ingin membentangkan jarak kembali diantara keduanya. Setidaknya, ayahnya masih mau melihat wajahnya.

"Ayah jangan bertengkar!" Suaranya lirih tapi dapat Arnold dengar dengan jelas di telinganya.

"Memangnya, ayah begini karena siapa?! Bukankah ini maumu?! Membuat perpecahan di antara ayah dengan istri ayah?! Iya kan?!" Ada senyum remeh keluar dari mulut Arnold. Tapi ada ganjil yang bisa Ray tangkap dengan jelas di antara sayu matanya. Ray hanya menghela nafasnya. Berusaha mendorong pintu di hadapannya, agar terbuka dengan sempurna.

"Kamu mau apa?! Kamu masih punya sopan santun kan?!" Ray hanya diam. Tidak mempedulikan sentakan yang Arnold lontarkan. Dan akhirnya, pintu itu terbuka lebar. Menampakkan seluruh isinya. Kemudian kembali membuat luka di hatinya. Bukan apa-apa, tapi ia tau dialah penyebab keduanya bertengkar hebat di hadapan anak kecil yang usianya kurang dari 5 tahun.

"Setidaknya ayah jangan bertengkar di hadapan Renand! Dia masih kecil!"

Wajah perempuan itu sudah basah oleh air mata dan juga rambutnya yang menempel di sela-sela wajahnya. Sedangkan Renand, dia hanya duduk memeluk lutut di sudut ruangan. Membiarkan setiap detiknya masuk dalam relung jiwanya yang mulai rapuh dengan hal semacam ini.

Ray masih sibuk dengan pikirannya. Sedangkan tangan itu sudah berayun tepat di depan wajahnya. Kini hanya rasa sakit dan panas yang Ray rasa. Menjalar melalui syaraf-syarafnya. Langkah kecil itu terdengar menggema. Berdentuman dengan lantai yang membuatnya semakin kuat.

Renand memeluk kaki ibunya. Sambil terisak penuh dengan sesak dan putus asa.

"Mama jangan..." Dialah penyelamat Ray. Jika saja anak itu tak menghentikan ibunya, mungkin saja wajah Ray sudah hancur karena gamparan dari Sasha. Walau satu pukulan itu tepat mengenai wajah Ray.

Kata Rayyan ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang